Regulasi OJK

RegulasiExecutif Summary ( Ringkasan)
POJK NOMOR 7 TAHUN 2024 Tentang BPR dan BPRS"""Tujuan dan Latar Belakang:
Penerbitan POJK ini bertujuan untuk:
Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR dan BPR Syariah melalui penguatan aspek kelembagaan.
Meningkatkan daya saing dan kontribusi BPR dan BPR Syariah dalam perekonomian nasional.
Menyesuaikan peraturan dengan perkembangan industri jasa keuangan dan dinamika kebutuhan masyarakat, khususnya pasca-terbitnya UU P2SK yang memberikan landasan hukum baru bagi sektor perbankan.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
POJK ini memuat pengaturan komprehensif yang mencakup berbagai aspek kelembagaan BPR dan BPR Syariah, antara lain:
Perubahan Nomenklatur dan Definisi:
POJK ini secara resmi mengubah nama """"Bank Perkreditan Rakyat"""" menjadi """"Bank Perekonomian Rakyat"""" (BPR) dan """"Bank Pembiayaan Rakyat Syariah"""" menjadi """"Bank Perekonomian Rakyat Syariah"""" (BPR Syariah). Perubahan ini diharapkan lebih mencerminkan peran dan fungsi bank-bank ini dalam mendukung perekonomian rakyat.
Definisi terkait BPR dan BPR Syariah diperbarui untuk lebih jelas dan relevan dengan praktik saat ini.

Pendirian BPR dan BPR Syariah:
Diatur secara lebih rinci mengenai persyaratan pendirian, termasuk modal disetor awal yang harus dipenuhi.
Proses perizinan pendirian dijelaskan secara sistematis, termasuk tahapan dan dokumen yang diperlukan untuk mendapatkan izin usaha dari OJK.

Bentuk Badan Hukum:
BPR dan BPR Syariah diwajibkan berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi. Pengaturan ini memastikan kepastian hukum dan tata kelola yang lebih baik.

Kepemilikan BPR dan BPR Syariah:
POJK ini menyederhanakan persyaratan bagi pihak yang ingin menjadi pemilik BPR atau BPR Syariah.
Diatur mengenai kriteria Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan kewajiban konsolidasi bagi BPR atau BPR Syariah yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama, khususnya dalam satu wilayah pulau atau kepulauan utama, dengan batas waktu konsolidasi paling lama 2 tahun untuk BPR/BPR Syariah non-pemerintah daerah.
Terdapat larangan sumber dana untuk kepemilikan BPR/BPR Syariah yang berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dari bank dan/atau pihak lain, serta dari dan untuk tujuan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan/atau proliferasi senjata pemusnah massal.

Kepengurusan (Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah):
POJK ini mengatur persyaratan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris, termasuk kewajiban memiliki sertifikat kompetensi kerja yang masih berlaku dari lembaga sertifikasi profesi.
BPR Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berkedudukan di Kantor Pusat, dengan ketentuan yang mengacu pada POJK terkait BPR Syariah dan tata kelola BPR Syariah.

Jaringan Kantor:
Pengaturan mengenai pembukaan, penutupan, atau perubahan status jaringan kantor BPR dan BPR Syariah disempurnakan untuk mengakomodasi arah pengembangan dan penguatan lembaga ini.

Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan (Merger, Konsolidasi, Akuisisi):
Ketentuan mengenai aksi korporasi ini diatur secara lebih jelas, termasuk kesempatan bagi BPR dan BPR Syariah untuk memperluas akses permodalan melalui aksi penawaran umum efek melalui pasar modal.
Juga memungkinkan efisiensi lembaga jasa keuangan dengan memperkenankan Lembaga Keuangan Mikro untuk melakukan aksi penggabungan dengan BPR atau BPR Syariah.

Pencabutan Izin Usaha:
Diatur mengenai prosedur pencabutan izin usaha, termasuk pencabutan atas permintaan pemegang saham. POJK ini juga mengatur perhitungan seluruh kewajiban, pajak, dan kewajiban lain milik BPR atau BPR Syariah sampai dengan berakhirnya proses cabut izin usaha.
Pasal 143 Ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa penyelesaian seluruh kewajiban BPR atau BPR Syariah mencakup kewajiban kepada nasabah kreditur, pembayaran gaji terutang, biaya kantor, pajak terutang, dan biaya lain yang relevan.

Dampak dan Implikasi:
POJK Nomor 7 Tahun 2024 diharapkan membawa dampak positif signifikan bagi industri BPR dan BPR Syariah di Indonesia, yaitu:
Peningkatan Tata Kelola: Persyaratan kepengurusan dan kepemilikan yang lebih ketat akan mendorong tata kelola yang lebih baik.
Penguatan Permodalan: Adanya kemudahan akses permodalan melalui pasar modal serta kewajiban konsolidasi akan memperkuat struktur permodalan BPR/BPR Syariah.
Efisiensi Operasional: Kebijakan penggabungan dan peleburan, termasuk bagi LKM, akan mendorong efisiensi dan skala ekonomi.
Perlindungan Konsumen: Dengan kelembagaan yang lebih kuat, diharapkan kepercayaan masyarakat dan perlindungan konsumen terhadap BPR/BPR Syariah akan meningkat.
Adaptasi dengan UU P2SK: POJK ini menjadi wujud nyata implementasi UU P2SK dalam sektor BPR dan BPR Syariah, memastikan regulasi yang selaras dengan payung hukum yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 7 Tahun 2024 ini mencerminkan komitmen OJK untuk menciptakan industri BPR dan BPR Syariah yang lebih tangguh, efisien, dan berkelanjutan, serta mampu memberikan kontribusi yang lebih besar dalam mendukung perekonomian rakyat di Indonesia""
"
SEOJK NOMOR 21/SEOJK.03/2024 TENTANG PANDUAN AKUNTANSI PERBANKAN BAGI BANK PEREKONOMIAN RAKYAT
"Tujuan dan Latar Belakang:
Penerbitan SEOJK ini memiliki tujuan utama:
Meningkatkan transparansi kondisi keuangan BPR melalui laporan keuangan yang akurat dan dapat diandalkan.
Menyediakan panduan detail bagi BPR dalam menerapkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, khususnya SAK EP.
Memastikan keseragaman dan konsistensi dalam pelaporan keuangan BPR sehingga dapat diperbandingkan antar-BPR.
Mendukung pengawasan OJK terhadap kinerja keuangan BPR.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
SEOJK ini memuat ketentuan umum dan panduan teknis yang rinci mengenai berbagai aspek akuntansi bagi BPR, antara lain:
Ketentuan Umum:
Mendefinisikan BPR sebagai jenis bank konvensional yang tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
Menegaskan kewajiban BPR untuk menyusun dan menyajikan laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku, yaitu SAK EP.
Laporan keuangan wajib yang harus disusun oleh BPR meliputi:
Laporan Posisi Keuangan
Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain
Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Arus Kas
Catatan atas Laporan Keuangan
BPR juga wajib menyusun laporan keuangan bulanan.

kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan:
Menjelaskan tujuan laporan keuangan, asumsi dasar (dasar akrual dan kelangsungan usaha), karakteristik kualitatif informasi keuangan (relevan, representasi tepat, daya banding, daya uji, ketepatan waktu, dan dapat dipahami).
Menerangkan unsur-unsur laporan keuangan (aset, liabilitas, ekuitas, penghasilan, dan beban) serta pengakuan dan pengukuran setiap unsur.

Penyajian Laporan Keuangan:
Memberikan panduan rinci mengenai format dan isi setiap komponen laporan keuangan, termasuk judul laporan, periode pelaporan, dan mata uang pelaporan (Rupiah).
Laporan Posisi Keuangan: Menjelaskan klasifikasi aset (kas, penempatan pada bank lain, kredit yang diberikan, aset tetap, aset tidak berwujud, dll.), liabilitas (simpanan, pinjaman yang diterima, utang pajak, dll.), dan ekuitas.
Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain: Membahas pengakuan pendapatan (pendapatan bunga, pendapatan operasional lainnya) dan beban (beban bunga, beban operasional, beban umum dan administrasi).
Laporan Perubahan Ekuitas: Mengatur perubahan pada modal disetor, tambahan modal disetor, saldo laba, dan penghasilan komprehensif lain.
Laporan Arus Kas: Memberikan petunjuk penyusunan arus kas dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan, yang dapat disajikan menggunakan metode langsung atau tidak langsung.
Catatan atas Laporan Keuangan: Merupakan bagian integral laporan keuangan yang berisi informasi tambahan untuk menjelaskan pos-pos dalam laporan utama, dasar penyusunan, kebijakan akuntansi, dan pengungkapan lain yang diwajibkan oleh SAK EP.

Perlakuan Akuntansi Spesifik:
Kas dan Setara Kas: Pengakuan dan pengukuran kas dan setara kas.
Penempatan pada Bank Lain: Perlakuan akuntansi untuk penempatan dana pada bank lain.
Kredit yang Diberikan: Merupakan bagian krusial yang menjelaskan:
Pengakuan awal dan pengukuran selanjutnya.
Penilaian dan pengakuan penurunan nilai (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN). BPR wajib membentuk CKPN untuk aset keuangan yang diukur pada biaya perolehan diamortisasi.
Perlakuan akuntansi untuk penyelesaian kredit bermasalah (restrukturisasi).
Properti dan Peralatan (Aset Tetap): Pengakuan awal, pengukuran, penyusutan, dan penghentian pengakuan aset tetap.
Aset Tidak Berwujud: Pengakuan, pengukuran, amortisasi, dan penurunan nilai aset tidak berwujud.
Simpanan: Pengakuan dan pengukuran simpanan masyarakat (tabungan, deposito).
Pinjaman yang Diterima: Akuntansi untuk pinjaman yang diterima dari pihak ketiga.
Pendapatan dan Beban: Pengakuan pendapatan bunga, beban bunga, serta pendapatan dan beban operasional lainnya.

Pengungkapan:
Menjelaskan persyaratan pengungkapan yang relevan dalam catatan atas laporan keuangan untuk setiap pos laporan keuangan, transaksi pihak berelasi, peristiwa setelah periode pelaporan, dan sebagainya.

Dampak dan Implikasi:
Penerbitan SEOJK ini memiliki implikasi penting bagi BPR:
Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan: BPR diharapkan dapat menyusun laporan keuangan yang lebih berkualitas, transparan, dan sesuai standar internasional (melalui adaptasi SAK EP).
Peningkatan Efisiensi Operasional: Adanya panduan yang jelas akan membantu BPR dalam menyusun laporan keuangan dengan lebih efisien dan mengurangi potensi kesalahan.
Mempermudah Pengawasan OJK: Laporan keuangan yang seragam dan sesuai standar akan memudahkan OJK dalam melakukan analisis dan pengawasan terhadap kesehatan dan kinerja BPR.
Dukungan Terhadap Kepercayaan Investor dan Nasabah: Laporan keuangan yang transparan dan akuntabel akan meningkatkan kepercayaan pihak eksternal, termasuk calon investor dan nasabah.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 21/SEOJK.03/2024 adalah instrumen penting yang akan memperkuat tata kelola keuangan dan transparansi di sektor BPR, sejalan dengan upaya OJK untuk membangun industri keuangan yang lebih sehat dan berdaya saing"
POJK NOMOR 12/POJK.03/2016 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BPR BERDASARKAN MODAL INTIMencabut POJK: Peraturan ini mencabut dan menggantikan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/18/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat.

Gambaran Umum dan Tujuan:
POJK Nomor 12/POJK.03/2016 adalah regulasi krusial yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur kegiatan usaha dan wilayah jaringan kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan kelompok modal inti mereka. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan industri BPR yang lebih tersegmentasi, efisien, dan mampu memberikan kontribusi optimal dalam melayani kebutuhan keuangan masyarakat, terutama di segmen mikro dan kecil, sesuai dengan kapasitas modal yang dimiliki.

Poin-poin Penting:
Segmentasi Berbasis Modal Inti: POJK ini memperkenalkan klasifikasi BPR berdasarkan besaran modal inti (misalnya, BPRKU 1, BPRKU 2, dst.), yang menentukan lingkup kegiatan usaha dan wilayah operasional yang diperbolehkan. Hal ini mendorong BPR untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekuatan permodalannya.
BPRKU 1:
Adalah BPR dengan Modal Inti kurang dari Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa untuk dapat melakukan kegiatan usaha tertentu seperti penerbitan Kartu ATM, BPRKU 1 wajib memiliki modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
BPRKU 2:
Adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
BPRKU 3:
Adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor: Mengatur secara spesifik jenis kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh setiap kelompok BPRKU, serta ketentuan mengenai pembukaan, penutupan, dan relokasi kantor pusat, kantor cabang, dan kantor kas. Penekanan diberikan pada kesesuaian antara modal BPR dengan jangkauan geografis dan kompleksitas operasionalnya.
Peningkatan Efisiensi dan Daya Saing: Dengan adanya pengelompokan dan aturan yang lebih jelas, diharapkan BPR dapat beroperasi lebih efisien, meminimalisir risiko, dan meningkatkan daya saing dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Optimalisasi Peran BPR: Regulasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan peran BPR sebagai lembaga keuangan mikro yang vital, sehingga BPR dapat fokus pada segmen pasarnya secara efektif dan mendukung pembangunan ekonomi daerah.
Secara keseluruhan, POJK ini menjadi kerangka regulasi penting yang mendorong BPR untuk tumbuh secara sehat dan berkelanjutan, dengan fokus pada penguatan permodalan dan peningkatan kapasitas operasional dalam melayani kebutuhan keuangan masyarakat
SEOJK NOMOR 45/SEOJK.03/2017 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BPR BERDASARKAN MODAL INTI"Pencabutan Regulasi atau Ketentuan Sebelumnya:
SEOJK ini merupakan dokumen panduan implementasi dan petunjuk teknis untuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti.

Gambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) ini adalah instrumen vital yang dirancang untuk mempermudah dan memastikan kepatuhan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap ketentuan yang kompleks mengenai kegiatan usaha dan pengembangan jaringan kantor. Mengingat POJK 12/POJK.03/2016 mengelompokkan BPR berdasarkan modal inti (BPRKU 1, 2, dan 3) dan membatasi ruang lingkup kegiatan serta jangkauan geografis mereka, SEOJK ini hadir untuk menyediakan petunjuk operasional yang spesifik, formulir pelaporan, dan standar teknis yang diperlukan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan ambiguitas, memastikan konsistensi dalam interpretasi dan aplikasi regulasi, serta memfasilitasi BPR agar dapat beroperasi secara efisien, terukur, dan sesuai dengan kapasitas permodalan masing-masing, sehingga berkontribusi pada stabilitas dan pertumbuhan industri BPR.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
SEOJK ini merupakan ""manual"" praktis yang menerjemahkan prinsip-prinsip dalam POJK 12/POJK.03/2016 ke dalam langkah-langkah konkret bagi BPR. Ini mencakup bagaimana BPR harus menafsirkan dan menerapkan batasan kegiatan usaha (misalnya, jenis produk kredit/dana yang boleh ditawarkan) dan cakupan wilayah jaringan kantor (misalnya, di mana kantor cabang atau kantor kas bisa dibuka) sesuai dengan kategori BPRKU mereka.
Implikasi: Memastikan tidak ada gap antara regulasi tingkat POJK dengan praktik di lapangan, mendorong BPR untuk beroperasi dalam koridor yang diizinkan dan sesuai dengan kapasitasnya.

Prosedur, Persyaratan, dan Format Pelaporan yang Rinci:
Salah satu kontribusi utama SEOJK ini adalah menyediakan prosedur operasional yang terperinci untuk berbagai kegiatan yang diatur. Misalnya, prosedur untuk pengajuan izin pembukaan kantor baru (cabang atau kas), relokasi kantor, atau penutupan kantor.
SEOJK ini juga menyertakan persyaratan administrasi yang lengkap dan format-format laporan/formulir yang wajib digunakan oleh BPR saat berinteraksi dengan OJK, seperti laporan mengenai pelaksanaan kegiatan usaha baru atau data jaringan kantor.
Implikasi: Mempermudah BPR dalam memenuhi kewajiban pelaporan dan perizinan, mengurangi potensi kesalahan atau ketidakpatuhan karena kurangnya kejelasan, dan mempercepat proses persetujuan oleh OJK.

Klarifikasi Teknis untuk Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor:
SEOJK ini memberikan penjelasan teknis dan klarifikasi atas aspek-aspek tertentu dari kegiatan usaha BPR yang mungkin memerlukan detail lebih lanjut. Ini bisa berupa panduan terkait penggunaan teknologi informasi dalam layanan, atau batasan geografis yang lebih spesifik untuk setiap kelompok BPRKU dalam konteks pembukaan kantor.
Implikasi: Meningkatkan pemahaman BPR terhadap batasan dan peluang operasional mereka, serta membantu BPR dalam merencanakan strategi pengembangan bisnis dan jaringan kantor secara efektif dan sesuai regulasi.

Peningkatan Kualitas Pengawasan dan Tata Kelola:
Dengan adanya pedoman yang rinci, OJK dapat melakukan pengawasan yang lebih efektif dan konsisten terhadap BPR, karena ada standar yang jelas untuk dievaluasi.
Bagi BPR sendiri, kebutuhan untuk mematuhi prosedur dan format yang ditetapkan dalam SEOJK ini akan mendorong peningkatan kualitas tata kelola internal, terutama dalam aspek manajemen data, pelaporan, dan proses pengambilan keputusan terkait ekspansi usaha.
Implikasi: Mendorong praktik bisnis yang lebih transparan dan akuntabel di kalangan BPR, yang pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan publik terhadap industri BPR."
POJK NOMOR 25 /POJK.03/2021 TENTANG PENYELENGGARAAN PRODUK BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH"Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2021 adalah regulasi fundamental yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat dan menyempurnakan ketentuan mengenai penyelenggaraan produk-produk oleh Bank Umum. POJK ini bertujuan untuk menciptakan industri perbankan yang lebih inovatif namun tetap prudent, meningkatkan perlindungan nasabah, serta mendorong efisiensi dan transparansi dalam pengembangan dan pemasaran produk bank. Regulasi ini mengakomodasi perkembangan teknologi dan dinamika pasar, memberikan fleksibilitas bagi bank untuk berinovasi sambil tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dan kepentingan nasabah.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:

Pendekatan Berbasis Risiko dalam Penyelenggaraan Produk:
POJK ini menekankan pendekatan berbasis risiko dalam setiap tahapan penyelenggaraan produk, mulai dari tahap pengembangan, peluncuran, hingga pengawasan pasca-penjualan. Bank diwajibkan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko secara menyeluruh terkait setiap produk yang ditawarkan.
Implikasi: Mendorong bank untuk memiliki kerangka manajemen risiko yang kuat dan terintegrasi dalam siklus hidup produk, sehingga dapat mengurangi potensi risiko operasional, risiko pasar, dan risiko reputasi.

Kategorisasi Produk dan Perizinan/Pemberitahuan:
Peraturan ini mengklasifikasikan produk bank menjadi beberapa kategori, seperti produk dasar, produk berisiko rendah, produk berisiko sedang, dan produk berisiko tinggi. Kategorisasi ini menentukan mekanisme perizinan atau pemberitahuan kepada OJK. Produk dengan risiko lebih tinggi memerlukan persetujuan OJK, sementara produk dengan risiko lebih rendah cukup dengan pemberitahuan.
Implikasi: Menyederhanakan proses perizinan untuk produk-produk yang tidak terlalu kompleks, namun tetap menjaga pengawasan ketat untuk produk yang berpotensi menimbulkan risiko signifikan bagi bank maupun nasabah. Ini juga mendorong inovasi yang bertanggung jawab.

Penguatan Perlindungan Konsumen:
POJK ini secara eksplisit memperkuat aspek perlindungan nasabah. Bank diwajibkan untuk menyampaikan informasi produk secara lengkap, jelas, dan transparan, termasuk manfaat, risiko, biaya, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Prinsip know your customer (KYC) dan suitability test (kesesuaian produk dengan nasabah) ditekankan.
Implikasi: Meningkatkan literasi keuangan nasabah dan memastikan nasabah mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan profil risikonya, serta meminimalisir praktik penjualan yang tidak bertanggung jawab (mis-selling).

Inovasi dan Pemanfaatan Teknologi:
Regulasi ini mengakomodasi penggunaan teknologi informasi dan inovasi dalam penyelenggaraan produk, termasuk digitalisasi layanan dan produk keuangan. Bank didorong untuk memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan jangkauan layanan yang lebih luas.
Implikasi: Mendorong transformasi digital di sektor perbankan, memungkinkan bank untuk menawarkan produk dan layanan yang lebih modern dan relevan dengan perkembangan zaman.

Persyaratan Tata Kelola dan Sumber Daya Manusia:
Bank diwajibkan untuk memiliki tata kelola yang baik dalam proses penyelenggaraan produk, termasuk peran aktif Dewan Komisaris dan Direksi. Ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan memahami produk yang ditawarkan juga menjadi perhatian.
Implikasi: Memastikan adanya akuntabilitas dan kompetensi di internal bank dalam mengelola siklus hidup produk, mulai dari desain hingga pemasaran"
SEOJK NOMOR 8/SEOJK.03/2022 TENTANG PENYELENGGARAAN PRODUK BANK PERKREDITAN RAKYAT"SEOJK ini menggantikan SEOJK Nomor 45/SEOJK.03/2017 tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti.

Inti Regulasi:
SEOJK ini adalah panduan lengkap dari OJK tentang bagaimana Bank Perkreditan Rakyat (BPR) boleh membuat dan menawarkan produknya kepada masyarakat. Ini dibuat untuk menjelaskan lebih lanjut aturan dalam POJK Nomor 25/POJK.03/2021 tentang produk BPR. Tujuannya agar BPR bisa inovatif tapi tetap hati-hati, melindungi nasabah, dan beroperasi secara transparan.


Poin-poin Penting:
Jenis-jenis Produk BPR: Produk BPR dibagi menjadi dua:
Produk Dasar: Ini adalah layanan inti BPR seperti tabungan, deposito, dan kredit. Ciri-cirinya sederhana dan risikonya rendah.

Produk Lanjutan: Ini adalah produk yang lebih kompleks, sering melibatkan teknologi (seperti mobile banking) atau kerjasama dengan lembaga lain (seperti bancassurance), dan bisa memiliki risiko lebih tinggi.

Produk Baru: Sebuah produk dianggap baru jika belum pernah ditawarkan BPR atau ada pengembangan fitur yang mengubah risikonya (misal: ATM tanpa kartu). Produk baru ini harus direncanakan dalam rencana bisnis BPR.

Prinsip Kehati-hatian: BPR harus selalu menerapkan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dalam setiap produknya. Ini termasuk memastikan modal yang cukup, mengidentifikasi dan mengelola semua risiko (seperti risiko kredit, operasional, reputasi), serta memiliki prosedur tertulis untuk setiap produk.

Mekanisme Peluncuran Produk Baru:
Produk Dasar Baru: Cukup melaporkan realisasinya kepada OJK.
Produk Lanjutan Baru: Memerlukan persetujuan OJK. Bisa melalui uji coba terbatas (piloting review), persetujuan tanpa uji coba (misal jika sudah ada izin dari otoritas lain), atau instant-approval (pemberitahuan langsung) bagi BPR yang sehat dan memiliki peringkat risiko baik. OJK berhak menghentikan rencana jika ada masalah.

Penghentian Produk: Produk bisa dihentikan atas inisiatif BPR (dengan rencana jelas) atau atas perintah OJK jika ada pelanggaran atau risiko signifikan.

Perlindungan Konsumen: BPR wajib menyampaikan informasi produk secara transparan (manfaat, biaya, risiko) dan memastikan nasabah memahaminya. Penggunaan data nasabah harus dengan persetujuan atau dasar hukum.

Pelaporan: BPR wajib menyampaikan laporan terkait penyelenggaraan produk baru atau penghentian produk kepada OJK."
POJK NOMOR 1 /POJK.03/2022 TENTANG LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF"Tujuan dan Latar Belakang:

Penerbitan POJK ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan mendesak untuk memperluas akses layanan keuangan di Indonesia, sejalan dengan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang dicanangkan pemerintah. Tujuannya adalah untuk:
Mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui perluasan akses layanan keuangan secara berkelanjutan.
Meningkatkan keuangan inklusif dengan menjangkau masyarakat yang belum mengenal, menggunakan, dan/atau mendapatkan layanan keuangan.
Memperkuat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan layanan keuangan tanpa kantor seiring perkembangan teknologi informasi dan kondisi perbankan.
Menyediakan kerangka hukum yang jelas dan komprehensif bagi Bank dan Agen Laku Pandai.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
POJK ini memuat pengaturan komprehensif mengenai penyelenggaraan Laku Pandai, meliputi:

Definisi dan Ruang Lingkup:
Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai): Layanan keuangan yang dilakukan tanpa kantor fisik, memanfaatkan Agen Laku Pandai dan didukung teknologi informasi.
Bank Penyelenggara Laku Pandai: Bank Umum yang memenuhi kriteria dan mendapatkan persetujuan OJK untuk menyelenggarakan Laku Pandai.
Agen Laku Pandai: Pihak yang bekerja sama dengan Bank Penyelenggara untuk menyediakan layanan Laku Pandai kepada masyarakat. Agen dapat berupa perorangan atau badan hukum.

Produk Laku Pandai yang dapat ditawarkan meliputi:
Tabungan dengan fitur basic saving account (BSA)
Kredit/pembiayaan mikro
Asuransi mikro
Produk layanan keuangan lainnya yang ditetapkan OJK.

Bank Penyelenggara Laku Pandai:
Persyaratan: Bank wajib memenuhi persyaratan tertentu, seperti modal inti minimal, rasio kredit bermasalah (NPL) yang sehat, nilai komposit GCG (Good Corporate Governance) minimal 2, dan memiliki sistem informasi serta manajemen risiko yang memadai.
Perizinan: Bank yang ingin menyelenggarakan Laku Pandai harus mengajukan permohonan persetujuan kepada OJK.
Tanggung Jawab Bank: Bank memiliki tanggung jawab penuh atas seluruh aktivitas Laku Pandai yang diselenggarakan, termasuk kegiatan Agen Laku Pandai. Ini mencakup penerapan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU PPT), serta perlindungan konsumen.
Penyediaan Infrastruktur: Bank wajib menyediakan infrastruktur teknologi yang andal, sistem keamanan informasi, dan mekanisme penanganan pengaduan nasabah.

Agen Laku Pandai:
Persyaratan: Agen Laku Pandai harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Penyelenggara, termasuk integritas, memiliki tempat usaha yang representatif, dan tidak bekerja sama dengan lebih dari satu Bank untuk jenis produk yang sama.
Peran dan Fungsi: Agen bertindak sebagai perpanjangan tangan Bank untuk melayani nasabah, seperti pembukaan rekening, penyetoran, penarikan tunai, pembayaran tagihan, dan pengajuan kredit/pembiayaan mikro.
Pengawasan dan Pembinaan: Bank wajib melakukan pembinaan dan pengawasan yang memadai terhadap Agen Laku Pandai untuk memastikan kepatuhan terhadap standar operasional dan ketentuan yang berlaku.
Pembatasan Transaksi: Terdapat pembatasan nilai transaksi yang dapat dilakukan melalui Agen Laku Pandai untuk mitigasi risiko.

Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko:
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam penyelenggaraan Laku Pandai, mencakup risiko kredit, operasional, hukum, reputasi, dan kepatuhan.
Penerapan program APU PPT yang ketat, termasuk identifikasi dan verifikasi nasabah (CDD/EDD) yang memadai.
Penggunaan teknologi dan biometrik untuk identifikasi nasabah (what you know, what you have, what you are) seperti sidik jari, suara, dan iris mata.

Perlindungan Konsumen:
Bank wajib memastikan bahwa nasabah Laku Pandai mendapatkan informasi yang jelas dan transparan mengenai produk dan layanan.
Mekanisme penanganan pengaduan nasabah harus tersedia dan mudah diakses.
Edukasi dan literasi keuangan kepada masyarakat merupakan bagian integral dari program Laku Pandai.

Pelaporan:
Bank Penyelenggara wajib menyampaikan laporan perkembangan penyelenggaraan Laku Pandai kepada OJK secara berkala, meliputi perkembangan Agen, produk, dan transaksi.

Dampak dan Implikasi:
POJK ini diharapkan membawa dampak positif yang signifikan:
Peningkatan Akses Keuangan: Mempercepat inklusi keuangan di Indonesia, terutama di daerah remote atau unbanked.
Efisiensi Layanan: Memberikan alternatif layanan perbankan yang lebih efisien dan terjangkau bagi masyarakat.
Peningkatan Literasi Keuangan: Mendorong edukasi dan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan keuangan.
Penguatan Pengawasan: Memberikan kerangka regulasi yang jelas bagi OJK untuk mengawasi dan memastikan keberlangsungan program Laku Pandai dengan aman dan sehat.
Mitigasi Risiko: Menekankan pentingnya manajemen risiko dan kepatuhan terhadap APU PPT untuk mencegah penyalahgunaan.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 1/POJK.03/2022 ini adalah instrumen krusial dalam mendukung agenda nasional keuangan inklusif, memastikan bahwa masyarakat luas, termasuk yang belum terjangkau layanan perbankan tradisional, dapat mengakses produk dan layanan keuangan secara aman dan efektif"
POJK NOMOR 26 TAHUN 2024 TENTANG PERLUASAN KEGIATAN USAHA PERBANKAN"Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 26 Tahun 2024 adalah regulasi penting yang dikeluarkan OJK untuk memperluas dan mengatur kegiatan usaha bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)/Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). POJK ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang memungkinkan bank berinovasi, beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan memenuhi kebutuhan nasabah yang semakin beragam, sejalan dengan mandat UU P2SK. Fokus utamanya adalah mendorong bank untuk tidak hanya berfokus pada aktivitas konvensional, tetapi juga dapat melakukan kegiatan usaha yang lebih luas dan strategis, mendukung pengembangan ekosistem keuangan yang lebih komprehensif.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Perluasan Definisi Kegiatan Usaha Perbankan:
POJK ini memperluas cakupan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank. Selain kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana tradisional, bank kini diizinkan untuk melakukan kegiatan yang lebih beragam seperti penyertaan modal pada lembaga penunjang, kegiatan berbasis teknologi informasi, dan layanan lain yang relevan dengan perkembangan industri keuangan.
Implikasi: Memberikan fleksibilitas lebih besar bagi bank untuk berinovasi dan mendiversifikasi sumber pendapatan, serta memenuhi tuntutan pasar yang terus berubah.

Penyertaan Modal pada Lembaga Penunjang:
Mengatur secara lebih rinci ketentuan bagi bank untuk melakukan penyertaan modal pada Lembaga Penunjang, yaitu badan hukum yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang mendukung atau terkait dengan kegiatan usaha bank. Ini mencakup persyaratan, batasan persentase kepemilikan, dan proses perizinan/pelaporan kepada OJK.
Implikasi: Memungkinkan bank untuk berinvestasi pada perusahaan teknologi keuangan (fintech), perusahaan analitik data, atau penyedia infrastruktur keuangan lainnya, sehingga dapat meningkatkan efisiensi operasional dan mengembangkan layanan digital.

Pengaturan Kegiatan Usaha Berbasis Teknologi Informasi:
POJK ini secara eksplisit mengakomodasi kegiatan usaha perbankan yang memanfaatkan teknologi informasi secara intensif, seperti pengembangan platform digital, open banking, atau pemanfaatan big data.
Implikasi: Mendorong transformasi digital di sektor perbankan, memungkinkan bank untuk bersaing di era digital dan menyediakan layanan yang lebih modern dan efisien kepada nasabah.

Jenis-jenis Kegiatan Usaha Tambahan Lainnya:
Selain penyertaan modal dan kegiatan berbasis teknologi, POJK ini juga membuka peluang bagi bank untuk melakukan kegiatan usaha tambahan lain yang disetujui OJK, selama relevan dengan industri perbankan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Implikasi: Memberikan ruang bagi bank untuk terus berinovasi dan menciptakan model bisnis baru di masa depan.

Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko:
Meskipun memperluas kegiatan usaha, POJK ini tetap menekankan pentingnya penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang kuat. Bank diwajibkan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari setiap kegiatan usaha baru yang dilakukan.
Implikasi: Menjaga stabilitas sistem keuangan dan melindungi kepentingan nasabah di tengah inovasi dan perluasan kegiatan bank.

Peningkatan Tata Kelola:
POJK ini juga menyoroti pentingnya tata kelola yang baik dalam melakukan kegiatan usaha baru. Bank diwajibkan memiliki kebijakan dan prosedur internal yang jelas, serta memastikan kompetensi sumber daya manusia yang terlibat.
Implikasi: Memastikan akuntabilitas dan pengawasan internal yang efektif dalam setiap kegiatan usaha yang diperluas."
POJK NOMOR 27/POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA"Pencabutan Regulasi atau Ketentuan Sebelumnya:
POJK ini secara spesifik mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal 18 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan. Selain itu, ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan pada masing-masing sektor jasa keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan POJK ini.

Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2016 adalah regulasi fundamental yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat penerapan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance - GCG) di seluruh Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa LJK dipimpin dan dikelola oleh individu-individu yang memiliki kemampuan (kompetensi dan integritas) serta kepatutan (reputasi, rekam jejak, dan tidak tercela) yang memadai. POJK ini menjadi dasar hukum bagi OJK untuk melakukan penilaian (fit and proper test) terhadap Pihak Utama LJK, seperti Direksi, Dewan Komisaris, dan posisi kunci lainnya, guna menciptakan LJK yang sehat, melindungi kepentingan pemangku kepentingan, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Cakupan Pihak Utama yang Luas:
POJK ini berlaku untuk Pihak Utama pada berbagai jenis LJK, termasuk Bank Umum (Konvensional dan Syariah), BPR/BPRS, Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Penjaminan, dan Perusahaan Pergadaian. Pihak Utama yang dimaksud meliputi calon Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan posisi kunci lainnya yang ditetapkan oleh OJK.
Implikasi: Menyelaraskan standar kemampuan dan kepatutan di seluruh sektor jasa keuangan di bawah pengawasan OJK, memastikan kualitas kepemimpinan yang seragam dan tinggi.

Kriteria Penilaian Kemampuan dan Kepatutan:
Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria Kemampuan (meliputi kompetensi, keahlian, dan pengalaman yang relevan dengan posisi) dan Kepatutan (meliputi integritas, rekam jejak keuangan dan hukum, reputasi, serta tidak pernah melakukan tindakan tercela).
Implikasi: Mencegah individu yang tidak memiliki kualifikasi atau integritas yang diragukan untuk menduduki posisi kunci di LJK, sehingga mengurangi risiko operasional dan reputasi.

Mekanisme Pengajuan dan Proses Penilaian:
POJK ini mengatur secara rinci prosedur pengajuan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan, termasuk dokumen-dokumen yang diperlukan dan tahapan proses penilaian oleh OJK.
OJK memiliki kewenangan untuk meminta informasi tambahan, melakukan wawancara, dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk mendukung penilaian.
Implikasi: Standardisasi proses penilaian, memberikan kejelasan bagi LJK dan calon Pihak Utama, serta memperkuat fungsi gatekeeper OJK dalam menyaring individu yang layak.

Konsekuensi Pelanggaran dan Sanksi:
POJK ini menetapkan konsekuensi jika Pihak Utama tidak memenuhi kriteria kemampuan dan kepatutan, atau jika terdapat pelanggaran selama proses penilaian. Sanksi dapat berupa penolakan pengangkatan, pembatalan pengangkatan, hingga larangan menduduki posisi di LJK dalam jangka waktu tertentu.
Implikasi: Mendorong LJK untuk melakukan seleksi internal yang ketat dan memastikan individu yang diajukan sudah memenuhi standar yang dipersyaratkan.

Pembaruan dan Penyesuaian Terhadap Perkembangan:
POJK ini mengakomodasi perkembangan ketentuan tata kelola dan kebutuhan industri jasa keuangan, sejalan dengan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK.
Implikasi: Memastikan kerangka penilaian yang relevan dan adaptif terhadap dinamika industri dan regulasi yang terus berkembang"
SEOJK NOMOR 39/SEOJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA KEUANGAN"SEOJK ini merupakan ketentuan pelaksanaan dan petunjuk teknis yang lebih detail untuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. SEOJK ini secara spesifik menggantikan beberapa ketentuan pelaksanaan dari peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) sebelumnya, yang kini diselaraskan di bawah POJK 27/POJK.03/2016.

Gambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 39/SEOJK.03/2016 adalah pedoman operasional krusial yang dikeluarkan OJK untuk memperinci proses dan persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) bagi calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon anggota Direksi, dan calon anggota Dewan Komisaris pada Bank (Bank Umum, Bank Umum Syariah, BPR, dan BPRS). SEOJK ini bertujuan untuk memastikan bahwa individu-individu yang akan menduduki posisi kunci di perbankan memiliki integritas, kompetensi, dan rekam jejak yang bersih, sesuai dengan standar yang lebih tinggi yang ditetapkan dalam POJK 27/POJK.03/2016. Ini adalah upaya OJK untuk memperkuat tata kelola bank, mengurangi risiko, dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Cakupan Pihak yang Dinilai:
SEOJK ini secara spesifik mengatur penilaian bagi:
Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank
Calon Anggota Direksi Bank
Calon Anggota Dewan Komisaris Bank
Implikasi: Memastikan bahwa individu di puncak kepemimpinan dan kendali bank memiliki kualifikasi dan integritas yang memadai, sehingga dapat mengelola bank secara prudent dan bertanggung jawab.

Mekanisme dan Prosedur Penilaian yang Detail:
SEOJK ini memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai tahapan proses penilaian kemampuan dan kepatutan, mulai dari pengajuan permohonan, dokumen yang diperlukan, hingga proses verifikasi dan wawancara oleh OJK.
Ini mencakup persyaratan dokumen yang komprehensif, seperti rekam jejak keuangan, pengalaman kerja, sertifikasi profesional, dan laporan kepatuhan hukum.
Implikasi: Standardisasi dan transparansi proses fit and proper test, memudahkan bank dalam mempersiapkan calon dan memastikan kepatuhan terhadap prosedur OJK.

Kriteria Penilaian Kemampuan dan Kepatutan:
Kemampuan: Dinilai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja yang relevan di bidang perbankan atau keuangan, kompetensi teknis, dan pemahaman terhadap regulasi serta tata kelola.
Kepatutan: Dinilai dari integritas (tidak pernah melakukan tindak pidana, tidak sedang dalam proses hukum, tidak memiliki riwayat kredit macet), reputasi (pandangan publik, track record di industri), dan komitmen terhadap pengembangan bank.
Implikasi: Menghindari individu yang berpotensi membawa risiko moral hazard atau kegagalan tata kelola masuk ke dalam jajaran manajemen dan kepemilikan bank.

Konsekuensi Hasil Penilaian dan Sanksi:
Menjelaskan konsekuensi jika calon tidak lulus penilaian, seperti penolakan permohonan.
Juga menguraikan sanksi bagi bank jika mengajukan calon yang tidak memenuhi syarat atau jika terdapat pelanggaran dalam proses pengajuan.
Implikasi: Mendorong bank untuk melakukan seleksi internal yang ketat sebelum mengajukan calon kepada OJK, serta meningkatkan akuntabilitas bank dalam pemilihan Pihak Utama.

Penguatan Tata Kelola Perbankan:
Dengan adanya standar yang ketat untuk PSP, Direksi, dan Komisaris, SEOJK ini secara langsung berkontribusi pada penguatan tata kelola di sektor perbankan. Bank akan dipimpin oleh individu yang kompeten dan berintegritas.
Implikasi: Meningkatkan kepercayaan masyarakat, mendorong operasional bank yang sehat, dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan"
POJK NOMOR 34/POJK.03/2018 TENTANG PENILAIAN KEMBALI BAGI PIHAK UTAMA LJK"Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.03/2018 adalah regulasi penting yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat pengawasan dan memastikan kualitas Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK) secara berkelanjutan. POJK ini fokus pada penilaian kembali (re-assessment) terhadap Pihak Utama yang telah disetujui sebelumnya, seperti anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham Pengendali. Tujuannya adalah untuk menjaga LJK agar selalu dikelola oleh individu yang tetap memiliki kemampuan, integritas, dan kepatutan yang dipersyaratkan selama masa jabatannya, serta merespons dinamika perubahan yang mungkin memengaruhi status mereka. Ini merupakan bagian krusial dari upaya OJK untuk menciptakan LJK yang sehat, stabil, dan melindungi kepentingan masyarakat.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Cakupan Penilaian Kembali yang Luas:
POJK ini berlaku untuk Pihak Utama pada seluruh LJK yang diawasi OJK, termasuk Bank Umum (Konvensional dan Syariah), Bank Perkreditan Rakyat (BPR)/Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan LJK lainnya yang relevan. Pihak Utama yang dimaksud adalah individu yang telah memperoleh persetujuan atau telah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dari OJK atau otoritas sebelumnya.
Implikasi: Memastikan standar kualitas kepemimpinan yang konsisten dan berkelanjutan di seluruh sektor jasa keuangan, bukan hanya pada saat pengangkatan awal.

Mekanisme Pemicu Penilaian Kembali:
Penilaian kembali dapat dilakukan oleh OJK karena berbagai faktor, antara lain:
Perubahan Material: Jika terjadi perubahan signifikan pada profil risiko LJK, atau perubahan pada Pihak Utama itu sendiri (misalnya, adanya kasus hukum, penurunan kinerja, atau perubahan status keuangan yang signifikan).
Informasi Baru: Jika OJK menerima informasi atau temuan baru yang relevan dan dapat memengaruhi kemampuan atau kepatutan Pihak Utama yang bersangkutan.
Berkala: Meskipun tidak selalu dijadwalkan secara periodik seperti fit and proper test awal, OJK dapat melakukan penilaian kembali berdasarkan hasil pengawasan rutin atau indikasi tertentu.
Implikasi: Memberikan OJK alat yang fleksibel untuk merespons dinamika dan potensi risiko yang mungkin muncul setelah Pihak Utama menjabat, menjaga kualitas manajemen LJK tetap prima.

Kriteria Penilaian Kembali:
Kriteria yang digunakan dalam penilaian kembali tetap berpegang pada prinsip kemampuan (kompetensi, keahlian, dan pengalaman yang relevan) dan kepatutan (integritas, rekam jejak yang bersih, reputasi baik, dan tidak tercela).
Penilaian akan mencakup performa kerja, kepatuhan terhadap regulasi, dan keberlanjutan integritas individu selama menjabat.
Implikasi: Menekankan pentingnya kinerja berkelanjutan dan menjaga integritas sepanjang masa jabatan Pihak Utama.

Prosedur dan Persyaratan:
POJK ini mengatur prosedur pengajuan informasi dan dokumen yang diperlukan dari LJK atau Pihak Utama yang dinilai kembali. OJK berwenang untuk melakukan wawancara, meminta klarifikasi, dan mengumpulkan bukti pendukung lainnya.
Implikasi: Standardisasi proses penilaian kembali, memberikan kejelasan bagi LJK dan individu yang dinilai, serta memperkuat fungsi pengawasan OJK.

Konsekuensi Hasil Penilaian Kembali dan Sanksi:
Jika Pihak Utama dinilai tidak lagi memenuhi kriteria kemampuan dan/atau kepatutan, OJK dapat memerintahkan LJK untuk memberhentikan Pihak Utama tersebut.
Terdapat juga potensi sanksi bagi LJK yang tidak mematuhi ketentuan terkait penilaian kembali atau tidak menindaklanjuti perintah OJK.
Implikasi: Memastikan bahwa LJK segera mengambil tindakan korektif terhadap Pihak Utama yang tidak lagi memenuhi standar, demi menjaga kesehatan dan reputasi LJK"
SEOJK NOMR 9/SEOJK.03/2019 TENTANG PENILAIAN KEMBALI BAGI PIHAK UTAMA LJK"Gambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 9/SEOJK.03/2019 adalah pedoman operasional krusial yang dikeluarkan OJK untuk memperinci proses dan persyaratan penilaian kembali (re-assessment) terhadap Pihak Utama Bank. Ini mencakup Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris Bank yang telah menduduki jabatannya. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa individu-individu kunci di perbankan senantiasa memiliki kemampuan, integritas, dan kepatutan yang dipersyaratkan oleh regulasi OJK selama masa jabatan mereka. SEOJK ini merupakan bagian integral dari upaya OJK untuk menjaga kualitas tata kelola dan stabilitas sektor perbankan secara berkelanjutan.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Cakupan Pihak Utama Bank yang Dinilai Kembali:
SEOJK ini secara spesifik mengatur penilaian kembali bagi:
Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank.
Anggota Direksi Bank.
Anggota Dewan Komisaris Bank.
Implikasi: Memastikan bahwa individu yang memegang kendali dan manajemen puncak bank secara terus-menerus memenuhi standar kompetensi dan integritas, bukan hanya pada saat pengangkatan awal.

Mekanisme Pemicu Penilaian Kembali yang Detail:
SEOJK ini menjabarkan lebih lanjut kapan OJK akan melakukan penilaian kembali, yaitu jika terjadi:
Perubahan Material: Adanya informasi atau peristiwa yang signifikan dan dapat memengaruhi kemampuan atau kepatutan Pihak Utama (misalnya, masalah hukum, perubahan signifikan dalam kondisi keuangan pribadi, atau temuan pengawasan OJK).
Permintaan OJK: OJK dapat memerintahkan penilaian kembali berdasarkan hasil pengawasan atau informasi lain yang dianggap relevan.
Peninjauan Ulang (Reconsideration): Ketentuan ini juga mengatur prosedur bagi Pihak Utama yang sebelumnya dinyatakan ""Tidak Lulus"" dalam penilaian kemampuan dan kepatutan untuk mengajukan peninjauan ulang, dengan persyaratan dan jangka waktu tertentu.
Implikasi: Memberikan kejelasan tentang kondisi-kondisi yang dapat memicu penilaian kembali, sehingga bank dan Pihak Utama dapat mempersiapkan diri dan memitigasi risiko.

Prosedur dan Persyaratan Dokumen:
SEOJK ini memuat secara rinci daftar dokumen dan informasi yang harus disampaikan oleh bank atau Pihak Utama kepada OJK dalam proses penilaian kembali. Ini mencakup dokumen-dokumen terkait kinerja, kepatuhan, rekam jejak, dan informasi lain yang relevan dengan kriteria kemampuan dan kepatutan.
Implikasi: Standardisasi proses, mengurangi ambiguitas, dan memastikan kelengkapan data yang dibutuhkan OJK untuk melakukan penilaian yang akurat.

Kriteria Penilaian Kembali:
Penilaian kembali akan tetap berdasarkan kriteria kemampuan (meliputi kompetensi, pengalaman, dan pemahaman terkait posisi) dan kepatutan (meliputi integritas, rekam jejak, reputasi, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk tidak adanya catatan negatif seperti terlibat pailit atau masalah hukum serius).
Implikasi: Menjaga standar kualitas Pihak Utama bank tetap tinggi selama masa jabatannya, mencegah praktik-praktik yang dapat merugikan bank atau nasabah.

Konsekuensi dan Tindak Lanjut:
Jika hasil penilaian kembali menyatakan Pihak Utama ""Tidak Lulus"" atau tidak lagi memenuhi syarat, OJK akan memerintahkan bank untuk memberhentikan Pihak Utama tersebut.
SEOJK ini juga mengatur mengenai jangka waktu larangan bagi individu yang dinyatakan ""Tidak Lulus"" untuk kembali menduduki posisi di bank.
Implikasi: Memberikan konsekuensi yang tegas bagi Pihak Utama yang tidak lagi memenuhi standar, dan mendorong bank untuk segera melakukan penggantian demi menjaga kesehatan operasional dan reputasi"
POJK NOMOR 14/POJK.03/2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34/POJK.03/2018 TENTANG PENILAIAN KEMBALI BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN"Pencabutan Regulasi atau Ketentuan Sebelumnya:
POJK ini tidak mencabut POJK lain, melainkan mengubah (amends) beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. Perubahan ini dilakukan untuk menyempurnakan prosedur penilaian kembali agar lebih efektif dalam merespons kompleksitas kegiatan LJK dan percepatan penanganan permasalahan.

Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.03/2021 adalah regulasi yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat dan menyempurnakan mekanisme penilaian kembali (re-assessment) terhadap Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (LJK). POJK ini merupakan revisi dari POJK 34/POJK.03/2018, dengan fokus utama pada penyesuaian prosedur agar lebih responsif terhadap dinamika dan permasalahan yang muncul di LJK. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa Pihak Utama LJK (seperti Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham Pengendali) senantiasa memenuhi standar kemampuan dan kepatutan yang tinggi sepanjang masa jabatannya, serta memungkinkan OJK untuk bertindak lebih cepat dalam menangani kasus-kasus yang memerlukan penilaian kembali.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:

Percepatan Proses Penilaian Kembali:
POJK ini menyempurnakan prosedur penilaian kembali untuk memungkinkan OJK bertindak lebih cepat dalam menangani permasalahan yang terkait dengan Pihak Utama LJK. Hal ini penting mengingat semakin kompleksnya kegiatan LJK.
Implikasi: Memungkinkan OJK untuk menjaga stabilitas LJK dengan lebih responsif, mengurangi potensi risiko sistemik yang timbul dari permasalahan Pihak Utama.

Penyesuaian Kriteria Penilaian Kembali:
Perubahan ini mungkin mencakup penyesuaian pada indikator atau kriteria yang digunakan untuk menilai kembali kemampuan dan kepatutan Pihak Utama, agar lebih relevan dengan kondisi industri jasa keuangan saat ini dan tantangan yang dihadapi.
Implikasi: Penilaian menjadi lebih akurat dan tepat sasaran dalam mengidentifikasi potensi masalah pada Pihak Utama.

Klarifikasi Atas Pelanggaran dan Konsekuensi:
POJK ini bisa jadi memberikan klarifikasi atau penegasan lebih lanjut mengenai jenis-jenis pelanggaran atau tindakan yang dapat memicu penilaian kembali, serta konsekuensi yang akan diterima oleh Pihak Utama atau LJK terkait.
Implikasi: Memberikan kejelasan hukum yang lebih baik bagi LJK dan Pihak Utama mengenai standar yang harus dipatuhi dan risiko yang dihadapi jika terjadi penyimpangan.

Optimalisasi Kewenangan OJK:
Perubahan ini memperkuat kewenangan OJK dalam melakukan penilaian kembali, termasuk kemampuan untuk memerintahkan tindakan korektif yang lebih cepat dan tegas jika Pihak Utama dinilai tidak lagi memenuhi standar.
Implikasi: Meningkatkan efektivitas pengawasan OJK dalam menjaga integritas dan kompetensi jajaran pimpinan LJK.

Relevansi dengan Kompleksitas LJK:
Perubahan ini mengakui bahwa kegiatan LJK semakin kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, prosedur penilaian kembali harus adaptif untuk menghadapi tantangan baru, seperti risiko siber, inovasi teknologi, atau permasalahan tata kelola yang lebih canggih.
Implikasi: Memastikan kerangka regulasi penilaian kembali tetap relevan dan efektif dalam melindungi sektor jasa keuangan dari risiko-risiko modern.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 14/POJK.03/2021 adalah upaya OJK untuk terus menyempurnakan kerangka pengawasan kualitas Pihak Utama LJK. Dengan perubahan ini, OJK bertujuan untuk memastikan bahwa LJK selalu dikelola oleh individu yang tidak hanya kompeten dan berintegritas, tetapi juga mampu beradaptasi dan responsif terhadap berbagai tantangan dan perkembangan industri, demi menjaga stabilitas dan kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional"
SEOJK NOMR 32/SEOJK.03/2021 TENTANG PERUBAHAN SEOJK NOMOR 9/SEOJK.03/2019 PENILAIAN KEMBALI PIHAK UTAMA"Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 9/SEOJK.03/2019 tentang Penilaian Kembali Bagi Pihak Utama Bank. Perubahan ini dilakukan sehubungan dengan diterbitkannya POJK Nomor 14/POJK.03/2021 yang juga mengubah POJK induknya (POJK 34/POJK.03/2018), sehingga ketentuan pelaksanaannya (SEOJK 9/SEOJK.03/2019) perlu disesuaikan.

Gambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 32/SEOJK.03/2021 adalah pedoman yang dikeluarkan OJK untuk memperbarui dan memperjelas proses penilaian kembali (re-assessment) bagi Pihak Utama Bank. Ini merupakan penyesuaian terhadap SEOJK sebelumnya (SEOJK 9/SEOJK.03/2019) agar sejalan dengan perubahan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang menjadi dasar hukumnya, yaitu POJK 14/POJK.03/2021. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas pengawasan OJK, memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai cakupan, tata cara, dan konsekuensi hasil penilaian kembali, serta memastikan bahwa bank selalu dipimpin oleh individu yang kompeten dan berintegritas tinggi.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Penyesuaian Definisi dan Cakupan:
SEOJK ini melakukan perubahan pada beberapa definisi, termasuk definisi ""Pihak Utama Pengurus"" dan ""Pejabat Eksekutif"", untuk menyelaraskan dengan terminologi dan cakupan yang lebih luas dalam POJK perubahan yang baru (POJK 14/POJK.03/2021).
Penyesuaian ini juga memastikan bahwa individu yang dinyatakan ""Tidak Lulus"" dalam penilaian kemampuan dan kepatutan berdasarkan peraturan terdahulu (seperti PBI atau POJK 34/POJK.03/2018) akan diperlakukan sebagai ""pihak terkait Bank"" dalam konteks POJK perubahan yang baru.
Implikasi: Memberikan kejelasan hukum dan konsistensi dalam penerapan aturan penilaian kembali, memastikan tidak ada celah bagi individu yang pernah bermasalah untuk menduduki posisi kunci.

Klarifikasi Tata Cara Penilaian Kembali:
SEOJK ini kemungkinan menyempurnakan atau mengklarifikasi prosedur dan tahapan yang harus diikuti oleh bank dan OJK dalam proses penilaian kembali. Hal ini bertujuan untuk mempercepat penanganan permasalahan dan meningkatkan efisiensi.
Ini termasuk detail mengenai dokumen yang diperlukan atau proses verifikasi yang lebih mendalam, terutama jika ada indikasi masalah.
Implikasi: Mempercepat respons OJK terhadap potensi risiko yang terkait dengan Pihak Utama, sehingga dapat menjaga stabilitas bank.

Penegasan Konsekuensi Hasil Penilaian Kembali:
SEOJK ini menegaskan kembali atau bahkan memperkuat konsekuensi bagi Pihak Utama yang dinyatakan ""Tidak Lulus"" dalam penilaian kembali. Hal ini selaras dengan tujuan POJK perubahan yang mempercepat penanganan masalah.
Implikasi: Memberikan efek jera dan memastikan bahwa individu yang tidak memenuhi standar integritas atau kemampuan tidak dapat terus menduduki posisi penting di bank, melindungi kepentingan nasabah dan stabilitas sistem.

Optimalisasi Fungsi Pengawasan:
Dengan adanya penyelarasan ini, OJK dapat melakukan pengawasan yang lebih terintegrasi dan efektif terhadap kualitas kepemimpinan bank. Ini juga mendukung prinsip risk-based supervision.
Implikasi: Meningkatkan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan dan mengurangi potensi risiko yang berasal dari permasalahan tata kelola.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 32/SEOJK.03/2021 adalah langkah konkret OJK dalam memperbarui dan memperketat kerangka pengawasan kualitas kepemimpinan di bank. Perubahan ini memastikan bahwa mekanisme penilaian kembali tetap relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan industri, serta mampu menjaga integritas dan stabilitas sistem perbankan nasional.
"
POJK NOMOR 2 TAHUN 2025 TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN DAN PENERIMAAN LAINNYATENTANG "Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2 Tahun 2025 adalah regulasi penting yang dikeluarkan OJK untuk mengatur secara rinci tata cara pelaksanaan pungutan yang dikenakan kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan penerimaan lainnya yang menjadi hak OJK. POJK ini bertujuan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan OJK yang bersumber dari pungutan dan penerimaan non-pajak. Hal ini krusial untuk mendukung kemandirian OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara optimal.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:

Dasar Hukum dan Jenis Pungutan:
POJK ini mendasarkan diri pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2024, yang mengatur mengenai Rencana Kerja dan Anggaran OJK serta pungutan.
Jenis pungutan yang diatur mencakup pungutan tahunan dan pungutan perizinan (termasuk persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan) yang dikenakan kepada berbagai PUJK di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB).
Implikasi: Memberikan landasan hukum yang kuat dan jelas mengenai kewajiban pungutan bagi PUJK, serta memastikan sumber daya yang memadai bagi OJK untuk menjalankan fungsinya.

Mekanisme Perhitungan dan Pembayaran Pungutan:
POJK ini kemungkinan merinci metode perhitungan pungutan (misalnya berdasarkan aset, ekuitas, pendapatan, atau nilai transaksi) untuk setiap jenis PUJK.
Diatur pula tata cara pembayaran, jangka waktu pembayaran, serta mekanisme koreksi atau keberatan terhadap pungutan.
Implikasi: Memberikan kepastian dan kejelasan bagi PUJK mengenai kewajiban pungutan mereka, serta meminimalkan potensi perselisihan.

Pengenaan Sanksi Administratif:
POJK ini menetapkan sanksi administratif bagi PUJK yang tidak memenuhi kewajiban pungutan, termasuk keterlambatan pembayaran atau ketidakpatuhan dalam penyampaian laporan.
Implikasi: Mendorong kepatuhan PUJK dalam memenuhi kewajiban finansial mereka kepada OJK, serta menjaga disiplin dalam pengelolaan penerimaan negara bukan pajak.

Penerimaan Lainnya:
Selain pungutan, POJK ini juga mengatur tata cara pengelolaan penerimaan lain OJK yang bersumber dari denda administratif, hasil penjualan kekayaan OJK, hasil investasi, dan lain-lain.
Implikasi: Memastikan seluruh sumber penerimaan OJK dikelola secara profesional dan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik.

Pelaporan dan Akuntabilitas:
POJK ini mewajibkan OJK untuk melaporkan realisasi pungutan dan penerimaan lainnya, serta mengatur mekanisme audit untuk menjamin akuntabilitas pengelolaan dana.
Implikasi: Meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan OJK sebagai lembaga yang independen.

Kriteria Pengecualian Pungutan (Opsional, tergantung isi dokumen):
Terdapat beberapa kriteria wajib bayar yang dapat dikecualikan dari pungutan (termasuk kondisi tertentu untuk perusahaan pailit, dalam proses likuidasi, atau mengalami kesulitan keuangan ekstrem).
Implikasi: Memberikan fleksibilitas dan keadilan dalam penerapan pungutan bagi entitas yang menghadapi kondisi luar biasa.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 2 Tahun 2025 adalah regulasi yang mendasar dan penting untuk kerangka keuangan OJK. Dengan mengatur secara detail tata cara pelaksanaan pungutan dan penerimaan lainnya, OJK berupaya menjaga kemandirian finansialnya, memastikan ketersediaan sumber daya untuk menjalankan tugas pengawasan yang efektif, serta mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara"
POJK NOMOR 28 TAHUN 2023 tentang PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BPR DAN BPRS Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28 Tahun 2023 adalah regulasi fundamental yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat kerangka pengawasan dan penanganan permasalahan pada Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). POJK ini bertujuan untuk memastikan OJK memiliki alat yang efektif dalam memantau kesehatan BPR/BPRS, mengambil tindakan pengawasan yang tepat dan cepat sesuai dengan tingkat permasalahan yang dihadapi bank, serta melindungi kepentingan nasabah. Ini merupakan bagian penting dari upaya OJK untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil dan resilient, khususnya pada segmen perbankan rakyat.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Penetapan Status Pengawasan yang Jelas:
POJK ini mengatur secara rinci kriteria dan prosedur penetapan status pengawasan BPR/BPRS, yang mencakup berbagai tingkatan, mulai dari pengawasan normal hingga dalam penanganan permasalahan.
Kriteria penetapan status didasarkan pada tingkat kesehatan bank, kepatuhan, dan kondisi keuangan.
Implikasi: Memberikan kejelasan bagi BPR/BPRS dan OJK tentang kondisi kesehatan bank dan tingkat intervensi pengawasan yang akan diterapkan.

Tindak Lanjut Pengawasan Berjenjang:
Untuk setiap status pengawasan, POJK ini menetapkan tindak lanjut pengawasan yang spesifik dan berjenjang. Tindak lanjut ini bisa berupa rencana perbaikan oleh bank, pembatasan kegiatan usaha, hingga pembekuan kegiatan usaha.
Penekanan pada tindakan pencegahan dan korektif dini untuk mencegah permasalahan memburuk.
Implikasi: Memungkinkan OJK untuk mengambil tindakan yang proporsional sesuai dengan tingkat risiko, mendorong bank untuk memperbaiki diri, dan menghindari permasalahan menjadi sistemik.

Peran dan Tanggung Jawab Pemegang Saham dan Pengurus:
POJK ini mempertegas tanggung jawab Pemegang Saham Pengendali, Direksi, dan Dewan Komisaris dalam menjaga kesehatan bank dan menindaklanjuti perintah pengawasan OJK.
Termasuk kewajiban untuk menyusun dan melaksanakan rencana perbaikan yang komprehensif.
Implikasi: Mendorong tata kelola yang baik dan akuntabilitas individu-individu kunci dalam pengelolaan BPR/BPRS.

Penanganan BPR/BPRS Bermasalah yang Lebih Efektif:
POJK ini menguraikan prosedur penanganan BPR/BPRS yang mengalami kesulitan keuangan, termasuk mekanisme pengenaan sanksi administratif dan tindakan lain yang diperlukan oleh OJK.
Implikasi: Memungkinkan OJK untuk melakukan intervensi yang cepat dan tegas, melindungi dana nasabah, dan meminimalkan dampak negatif terhadap sistem keuangan jika ada BPR/BPRS yang bermasalah.

Perlindungan Dana Masyarakat:
Seluruh mekanisme penetapan status dan tindak lanjut pengawasan ini pada akhirnya bertujuan untuk melindungi dana masyarakat yang disimpan di BPR/BPRS.
Implikasi: Meningkatkan kepercayaan publik terhadap BPR/BPRS dan sistem perbankan secara keseluruhan.

Penyelarasan dengan UU P2SK:
POJK ini mengintegrasikan semangat dan ketentuan dari UU P2SK yang menekankan pentingnya pengembangan dan penguatan sektor keuangan, termasuk mekanisme penanganan krisis.
Implikasi: Memastikan kerangka pengawasan BPR/BPRS selaras dengan tujuan pembangunan sektor keuangan yang lebih luas dan responsif terhadap potensi krisis.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 28 Tahun 2023 adalah regulasi yang sangat penting untuk menjaga kesehatan dan stabilitas Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah. Dengan menetapkan kerangka yang jelas mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan, OJK memiliki alat yang kuat untuk mengidentifikasi dan menangani permasalahan sejak dini, melindungi kepentingan nasabah, dan mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan di sektor perbankan rakyat.
POJK NOMOR 31 TAHUN 2024 TENTANG PERINTAH TERTULIS UNTUK PENANGANAN PERMASALAHAN BANKGambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 Tahun 2024 adalah regulasi krusial yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat dan memberikan kepastian hukum terhadap kewenangan OJK dalam mengeluarkan "Perintah Tertulis" kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan/atau Pihak Tertentu. POJK ini bertujuan untuk memastikan bahwa OJK memiliki instrumen yang efektif dan mengikat untuk menindaklanjuti hasil pengawasan, mengatasi permasalahan di LJK, mencegah krisis, serta menjaga stabilitas sistem keuangan. Regulasi ini juga menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan OJK.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Definisi dan Cakupan Perintah Tertulis yang Tegas:
POJK ini mendefinisikan "Perintah Tertulis" sebagai instruksi atau arahan OJK yang wajib dilaksanakan oleh LJK dan/atau Pihak Tertentu (termasuk pengurus, pemegang saham, atau pihak terkait lainnya) dalam rangka melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan.
Cakupannya sangat luas, meliputi seluruh LJK (perbankan, pasar modal, IKNB) dan individu/entitas yang terkait.
Implikasi: Memberikan landasan hukum yang kuat bagi OJK untuk menerbitkan perintah yang harus dipatuhi, mempercepat penanganan masalah, dan meningkatkan efektivitas pengawasan.

Kewenangan OJK dalam Menerbitkan Perintah Tertulis:
POJK ini menguraikan berbagai kondisi di mana OJK dapat menerbitkan Perintah Tertulis, seperti:
Hasil pengawasan yang menunjukkan pelanggaran atau indikasi permasalahan.
Upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
Perintah untuk melakukan tindakan tertentu demi kesehatan LJK atau perlindungan konsumen.
Perintah terkait tata kelola, manajemen risiko, atau kepatuhan.
Implikasi: Memperluas instrumen OJK untuk melakukan intervensi yang diperlukan demi menjaga kesehatan dan stabilitas sektor jasa keuangan.

Kewajiban LJK dan Pihak Tertentu untuk Mematuhi:
LJK dan/atau Pihak Tertentu yang menjadi subjek Perintah Tertulis wajib untuk mematuhi dan melaksanakan Perintah Tertulis tersebut.
Penekanan pada batasan waktu pelaksanaan yang ditetapkan oleh OJK.
Implikasi: Memastikan bahwa instruksi OJK ditindaklanjuti secara serius dan tepat waktu, meningkatkan kepatuhan di industri jasa keuangan.

Konsekuensi Hukum atas Ketidakpatuhan:
POJK ini secara jelas menetapkan sanksi administratif bagi LJK dan/atau Pihak Tertentu yang mengabaikan, tidak mematuhi, tidak melaksanakan, atau menghambat pelaksanaan Perintah Tertulis.
Sanksi dapat bervariasi tergantung tingkat pelanggaran, dan dapat dikenakan kepada LJK maupun individu yang bertanggung jawab.
Implikasi: Memberikan efek jera yang kuat, mendorong kepatuhan, dan melindungi kepentingan publik dari risiko yang timbul akibat ketidakpatuhan.

Perlindungan Hukum bagi Perintah Tertulis:
Perintah Tertulis yang dikeluarkan oleh OJK berdasarkan POJK ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Implikasi: Memberikan kepastian hukum bagi OJK dalam menjalankan tugasnya dan melindungi OJK dari upaya hukum yang dapat menghambat proses pengawasan.

Penyelarasan dengan UU P2SK:
POJK ini merupakan turunan dari UU P2SK yang memperkuat peran dan kewenangan OJK dalam mengatur dan mengawasi sektor keuangan.
Implikasi: Menyelaraskan kerangka regulasi OJK dengan mandat yang lebih besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 31 Tahun 2024 adalah landasan hukum yang sangat penting bagi OJK untuk melaksanakan tugas pengawasan dan penanganan permasalahan di sektor jasa keuangan dengan lebih efektif, tegas, dan berlandaskan kepastian hukum. Dengan adanya Perintah Tertulis yang kuat dan konsekuensi yang jelas atas ketidakpatuhan, OJK bertujuan untuk menjaga LJK agar selalu beroperasi secara sehat dan prudent, serta melindungi kepentingan masyarakat dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan
SEOJK NOMOR 12/SEOJK.07/2014 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI DALAM RANGKA PEMASARAN PRODUK DAN/ATAU LAYANAN JASA KEUANGANGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 12/SEOJK.07/2014 adalah pedoman penting yang dikeluarkan OJK untuk memastikan bahwa konsumen jasa keuangan menerima informasi yang jelas, jujur, akurat, dan mudah dipahami saat berinteraksi dengan produk dan/atau layanan jasa keuangan. SEOJK ini mengatur secara detail bagaimana PUJK, termasuk pihak ketiga yang memasarkan produknya, harus menyampaikan informasi dalam iklan, brosur, atau media pemasaran lainnya. Tujuannya adalah untuk melindungi konsumen dari praktik pemasaran yang menyesatkan, meningkatkan transparansi, dan mendorong tanggung jawab PUJK dalam setiap komunikasi dengan konsumen.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Prinsip Informasi yang Akurat, Jujur, dan Mudah Dipahami:
SEOJK ini mewajibkan PUJK untuk menyampaikan informasi tentang produk dan/atau layanan secara akurat (berdasarkan referensi yang jelas), jujur (sesuai keadaan sebenarnya), tidak mengandung unsur kebohongan/penipuan, dapat dimengerti, dan tidak menimbulkan multi tafsir.
Implikasi: Mendorong praktik pemasaran yang etis dan bertanggung jawab, meminimalkan potensi sengketa antara PUJK dan konsumen akibat kesalahpahaman informasi.

Cakupan Media Pemasaran:
Aturan ini berlaku untuk semua bentuk media pemasaran, termasuk iklan di media cetak dan elektronik, media luar ruang, media sosial, media daring (online), hingga komunikasi langsung seperti telepon atau agen pemasaran.
Implikasi: Memastikan perlindungan konsumen mencakup seluruh saluran di mana PUJK berinteraksi dan memasarkan produknya, termasuk di era digital.

Kewajiban Pengungkapan Informasi Penting:
PUJK wajib menyampaikan informasi penting dan esensial yang berkaitan dengan produk atau layanan, seperti fitur utama, manfaat, risiko, biaya, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Untuk produk investasi atau yang memiliki risiko, informasi mengenai potensi kerugian harus diungkapkan secara jelas.
Implikasi: Memberikan dasar bagi konsumen untuk membuat keputusan keuangan yang terinformasi, dan mencegah konsumen membeli produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau profil risikonya.

Tanggung Jawab atas Pihak Ketiga:
SEOJK ini secara tegas menyatakan bahwa PUJK bertanggung jawab penuh atas tindakan pihak ketiga (misalnya agen atau sales) yang memasarkan produk atau layanan atas nama PUJK.
Pihak ketiga juga diwajibkan untuk mematuhi standar penyampaian informasi yang sama.
Implikasi: Mendorong PUJK untuk melakukan pelatihan dan pengawasan yang ketat terhadap pihak ketiga yang bekerja untuk mereka, sehingga kualitas informasi yang disampaikan kepada konsumen tetap terjaga.

Perlindungan Data dan Privasi Konsumen:
Meskipun tidak menjadi fokus utama, penyampaian informasi juga secara implisit mendukung perlindungan data konsumen dengan memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah relevan dan tidak mengarah pada penyalahgunaan data.

Kewajiban Pelaporan dan Website:
PUJK diwajibkan untuk menyampaikan informasi produk dan/atau layanan secara lengkap melalui website resmi mereka (dengan batas waktu paling lambat 31 Desember 2015 untuk implementasi website).
Implikasi: Mempermudah akses konsumen terhadap informasi produk secara mandiri dan transparan.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 12/SEOJK.07/2014 adalah instrumen kunci OJK dalam memperkuat perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. Dengan menetapkan standar yang tinggi untuk penyampaian informasi dalam pemasaran, OJK bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang adil dan transparan bagi konsumen, memastikan bahwa mereka dapat membuat keputusan keuangan yang cerdas dan terinformasi, serta membangun kepercayaan antara PUJK dan masyarakat
SEOJK NOMOR 13/SEOJK.07/2014 TENTANG PERJANJIAN BAKUGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 13/SEOJK.07/2014 adalah pedoman penting yang dikeluarkan OJK untuk mengatur penggunaan perjanjian baku oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK). Perjanjian baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh PUJK dan digunakan untuk menawarkan produk atau layanan secara massal. Tujuan utama SEOJK ini adalah untuk melindungi konsumen dari klausula yang merugikan dalam perjanjian baku, memastikan adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara PUJK dan konsumen, serta mendorong transparansi dan keadilan dalam setiap kesepakatan.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Larangan Klausula Baku yang Merugikan Konsumen:
SEOJK ini menegaskan larangan pencantuman klausula baku tertentu yang dapat merugikan konsumen, antara lain:
Pengalihan tanggung jawab PUJK kepada pihak ketiga.
Perjanjian yang menyatakan PUJK berhak menolak pengembalian uang yang dibayarkan konsumen tanpa alasan yang jelas.
Perjanjian yang menyatakan PUJK berhak secara sepihak mengubah persyaratan produk/layanan.
Pengalihan hak konsumen kepada pihak ketiga tanpa persetujuan konsumen.
Klausula yang mengharuskan konsumen tunduk pada hukum yang berlaku di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Klausula yang memberi hak kepada PUJK untuk melakukan tindakan eksekusi sepihak tanpa melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Implikasi: Meningkatkan perlindungan konsumen, mencegah praktik-praktik eksploitatif, dan memastikan hak-hak konsumen tetap terjaga.

Kewajiban PUJK dalam Perjanjian Baku:
PUJK wajib menyampaikan informasi penting dan esensial yang berkaitan dengan perjanjian baku secara jelas dan mudah dipahami oleh konsumen.
PUJK harus memastikan konsumen memiliki waktu yang cukup untuk membaca dan memahami perjanjian baku sebelum menandatanganinya.
Implikasi: Mendorong transparansi dan memastikan konsumen membuat keputusan berdasarkan informasi yang lengkap, mengurangi risiko kesalahpahaman atau penipuan.

Bentuk dan Ukuran Huruf yang Jelas:
SEOJK ini mengatur bahwa perjanjian baku harus dicetak atau ditulis dengan bentuk dan ukuran huruf yang mudah dibaca oleh konsumen, sehingga tidak ada klausula yang tersembunyi atau sulit terbaca.
Implikasi: Meningkatkan aksesibilitas informasi bagi konsumen dan meminimalkan celah bagi PUJK untuk menyembunyikan informasi penting.

Tata Cara Penyesuaian Perjanjian Baku:
Bagi PUJK yang sudah memiliki perjanjian baku sebelum berlakunya SEOJK ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap klausula yang bertentangan dengan ketentuan perlindungan konsumen.
PUJK harus memberitahukan penyesuaian ini kepada konsumen.
Implikasi: Memastikan semua perjanjian baku yang beredar di pasar jasa keuangan selaras dengan prinsip perlindungan konsumen.

Kewajiban Menyusun Action Plan:
Bagi PUJK yang belum selesai menyesuaikan perjanjian baku, wajib membuat action plan yang disetujui oleh bidang pengawasan OJK masing-masing.
Implikasi: Memberikan kerangka waktu dan akuntabilitas bagi PUJK untuk memenuhi kewajiban penyesuaian.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 adalah instrumen kunci OJK dalam menciptakan lingkungan yang adil dan seimbang dalam hubungan kontrak antara PUJK dan konsumen. Dengan mengatur secara ketat penggunaan perjanjian baku dan melarang klausula yang merugikan, OJK bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan
POJK NOMOR 18/POJK.07/2018 TENTANG LAYANAN PENGADUAN KONSUMEN DI SJK"Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 adalah regulasi penting yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat mekanisme perlindungan konsumen melalui penyediaan layanan pengaduan yang efektif dan terintegrasi di seluruh sektor jasa keuangan. POJK ini mewajibkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk memiliki dan mengelola unit layanan pengaduan konsumen yang mumpuni, serta mengatur proses penanganan pengaduan mulai dari penerimaan hingga penyelesaian. Tujuannya adalah untuk menjamin hak-hak konsumen dapat dipenuhi, memitigasi kerugian konsumen, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Kewajiban PUJK Memiliki Unit Layanan Pengaduan:
Setiap PUJK wajib memiliki dan mengelola unit atau fungsi khusus untuk menerima dan menangani pengaduan dari konsumen. Unit ini harus memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang jelas.
Implikasi: Memastikan adanya saluran formal dan profesional bagi konsumen untuk menyampaikan keluhan, tidak hanya bergantung pada mekanisme informal.

Jenis Pengaduan dan Proses Penanganan:
POJK ini mengatur jenis pengaduan yang dapat disampaikan (baik lisan maupun tertulis) dan menetapkan tahapan serta jangka waktu yang harus dipatuhi PUJK dalam penanganan pengaduan, mulai dari penerimaan, verifikasi, investigasi, hingga pemberian tanggapan dan penyelesaian.
Batas waktu yang ditetapkan untuk penyelesaian pengaduan (misalnya, 20 hari kerja) mendorong PUJK untuk bertindak cepat.
Implikasi: Memberikan kepastian bagi konsumen mengenai alur dan batas waktu penyelesaian keluhan mereka, serta mendorong PUJK untuk efisien dalam penanganan masalah.

Aksesibilitas Layanan Pengaduan:
PUJK wajib menyediakan akses yang mudah bagi konsumen untuk menyampaikan pengaduan, melalui berbagai saluran seperti kantor, telepon, email, atau media elektronik lainnya yang dikelola resmi oleh PUJK.
Informasi mengenai prosedur pengaduan harus mudah diakses oleh konsumen.
Implikasi: Mempermudah konsumen untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan keluhan, terlepas dari lokasi atau preferensi saluran komunikasi.

Pencatatan dan Pelaporan Pengaduan:
PUJK wajib memiliki sistem pencatatan (register) pengaduan yang terstruktur dan melaporkan rekapitulasi pengaduan kepada OJK secara berkala.
Implikasi: Memungkinkan OJK untuk memonitor tren pengaduan, mengidentifikasi pola permasalahan, dan mengambil tindakan pengawasan yang diperlukan terhadap PUJK.

Perlindungan Data Konsumen:
Dalam proses penanganan pengaduan, PUJK wajib menjaga kerahasiaan data dan informasi konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Implikasi: Meningkatkan kepercayaan konsumen untuk menyampaikan keluhan tanpa khawatir data pribadi mereka disalahgunakan.

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan:
POJK ini juga menegaskan kembali peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) sebagai opsi bagi konsumen jika pengaduan mereka tidak terselesaikan di internal PUJK.
Implikasi: Memberikan jalur penyelesaian sengketa yang lebih terjangkau dan efisien bagi konsumen dibandingkan jalur pengadilan.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 18/POJK.07/2018 adalah regulasi yang sangat penting untuk menciptakan sistem layanan pengaduan yang responsif dan berpihak pada konsumen di sektor jasa keuangan. Dengan mewajibkan PUJK untuk memiliki mekanisme pengaduan yang standar dan efektif, OJK bertujuan untuk meningkatkan perlindungan konsumen, membangun kepercayaan, dan menjaga stabilitas serta reputasi industri jasa keuangan"
SEOJK NOMOR 17/SEOJK.07/2018 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN LAYANAN PENGADUAN KONSUMEN DI SJKGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 17/SEOJK.07/2018 adalah pedoman operasional yang sangat penting bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam mengimplementasikan layanan pengaduan konsumen. SEOJK ini menerjemahkan prinsip-prinsip dan kewajiban yang diatur dalam POJK 18/POJK.07/2018 ke dalam langkah-langkah praktis dan detail yang harus dilakukan oleh PUJK. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa setiap pengaduan konsumen ditangani secara profesional, transparan, dan dalam jangka waktu yang ditetapkan, sehingga hak-hak konsumen terlindungi dan kepercayaan terhadap sektor jasa keuangan meningkat.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Struktur dan Proses Penanganan Pengaduan yang Terperinci:
SEOJK ini memberikan panduan detail mengenai struktur unit/fungsi layanan pengaduan, personel yang bertanggung jawab, serta seluruh tahapan proses penanganan pengaduan, mulai dari penerimaan, pencatatan, verifikasi, investigasi, analisis, hingga penyelesaian dan pemberitahuan hasil kepada konsumen.
Implikasi: Memastikan adanya standar operasional yang konsisten di seluruh PUJK dalam menangani keluhan, sehingga konsumen mendapatkan pengalaman yang seragam dan berkualitas.

Jangka Waktu Penyelesaian yang Jelas:
SEOJK ini memperinci jangka waktu maksimal untuk setiap tahapan penanganan pengaduan, termasuk waktu untuk menerima pengaduan, melakukan verifikasi, dan memberikan tanggapan awal. Batas waktu penyelesaian pengaduan di internal PUJK adalah 20 hari kerja, yang dapat diperpanjang satu kali dengan pemberitahuan kepada konsumen.
Implikasi: Mendorong efisiensi PUJK dalam menyelesaikan pengaduan dan memberikan kepastian bagi konsumen mengenai kapan mereka dapat mengharapkan respons.

Kewajiban Dokumentasi dan Pencatatan:
PUJK diwajibkan untuk memiliki sistem pencatatan (register) yang komprehensif untuk setiap pengaduan yang masuk, baik lisan maupun tertulis, beserta seluruh dokumen pendukung dan riwayat penanganannya.
Implikasi: Memastikan akuntabilitas PUJK dan memudahkan OJK dalam melakukan pengawasan dan audit terhadap kinerja layanan pengaduan.

Sarana dan Media Penyampaian Pengaduan:
SEOJK ini menjelaskan berbagai sarana yang harus disediakan PUJK untuk pengaduan, termasuk melalui kantor, telepon, email, atau media elektronik lainnya, serta memastikan aksesibilitas informasi mengenai prosedur pengaduan.
Implikasi: Mempermudah konsumen dalam mengakses layanan pengaduan dan memilih saluran yang paling nyaman bagi mereka.

Pelaporan ke OJK:
SEOJK ini merinci format dan frekuensi pelaporan pengaduan kepada OJK. Laporan tersebut mencakup rekapitulasi jumlah pengaduan, jenis masalah, status penyelesaian, dan penyebab pengaduan.
Implikasi: Memungkinkan OJK untuk memantau efektivitas layanan pengaduan PUJK, mengidentifikasi permasalahan sistemik, dan mengambil tindakan korektif jika diperlukan. Data ini juga dapat digunakan OJK untuk statistik dan analisis tren perlindungan konsumen.

Pentingnya Tindak Lanjut dan Perbaikan:
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sebagai bab, semangat SEOJK ini mendorong PUJK untuk tidak hanya menyelesaikan pengaduan satu per satu, tetapi juga menganalisis akar masalah untuk melakukan perbaikan berkelanjutan pada produk, layanan, atau proses internal mereka.
Implikasi: Mengubah keluhan konsumen menjadi masukan berharga untuk peningkatan kualitas layanan PUJK secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 17/SEOJK.07/2018 adalah panduan praktis yang esensial bagi PUJK dalam mewujudkan komitmen perlindungan konsumen. Dengan adanya pedoman yang jelas dan terperinci, OJK memastikan bahwa mekanisme pengaduan konsumen berfungsi secara optimal, sehingga setiap keluhan dapat ditangani secara adil dan efisien, yang pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan Indonesia
POJK NOMOR 6/POJK.07/2022 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGANGambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6 Tahun 2022 adalah regulasi strategis yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat kerangka perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan. POJK ini dirancang untuk menjawab dinamika dan kompleksitas industri jasa keuangan yang terus berkembang, serta untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen. Tujuannya adalah untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh berkelanjutan, stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dengan mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), serta memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Peningkatan Standar Perlindungan Konsumen:
POJK ini menekankan prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang lebih kuat, termasuk hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat, pelayanan yang adil, penyelesaian sengketa yang efektif, dan perlindungan data pribadi.
Implikasi: PUJK dituntut untuk meningkatkan standar pelayanan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perlindungan konsumen di seluruh siklus hidup produk dan layanan.

Penguatan Aspek Market Conduct:
Regulasi ini memperjelas dan memperkuat pengawasan market conduct, yaitu perilaku PUJK dalam mendesain, menyediakan, memasarkan, serta melayani produk dan/atau layanan jasa keuangan. Ini mencakup transparansi informasi, kewajaran biaya, dan penawaran yang tidak menyesatkan.
Implikasi: Mendorong PUJK untuk mengedepankan etika bisnis dan transparansi, mengurangi praktik-praktik yang merugikan konsumen seperti penjualan produk yang tidak sesuai (mis-selling).

Kewajiban PUJK yang Lebih Komprehensif:
PUJK diberikan kewajiban yang lebih rinci, antara lain:
Menyediakan informasi produk/layanan secara jelas, akurat, dan tidak menyesatkan.
Memiliki prosedur dan mekanisme yang efektif untuk penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa konsumen.
Melindungi data dan informasi pribadi konsumen.
Melakukan edukasi dan literasi keuangan kepada masyarakat.
Menerapkan manajemen risiko yang baik dalam perlindungan konsumen.
Implikasi: Meningkatkan akuntabilitas PUJK dan memastikan bahwa aspek perlindungan konsumen terintegrasi dalam seluruh operasional bisnis mereka.

Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa yang Efisien:
POJK ini mengatur secara lebih rinci proses penanganan pengaduan oleh PUJK, termasuk batas waktu penyelesaian dan kewajiban untuk menyediakan sarana pengaduan yang mudah diakses.
Menegaskan peran OJK dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa yang tidak dapat diselesaikan di internal PUJK.
Implikasi: Memberikan jalur yang jelas dan efektif bagi konsumen untuk mencari keadilan, mengurangi beban pengadilan, dan mendorong penyelesaian sengketa secara damai.

Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan:
POJK ini menekankan pentingnya edukasi keuangan sebagai bagian dari upaya perlindungan konsumen, agar masyarakat lebih berdaya dan cakap dalam mengambil keputusan keuangan.
Implikasi: Mendukung agenda nasional inklusi keuangan dengan memastikan konsumen yang baru masuk ke sistem keuangan memiliki pemahaman yang memadai.

Sanksi Administratif:
POJK ini menetapkan sanksi administratif bagi PUJK yang melanggar ketentuan perlindungan konsumen, mulai dari teguran tertulis, denda, hingga pembatasan atau pembekuan kegiatan usaha.
Implikasi: Memberikan efek jera dan mendorong kepatuhan PUJK terhadap regulasi perlindungan konsumen.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 6 Tahun 2022 adalah pilar utama dalam kerangka perlindungan konsumen OJK yang bertujuan untuk menciptakan ekosistem jasa keuangan yang sehat, adil, transparan, dan berpihak pada konsumen. Dengan menuntut standar yang lebih tinggi dari PUJK dan menyediakan mekanisme yang efektif bagi konsumen, OJK berupaya membangun kepercayaan publik dan mendukung pertumbuhan sektor jasa keuangan yang berkelanjutan
POJK NOMOR 22 TAHUN 2023 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN"POJK Nomor 22 Tahun 2023 ini merupakan regulasi fundamental yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat dan meningkatkan sistem pelindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan Indonesia. Peraturan ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang memberikan kewenangan lebih luas kepada OJK dalam hal pelindungan konsumen. POJK ini mencabut dan menggantikan POJK sebelumnya (POJK Nomor 6/POJK.07/2022), dengan penyesuaian terhadap perkembangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks dan digital.

Tujuan dan Latar Belakang:
Penerbitan POJK ini didasari oleh urgensi untuk menciptakan ekosistem jasa keuangan yang sehat, transparan, dan berkeadilan bagi konsumen dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk:
Memperkuat kewenangan OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan pelindungan konsumen.
Meningkatkan sistem pelindungan konsumen yang andal di tengah kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan serta percepatan digitalisasi.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dan masyarakat agar lebih cakap dalam mengambil keputusan keuangan.
Menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) akan pentingnya pelindungan konsumen sebagai bagian integral dari tata kelola bisnis.
Menyelaraskan regulasi dengan amanat UU P2SK dan perkembangan terkini di sektor jasa keuangan.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
POJK ini memuat pengaturan komprehensif mengenai pelindungan konsumen, yang menekankan tanggung jawab PUJK dan peran OJK, meliputi:
Ruang Lingkup dan Subjek Pengaturan:
Konsumen: Pihak yang menggunakan produk dan/atau layanan jasa keuangan.
Masyarakat: Pihak yang tidak memiliki hubungan kontraktual langsung dengan PUJK namun dapat terdampak oleh aktivitas PUJK.
Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK): Seluruh entitas di bawah pengawasan OJK yang menyediakan produk dan/atau layanan jasa keuangan.
POJK ini juga mengatur mengenai periklanan produk dan/atau layanan jasa keuangan, serta penggunaan teknologi informasi.
Prinsip Pelindungan Konsumen dan Masyarakat:

POJK ini menegaskan 7 (tujuh) prinsip pelindungan konsumen yang wajib diterapkan oleh PUJK:
Transparansi: Penyampaian informasi yang jelas, akurat, dan tidak menyesatkan.
Perlakuan Adil: Tidak diskriminatif dan memberikan hak yang sama kepada semua konsumen.
Keandalan: Produk dan layanan sesuai dengan yang dijanjikan dan berfungsi dengan baik.
Kerahasiaan dan Keamanan Data: Melindungi data dan informasi pribadi konsumen.
Penanganan Pengaduan yang Efektif: Menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah, cepat, dan berkeadilan.
Edukasi dan Literasi Keuangan: Memberikan pemahaman yang cukup kepada konsumen mengenai produk dan risiko.
Tanggung Jawab PUJK: Memastikan PUJK bertanggung jawab penuh atas segala kerugian yang timbul dari kesalahan atau kelalaiannya.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK):
Penyediaan Informasi Produk dan Layanan: PUJK wajib menyampaikan informasi secara jelas, jujur, akurat, dan mudah diakses sebelum, selama, dan setelah transaksi. Ini mencakup fitur produk, manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan.
Edukasi dan Literasi Keuangan: PUJK wajib melakukan edukasi yang memadai kepada konsumen dan masyarakat terkait produk dan layanan yang ditawarkan.

Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa:
PUJK wajib memiliki dan melaksanakan prosedur penanganan pengaduan yang efektif, cepat, dan adil.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase, atau litigasi.
PUJK wajib menyampaikan laporan penanganan pengaduan kepada OJK.
Perlindungan Data Pribadi: PUJK wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data pribadi konsumen sesuai peraturan perundang-undangan.
Periklanan: PUJK wajib memastikan materi periklanan produk dan/atau layanan jasa keuangan tidak menyesatkan dan sesuai dengan fakta.
Pemanfaatan Teknologi Informasi: PUJK yang memanfaatkan teknologi informasi wajib memastikan keamanan, keandalan, dan pelindungan data konsumen.

Peran dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Pengaturan dan Pengawasan: OJK memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan, standar, dan mengawasi pelaksanaan pelindungan konsumen oleh PUJK.
Penerimaan dan Penanganan Pengaduan: OJK menerima pengaduan dari konsumen dan masyarakat terkait PUJK, serta melakukan penanganan dan penyelesaian sengketa.
Tindakan Pembinaan dan Sanksi: OJK berwenang memberikan tindakan pembinaan hingga sanksi administratif (peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha) kepada PUJK yang tidak mematuhi ketentuan pelindungan konsumen.
Edukasi dan Kampanye: OJK secara proaktif melakukan edukasi dan kampanye literasi keuangan kepada masyarakat.
Kerja Sama: OJK dapat berkoordinasi dan bekerja sama dengan lembaga atau pihak terkait lainnya dalam rangka pelindungan konsumen.

Perlindungan Terhadap Masyarakat:
POJK ini secara eksplisit memperluas jangkauan pelindungan tidak hanya kepada konsumen yang memiliki hubungan kontraktual, tetapi juga kepada masyarakat umum yang dapat terdampak oleh aktivitas PUJK (misalnya, melalui periklanan atau isu-isu yang beredar).

Dampak dan Implikasi:
POJK ini diharapkan membawa dampak positif yang signifikan:
Peningkatan Kepercayaan: Mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.
Pengurangan Kerugian Konsumen: Dengan sistem pelindungan yang lebih kuat, potensi kerugian yang dialami konsumen akibat praktik PUJK yang tidak bertanggung jawab dapat diminimalisasi.
Iklim Bisnis yang Lebih Sehat: Mendorong PUJK untuk menjalankan bisnis dengan etika dan tanggung jawab yang lebih tinggi.
Pemberdayaan Konsumen: Konsumen akan lebih terlindungi dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak dan kewajiban mereka.
Harmonisasi Regulasi: Menyediakan kerangka hukum yang komprehensif dan selaras dengan perkembangan terbaru di sektor jasa keuangan.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 22 Tahun 2023 ini adalah tonggak penting dalam upaya OJK untuk menciptakan sektor jasa keuangan yang tidak hanya kuat dan stabil, tetapi juga berintegritas dan senantiasa berorientasi pada pelindungan kepentingan konsumen dan masyarakat"
SEOJK. NOMOR 30/SEOJK.07/2017 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN LITERASI KEUANGAN DI SEKTOR JASA KEUANGANGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 30/SEOJK.07/2017 adalah pedoman operasional yang dikeluarkan OJK untuk mengatur dan mengarahkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam melaksanakan kegiatan peningkatan literasi keuangan di sektor jasa keuangan. SEOJK ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam mengelola keuangan, sehingga dapat membuat keputusan keuangan yang cerdas dan terhindar dari potensi kerugian. Dengan meningkatnya literasi keuangan, diharapkan inklusi keuangan juga akan tumbuh, yang pada akhirnya mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Kewajiban PUJK dalam Peningkatan Literasi Keuangan:
Setiap PUJK diwajibkan untuk menyusun dan melaksanakan rencana kegiatan peningkatan literasi keuangan setiap tahun.
Kegiatan ini harus disesuaikan dengan target audiens, karakteristik produk/layanan, dan kondisi geografis.
Implikasi: Menjadikan literasi keuangan sebagai bagian integral dari tanggung jawab sosial dan bisnis PUJK, bukan hanya sebagai kegiatan sukarela.

Materi dan Metode Kegiatan Literasi:
SEOJK ini memberikan panduan mengenai materi literasi keuangan yang relevan, seperti produk dan layanan jasa keuangan, hak dan kewajiban konsumen, manajemen risiko, serta tips perencanaan keuangan.
Metode pelaksanaan dapat bervariasi, termasuk seminar, workshop, edukasi di sekolah/kampus, penggunaan media massa, dan media digital.
Implikasi: Memastikan materi yang disampaikan relevan dan metode yang digunakan efektif untuk menjangkau berbagai segmen masyarakat.

Target Audiens Prioritas:
OJK mengarahkan PUJK untuk memprioritaskan kegiatan literasi keuangan kepada kelompok masyarakat yang belum terjangkau layanan keuangan (unbanked dan underserved) serta kelompok rentan.
Implikasi: Mendukung upaya inklusi keuangan nasional dengan fokus pada peningkatan akses dan pemahaman di segmen masyarakat yang paling membutuhkan.

Koordinasi dan Kolaborasi:
PUJK didorong untuk berkoordinasi dan berkolaborasi dengan OJK, sesama PUJK, asosiasi, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan pihak lain dalam pelaksanaan kegiatan literasi keuangan.
Implikasi: Mengoptimalkan sumber daya dan memperluas jangkauan program literasi keuangan melalui sinergi antarpihak.

Pelaporan dan Evaluasi:
PUJK wajib menyampaikan rencana kegiatan literasi keuangan tahunan dan laporan realisasi kegiatannya kepada OJK secara berkala.
Laporan ini akan digunakan OJK untuk memantau, mengevaluasi, dan mengukur efektivitas program literasi keuangan.
Implikasi: Memastikan akuntabilitas PUJK dan memungkinkan OJK untuk memetakan capaian literasi keuangan nasional serta merumuskan kebijakan yang lebih tepat.

Penggunaan Indeks Literasi Keuangan:
SEOJK ini kemungkinan juga menekankan pentingnya penggunaan Indeks Literasi Keuangan Nasional sebagai acuan dalam mengukur keberhasilan program.
Implikasi: Adanya tolok ukur yang jelas untuk mengevaluasi dampak kegiatan literasi.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 30/SEOJK.07/2017 adalah pedoman operasional yang krusial dalam upaya kolektif meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia. Dengan menetapkan standar dan kewajiban bagi PUJK, OJK memastikan bahwa industri jasa keuangan berperan aktif dalam memberdayakan konsumen, sehingga tercipta masyarakat yang lebih cerdas finansial dan sistem keuangan yang lebih stabil dan berkelanjutan
SEOJK. NOMOR 31/SEOJK.07/2017 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN INKLUSI KEUANGAN DI SEKTOR JASA KEUANGANGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 31/SEOJK.07/2017 adalah pedoman operasional yang dikeluarkan OJK untuk mengarahkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam melaksanakan kegiatan peningkatan inklusi keuangan di sektor jasa keuangan. Tujuan utama dari SEOJK ini adalah untuk memperluas akses masyarakat terhadap produk dan/atau layanan jasa keuangan yang berkualitas, terjangkau, dan sesuai kebutuhan. Peningkatan inklusi keuangan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Kewajiban PUJK dalam Peningkatan Inklusi Keuangan:
Setiap PUJK diwajibkan untuk menyusun dan melaksanakan rencana kegiatan peningkatan inklusi keuangan setiap tahun.
Kegiatan ini harus disesuaikan dengan target audiens, karakteristik produk/layanan, dan kondisi geografis.
Implikasi: Menjadikan inklusi keuangan sebagai prioritas strategis bagi PUJK, mendorong mereka untuk lebih proaktif dalam menjangkau segmen masyarakat yang belum terlayani.

Materi dan Metode Kegiatan Inklusi:
SEOJK ini menggarisbawahi pentingnya inovasi produk dan layanan yang sederhana, mudah diakses, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya yang berada di daerah terpencil atau berpenghasilan rendah.
Metode dapat mencakup pembukaan akses layanan, perluasan jaringan agen, pengembangan produk keuangan mikro, atau pemanfaatan teknologi digital.
Implikasi: Mendorong PUJK untuk mengembangkan solusi keuangan yang inklusif dan memanfaatkan teknologi untuk mencapai masyarakat luas.

Target Audiens Prioritas:
Fokus pada kelompok masyarakat yang belum atau kurang terlayani oleh lembaga jasa keuangan formal (unbanked dan underserved), termasuk masyarakat di daerah terpencil, petani, nelayan, pekerja migran, dan UMKM.
Implikasi: Mendukung agenda keuangan inklusif nasional dengan penekanan pada pemerataan akses di seluruh lapisan masyarakat.

Koordinasi dan Kolaborasi:
PUJK didorong untuk berkoordinasi dan berkolaborasi dengan OJK, Bank Indonesia, sesama PUJK, pemerintah daerah, asosiasi, dan pihak lain dalam pelaksanaan kegiatan inklusi keuangan.
Implikasi: Menciptakan sinergi antarpihak untuk mempercepat pencapaian target inklusi keuangan nasional dan menghindari duplikasi upaya.

Pelaporan dan Evaluasi:
PUJK wajib menyampaikan rencana kegiatan inklusi keuangan tahunan dan laporan realisasi kegiatannya kepada OJK secara berkala.
Laporan ini akan digunakan OJK untuk memantau, mengevaluasi, dan mengukur efektivitas program inklusi keuangan secara nasional.
Implikasi: Memastikan akuntabilitas PUJK dan memungkinkan OJK untuk memetakan perkembangan inklusi keuangan dan merumuskan kebijakan yang lebih strategis.

Pengembangan Produk dan/atau Layanan Inklusif:
SEOJK ini mendorong PUJK untuk mengembangkan produk dan/atau layanan yang inovatif dan terjangkau, seperti layanan keuangan tanpa kantor (Laku Pandai), keuangan digital, dan produk asuransi mikro.
Implikasi: Mendorong inovasi di sektor jasa keuangan untuk melayani segmen pasar yang belum terjangkau secara konvensional.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 31/SEOJK.07/2017 adalah dokumen panduan esensial yang mendukung upaya peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Dengan menetapkan kewajiban dan arahan yang jelas bagi PUJK, OJK berupaya memastikan bahwa sektor jasa keuangan tidak hanya tumbuh, tetapi juga memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat, terutama mereka yang selama ini belum memiliki akses terhadap layanan keuangan formal.
POJK NOMOR 3/POJK.03/2023 TENTANG PENINGKATAN LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN DI SJK BAGI KONSUMEN DAN MASYARAKATPencabutan Regulasi atau Ketentuan Sebelumnya:
POJK ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat. Ini menunjukkan bahwa POJK 3 Tahun 2023 adalah pembaruan komprehensif untuk regulasi sebelumnya, yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika sektor jasa keuangan serta kebutuhan akan penguatan literasi dan inklusi keuangan.

Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3 Tahun 2023 adalah regulasi strategis yang dikeluarkan OJK untuk memperkuat dan mengoptimalkan upaya peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. POJK ini dirancang untuk menjawab tantangan perkembangan sektor jasa keuangan yang semakin kompleks dan dinamis, termasuk pesatnya inovasi teknologi. Tujuan utamanya adalah mewujudkan masyarakat yang lebih berpengetahuan, cerdas finansial, dan memiliki akses yang luas terhadap produk dan layanan jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini diharapkan dapat berkontribusi pada stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Penguatan Kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK):
POJK ini lebih mempertegas kewajiban PUJK untuk secara aktif menyelenggarakan kegiatan peningkatan literasi dan inklusi keuangan.
PUJK harus menyusun rencana kerja tahunan, melaksanakan kegiatan, dan melaporkannya kepada OJK.
Implikasi: Menjadikan literasi dan inklusi keuangan sebagai bagian integral dari strategi bisnis PUJK, mendorong mereka untuk lebih proaktif dan bertanggung jawab dalam edukasi dan perluasan akses.

Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi:
Regulasi ini mendorong PUJK untuk memanfaatkan perkembangan inovasi dan teknologi, termasuk penggunaan sistem manajemen pembelajaran edukasi keuangan dan platform digital lainnya, dalam kegiatan literasi dan inklusi.
Implikasi: Memungkinkan jangkauan yang lebih luas, efisiensi, dan metode yang lebih interaktif dalam menyampaikan informasi keuangan kepada masyarakat, terutama di era digital.

Focus pada Kebutuhan dan Profil Risiko Konsumen:
PUJK diminta untuk mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan konsumen serta profil risiko dalam menyusun dan menawarkan produk atau layanan.
Implikasi: Produk dan layanan yang ditawarkan lebih relevan dan sesuai dengan kapasitas pemahaman dan kemampuan finansial masyarakat, mengurangi risiko mis-selling.

Sinergi dan Kolaborasi yang Diperkuat:
POJK ini mendorong OJK untuk berkoordinasi dan berkolaborasi lebih erat dengan kementerian/lembaga terkait, Bank Indonesia, dan PUJK dalam melaksanakan program literasi dan inklusi keuangan nasional.
Implikasi: Membangun ekosistem yang kohesif untuk mencapai target nasional literasi dan inklusi keuangan secara lebih efektif.

Peran OJK dalam Pengawasan dan Pembinaan:
OJK memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, pembinaan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan literasi dan inklusi keuangan oleh PUJK.
Terdapat ketentuan mengenai sanksi administratif bagi PUJK yang tidak mematuhi ketentuan dalam POJK ini.
Implikasi: Menjamin kepatuhan PUJK dan memastikan bahwa program literasi dan inklusi berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Pengembangan Infrastruktur Pendukung:
OJK kemungkinan akan terus mengembangkan infrastruktur pendukung, seperti portal informasi, data statistik, dan standar literasi keuangan, untuk memfasilitasi kegiatan PUJK dan masyarakat.
Implikasi: Menyediakan sumber daya dan alat yang diperlukan untuk pengukuran dan peningkatan literasi serta inklusi.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 3 Tahun 2023 adalah langkah maju yang signifikan dalam upaya nasional untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Dengan penekanan pada peran aktif PUJK, pemanfaatan teknologi, dan penguatan kolaborasi, OJK bertekad untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih berdaya secara finansial, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada stabilitas dan pertumbuhan sektor jasa keuangan yang berkelanjutan
SEOJK NOMOR 13/SEOJK.08/2024 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN RENCANA DAN LAPORAN REALISASI LITERASI ASI KEUANGAN DAN INKLUSI KEUANGANGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 13/SEOJK.08/2024 adalah pedoman yang sangat penting yang dikeluarkan OJK untuk memastikan standardisasi, transparansi, dan efektivitas dalam penyusunan serta penyampaian laporan kegiatan peningkatan literasi keuangan dan inklusi keuangan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK). Regulasi ini diterbitkan sebagai implementasi dari amanat POJK Nomor 3 Tahun 2023 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan dan POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat. Tujuannya adalah untuk memastikan PUJK secara konsisten melaksanakan dan melaporkan upaya mereka dalam meningkatkan pemahaman dan akses masyarakat terhadap jasa keuangan, sehingga OJK dapat memantau, mengevaluasi, dan mengukur capaian program nasional secara komprehensif dan akurat.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Kewajiban Pelaporan yang Jelas dan Terstruktur:
Setiap PUJK diwajibkan untuk menyampaikan dua jenis laporan:
Laporan Rencana Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan: Disusun secara tahunan, memuat rencana kegiatan, target audiens, metode, materi, alokasi anggaran, dan jadwal.
Laporan Realisasi Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan: Disampaikan secara berkala, mencakup data aktual pelaksanaan kegiatan, jumlah peserta, capaian, evaluasi efektivitas, dan dokumentasi pendukung.
Implikasi: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas PUJK dalam pelaksanaan program literasi dan inklusi, serta mempermudah OJK dalam memantau kinerja.

Sistem Pelaporan Elektronik:
Penekanan pada kewajiban pelaporan secara daring (online) melalui sistem pelaporan elektronik OJK (misalnya Sistem Pelaporan OJK atau OJK Box).
Implikasi: Mempercepat proses pelaporan, mengurangi beban administrasi, dan memungkinkan OJK untuk mengolah data secara lebih efisien untuk analisis yang komprehensif.

Materi Laporan yang Komprehensif:
Laporan harus memuat detail yang kaya, seperti segmentasi target audiens (berdasarkan demografi, tingkat literasi/inklusi), wilayah pelaksanaan (kota/kabupaten), serta dokumentasi visual (foto/video) untuk realisasi.
Implikasi: Memastikan perencanaan yang strategis dan evaluasi yang mendalam, mendorong PUJK untuk melakukan perbaikan berkelanjutan dan menyesuaikan program agar lebih tepat sasaran dan berdampak.

Kesesuaian dengan Kebijakan Perlindungan Konsumen:
SEOJK ini menggarisbawahi relevansinya dengan POJK 22 Tahun 2023, menegaskan bahwa kegiatan literasi dan inklusi adalah bagian integral dari upaya perlindungan konsumen secara menyeluruh.
Implikasi: Mengintegrasikan strategi literasi dan inklusi dengan kerangka perlindungan konsumen yang lebih luas, memastikan konsumen tidak hanya memiliki akses tetapi juga pemahaman yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat dan aman.

Dasar Pengukuran Indeks Nasional:
Data yang terkumpul dari laporan ini akan menjadi basis penting bagi OJK untuk mengukur dan mempublikasikan perkembangan Indeks Literasi Keuangan Nasional dan Indeks Inklusi Keuangan Nasional.
Implikasi: Memberikan tolok ukur yang objektif untuk menilai keberhasilan program-program nasional dan mengidentifikasi area yang masih memerlukan perhatian dan intervensi lebih lanjut, sehingga kebijakan dapat dirumuskan dengan lebih tepat.

Sanksi Administratif:
SEOJK ini menegaskan bahwa ketidakpatuhan dalam penyusunan dan penyampaian laporan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan POJK yang berlaku (terutama POJK 22 Tahun 2023).
Implikasi: Mendorong kepatuhan PUJK dan memastikan integritas serta akurasi data pelaporan.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 13/SEOJK.08/2024 adalah instrumen krusial yang memastikan sinkronisasi, akuntabilitas, dan efektivitas program peningkatan literasi dan inklusi keuangan di sektor jasa keuangan. Dengan menetapkan standar pelaporan yang jelas dan memanfaatkan teknologi, OJK berupaya membangun basis data yang kuat untuk memantau kemajuan, mengidentifikasi kesenjangan, dan merumuskan kebijakan yang lebih tepat guna dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih berdaya secara finansial
SEOJK NOMOR 18/SEOJK.08/2024 TENTANG PENILAIAN SENDIRI TERHADAP PEMENUHAN KETENTUAN PELINDUNGAN
KONSUMEN DAN MASYARAKAT DI SEKTOR JASA KEUANGAN
Gambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 18/SEOJK.08/2024 adalah panduan komprehensif yang diterbitkan OJK untuk memfasilitasi dan mengatur kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam melakukan penilaian sendiri (self-assessment) terhadap pemenuhan ketentuan pelindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan. SEOJK ini merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 87 ayat (4) POJK Nomor 22 Tahun 2023. Tujuannya adalah untuk mendorong PUJK agar secara proaktif mengidentifikasi, mengukur, dan memperbaiki kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip perlindungan konsumen, sehingga tercipta ekosistem jasa keuangan yang sehat, transparan, dan berkeadilan bagi konsumen.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Kewajiban Penilaian Sendiri yang Terstruktur:
PUJK diwajibkan untuk melakukan penilaian sendiri secara berkala (tahunan) terhadap seluruh aspek pemenuhan ketentuan pelindungan konsumen dan masyarakat.
Penilaian ini mencakup berbagai area, mulai dari aspek desain produk, pemasaran, perjanjian, layanan, hingga penanganan pengaduan.
Implikasi: Membangun budaya kepatuhan dan manajemen risiko terkait perlindungan konsumen di internal PUJK, serta memungkinkan identifikasi dini terhadap potensi masalah.

Mekanisme Pelaporan Hasil Penilaian:
PUJK wajib menyampaikan hasil penilaian sendiri kepada OJK melalui sistem pelaporan elektronik yang telah ditentukan.
Laporan harus dilengkapi dengan bukti dan dokumentasi yang relevan untuk mendukung hasil penilaian.
Implikasi: Memberikan OJK gambaran yang akurat mengenai tingkat kepatuhan PUJK, memfasilitasi pengawasan berbasis risiko, dan memungkinkan OJK untuk memberikan pembinaan yang tepat sasaran.

Metodologi Penilaian yang Detail:
SEOJK ini menyediakan pedoman dan pertanyaan terperinci yang harus digunakan PUJK dalam melakukan penilaian sendiri. Pedoman ini mengacu pada prinsip-prinsip pelindungan konsumen yang diatur dalam POJK 22 Tahun 2023.
Penilaian mencakup aspek-aspek seperti transparansi informasi, perlakuan yang adil, keandalan produk/layanan, penanganan pengaduan yang efektif, dan perlindungan data pribadi.
Implikasi: Memastikan konsistensi dalam penilaian di seluruh PUJK dan membantu mereka memahami standar kepatuhan yang diharapkan OJK.

Peran Pengawasan OJK:
OJK akan menggunakan hasil penilaian sendiri ini sebagai salah satu data awal untuk melakukan pengawasan lebih lanjut, termasuk pemeriksaan on-site jika diperlukan.
OJK juga akan melakukan validasi terhadap keakuratan laporan penilaian sendiri yang disampaikan oleh PUJK.
Implikasi: Efisiensi dalam proses pengawasan OJK, dengan fokus pada area-area yang teridentifikasi memiliki risiko kepatuhan tinggi berdasarkan hasil penilaian sendiri.

Dampak pada Penguatan Perlindungan Konsumen:
Dengan adanya kewajiban penilaian sendiri yang sistematis, diharapkan PUJK dapat terus meningkatkan kualitas layanan dan produk mereka agar sesuai dengan standar perlindungan konsumen.
Hal ini diharapkan dapat mengurangi jumlah pengaduan konsumen, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan, dan pada akhirnya menciptakan iklim investasi dan konsumsi yang lebih kondusif.
Implikasi: Peningkatan signifikan dalam perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 18/SEOJK.08/2024 adalah langkah strategis OJK untuk mengimplementasikan kerangka perlindungan konsumen yang kuat melalui mekanisme penilaian sendiri. Regulasi ini tidak hanya menempatkan tanggung jawab kepatuhan pada PUJK tetapi juga membekali mereka dengan alat dan pedoman yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut, demi terciptanya sektor jasa keuangan yang tepercaya dan berorientasi pada konsumen
SEOJK NOMOR 6/SEOJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN FUNGSI KEPATUHAN BAGI BPRGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 6/SEOJK.03/2016 adalah pedoman yang dikeluarkan OJK untuk memastikan penerapan fungsi kepatuhan yang efektif dan optimal di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Regulasi ini merupakan turunan dari POJK Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat. Tujuannya adalah untuk membantu BPR dalam memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, prosedur, dan kegiatan usaha yang mereka lakukan senantiasa sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta mematuhi komitmen yang telah dibuat BPR kepada OJK dan otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI) atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Definisi dan Pentingnya Fungsi Kepatuhan:
Fungsi kepatuhan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan pencegahan untuk memastikan kepatuhan BPR terhadap regulasi OJK dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta komitmen kepada otoritas.
Implikasi: Menekankan bahwa kepatuhan bukan hanya responsif terhadap pelanggaran, tetapi merupakan upaya proaktif dalam mencegahnya.

Penunjukan Anggota Direksi yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan:
BPR wajib menunjuk seorang anggota Direksi yang secara khusus membawahkan fungsi kepatuhan.
Anggota Direksi ini bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan fungsi kepatuhan dan wajib memahami seluruh peraturan yang relevan.
Implikasi: Meningkatkan akuntabilitas direksi terhadap kepatuhan BPR dan memastikan adanya pimpinan yang fokus pada aspek ini.

Pembentukan Satuan Kerja Kepatuhan atau Penunjukan Pejabat Eksekutif:
BPR wajib membentuk satuan kerja kepatuhan atau menunjuk Pejabat Eksekutif yang menangani fungsi kepatuhan, yang bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan.
Implikasi: Memastikan adanya unit atau individu spesifik yang secara operasional menjalankan fungsi kepatuhan di tingkat pelaksana.

Tugas dan Tanggung Jawab Fungsi Kepatuhan:
Fungsi kepatuhan meliputi tugas-tugas seperti menyusun kebijakan dan prosedur kepatuhan, memantau kepatuhan, melakukan evaluasi kepatuhan, memberikan rekomendasi perbaikan, hingga menjadi penghubung dengan OJK.
Implikasi: Memberikan kerangka kerja yang jelas bagi pelaksanaan kegiatan kepatuhan sehari-hari.

Pelaporan Kepatuhan:
Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan wajib menyampaikan laporan khusus kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditemukan penyimpangan kebijakan/keputusan dari peraturan OJK atau perundang-undangan lain. Laporan juga harus mencakup upaya pencegahan yang telah dilakukan.
Implikasi: Memastikan OJK mendapatkan informasi tepat waktu mengenai potensi pelanggaran dan upaya mitigasi yang dilakukan BPR, memungkinkan OJK untuk melakukan tindakan pengawasan yang sesuai.

Sanksi Administratif:
Meskipun tidak dijelaskan secara spesifik dalam SEOJK ini, namun sebagai pelaksanaan dari POJK Tata Kelola BPR, pelanggaran terhadap ketentuan dalam SEOJK ini dapat berujung pada pengenaan sanksi administratif oleh OJK sesuai dengan POJK yang mendasarinya.
Implikasi: Mendorong kepatuhan BPR untuk menghindari sanksi dan menjaga reputasi serta operasional yang sehat.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 6/SEOJK.03/2016 menegaskan komitmen OJK untuk memperkuat tata kelola dan kepatuhan di BPR, yang merupakan tulang punggung keuangan mikro di Indonesia. Dengan adanya pedoman yang jelas ini, diharapkan BPR dapat menjalankan kegiatannya dengan lebih profesional, transparan, dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, sehingga dapat melindungi kepentingan nasabah dan menjaga stabilitas sektor jasa keuangan
SEOJK NOMOR 7/SEOJK.03/2016 TENTANG STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BPRGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.03/2016 adalah pedoman komprehensif yang dikeluarkan OJK untuk mengatur standar minimum pelaksanaan fungsi audit intern di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). SEOJK ini merupakan tindak lanjut dari amanat POJK Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat. Tujuannya adalah untuk memperkuat sistem pengendalian internal BPR melalui fungsi audit intern yang independen dan objektif, sehingga dapat mendukung terciptanya BPR yang sehat, akuntabel, dan transparan, serta memitigasi risiko operasional dan keuangan. Pedoman ini menjadi acuan bagi BPR dalam menyusun dan mengembangkan pedoman standar pelaksanaan fungsi audit intern sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas operasional usahanya.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Struktur Organisasi Fungsi Audit Intern:
BPR wajib memiliki Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) atau menunjuk Pejabat Eksekutif Audit Intern.
SKAI atau Pejabat Eksekutif Audit Intern bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama atau kepada Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan, serta memiliki akses langsung kepada Dewan Komisaris.
Personil audit intern harus memiliki kompetensi, integritas, dan objektivitas yang memadai.
Implikasi: Memastikan adanya independensi dan objektivitas fungsi audit intern, serta memastikan bahwa hasil audit memiliki bobot yang cukup untuk diperhatikan oleh manajemen puncak dan Dewan Komisaris.

Pedoman Standar Pelaksanaan Audit Intern:
SEOJK ini mengatur secara detail tahapan pelaksanaan audit intern, meliputi:
Perencanaan Audit: Penetapan tujuan audit, lingkup audit, metodologi, sumber daya, dan penyusunan Program Kerja Audit (PKA) tahunan yang didasarkan pada penilaian risiko.
Pelaksanaan Audit: Pengumpulan bukti audit, analisis, dan dokumentasi temuan.
Pelaporan Hasil Audit: Penyusunan laporan yang akurat, obyektif, jelas, ringkas, konstruktif, dan tepat waktu. Laporan harus memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Tindak Lanjut Hasil Audit: Pemantauan terhadap pelaksanaan rekomendasi audit oleh manajemen dan pelaporan status tindak lanjut.
Implikasi: Memberikan kerangka kerja yang sistematis dan terstandarisasi bagi pelaksanaan audit intern, sehingga hasil audit lebih berkualitas dan dapat diandalkan untuk pengambilan keputusan.

Kewajiban dan Tanggung Jawab:
Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan (atau Direktur Utama) bertanggung jawab untuk memastikan bahwa fungsi audit intern berjalan efektif.
Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan tugas SKAI/Pejabat Eksekutif Audit Intern, serta menelaah dan menyetujui PKA dan laporan berkala.
Kepala SKAI atau Pejabat Eksekutif Audit Intern bertanggung jawab atas keseluruhan pelaksanaan fungsi audit intern dan memastikan kepatuhan terhadap standar yang ditetapkan.
Implikasi: Memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing organ BPR dalam mendukung dan memanfaatkan fungsi audit intern.

Sistem Dokumentasi dan Administrasi:
Wajib mendokumentasikan seluruh proses audit dalam Kertas Kerja Audit (KKA) secara rapi dan sistematis, termasuk perencanaan, pelaksanaan, temuan, bukti, dan tindak lanjut.
KKA dan laporan audit harus disimpan sebagai dokumen yang bersifat rahasia.
Implikasi: Menjaga jejak audit (audit trail) untuk tujuan verifikasi, memastikan konsistensi, dan sebagai referensi di masa depan.

Pengawasan OJK:
Meskipun tidak diuraikan secara eksplisit dalam SEOJK ini, OJK akan menggunakan ketentuan ini sebagai dasar dalam melakukan pengawasan terhadap BPR terkait dengan efektivitas fungsi audit intern mereka.
BPR juga diminta untuk menyampaikan laporan berkala mengenai pelaksanaan fungsi audit intern kepada OJK.
Implikasi: Memungkinkan OJK untuk memantau kesehatan operasional dan kepatuhan BPR dari perspektif internal control, serta melakukan intervensi jika diperlukan.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 7/SEOJK.03/2016 adalah langkah krusial OJK dalam memperkuat pilar tata kelola di BPR melalui standar yang jelas untuk fungsi audit intern. Dengan penerapan yang disiplin terhadap pedoman ini, BPR diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengelola risiko secara lebih efektif, meningkatkan efisiensi operasional, memastikan kepatuhan terhadap peraturan, serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan mikro ini
POJK NOMOR 9 TAHUN 2024 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK PEREKONOMIAN RAKYAT DAN BANK PEREKONOMIAN RAKYAT SYARIAHPencabutan Regulasi atau Ketentuan Sebelumnya:
POJK ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku:

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.03/2018 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Gambaran Umum dan Tujuan:
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 9 Tahun 2024 ini merupakan pengganti dan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya mengenai tata kelola BPR dan BPRS. Tujuan utama POJK ini adalah untuk meningkatkan daya saing, mendorong pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan, serta memperkuat tata kelola (Good Corporate Governance - GCG) di Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Latar belakang penerbitan POJK ini adalah perkembangan inovasi produk dan teknologi informasi yang semakin meningkatkan risiko pada BPR dan BPRS, sehingga dibutuhkan penguatan tata kelola yang lebih adaptif dan komprehensif. POJK ini bertujuan untuk memastikan BPR dan BPRS memiliki fondasi GCG yang kuat dalam menghadapi tantangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks dan dinamis.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Cakupan yang Lebih Luas:
POJK ini menggabungkan dan menyelaraskan pengaturan tata kelola untuk BPR (konvensional) dan BPRS (syariah) dalam satu regulasi.
Implikasi: Menyatukan standar tata kelola untuk kedua jenis bank perekonomian rakyat, menciptakan keseragaman dan potensi efisiensi dalam implementasi.

Peningkatan Peran dan Tanggung Jawab Organ BPR/BPRS:
Dewan Komisaris: Diperkuat perannya dalam pengawasan dan pengambilan keputusan strategis, termasuk persetujuan atas rencana bisnis dan pengawasan kepatuhan serta audit internal.
Direksi: Lebih ditekankan tanggung jawabnya dalam implementasi tata kelola sehari-hari, termasuk penetapan kebijakan dan prosedur, pengelolaan risiko, serta pengembangan sumber daya manusia.
Implikasi: Memastikan adanya check and balance yang lebih kuat dan akuntabilitas yang lebih tinggi dari seluruh organ manajemen BPR/BPRS.

Penerapan Tata Kelola secara Komprehensif:
POJK ini mengatur penerapan tata kelola yang mencakup aspek-aspek kunci, antara lain:
Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi: Penjelasan detail mengenai wewenang, kewajiban, dan larangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris.
Penyusunan dan Pelaksanaan Rencana Bisnis: Kewajiban penyusunan rencana bisnis yang realistis dan terukur.
Manajemen Risiko: Penekanan pada identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko secara menyeluruh, termasuk risiko siber dan risiko operasional terkait teknologi informasi.
Fungsi Kepatuhan (Compliance): Penguatan peran fungsi kepatuhan dalam memastikan seluruh kegiatan BPR/BPRS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Fungsi Audit Intern: Penekanan pada independensi dan efektivitas audit intern sebagai lini pertahanan kedua.
Pengendalian Intern: Penyelenggaraan sistem pengendalian intern yang memadai untuk mendukung pencapaian tujuan BPR/BPRS.
Sistem Informasi Manajemen: Pentingnya sistem informasi yang mendukung pengambilan keputusan dan pelaporan yang akurat.
Transparansi Kondisi Keuangan dan Non-Keuangan: Kewajiban pengungkapan informasi yang relevan kepada publik dan pemangku kepentingan.
Rencana Kontinjensi: Kewajiban penyusunan rencana untuk mengatasi potensi krisis atau kejadian tak terduga.
Penerapan Tata Kelola Teknologi Informasi: Aturan spesifik terkait penggunaan dan pengelolaan teknologi informasi yang semakin krusial.
Penerapan Tata Kelola dalam Penyelenggaraan Produk: Penguatan tata kelola dalam pengembangan dan pemasaran produk BPR/BPRS.
Penerapan Tata Kelola dalam Kerangka Keuangan Berkelanjutan: Integrasi aspek keberlanjutan dalam praktik tata kelola.
Penilaian Sendiri (Self-Assessment) dan Laporan Pelaksanaan Tata Kelola: Kewajiban bagi BPR/BPRS untuk melakukan penilaian mandiri terhadap efektivitas tata kelola dan melaporkannya kepada OJK.
Implikasi: Memastikan bahwa BPR dan BPRS tidak hanya memenuhi persyaratan formal, tetapi juga benar-benar menginternalisasi prinsip-prinsip GCG dalam operasional harian.

Penyesuaian dengan Perkembangan Sektor Keuangan:
POJK ini mengakomodasi perkembangan terkini di sektor jasa keuangan, termasuk digitalisasi dan tuntutan akan perlindungan konsumen yang lebih kuat.
Implikasi: BPR dan BPRS didorong untuk beradaptasi dengan inovasi sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian dan perlindungan nasabah.

Penerapan Berjenjang Berdasarkan Kelompok Usaha (KUB):
POJK ini mungkin akan dilengkapi dengan surat edaran yang mengatur penerapan tata kelola secara berjenjang berdasarkan skala dan kompleksitas BPR/BPRS, sejalan dengan konsep Kelompok Usaha Bank (KUB) yang diterapkan pada bank umum.
Implikasi: Memberikan fleksibilitas dalam implementasi sesuai dengan kemampuan dan karakteristik masing-masing BPR/BPRS, namun tetap memastikan standar minimum terpenuhi.

Kesimpulan:
POJK Nomor 9 Tahun 2024 merupakan regulasi fundamental yang memperbaharui dan menguatkan kerangka tata kelola bagi Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah. Dengan penekanan pada peningkatan peran organ BPR/BPRS, penerapan tata kelola yang lebih komprehensif, dan adaptasi terhadap dinamika industri, OJK berharap BPR dan BPRS dapat meningkatkan kinerja, mitigasi risiko, menjaga kepercayaan publik, serta berkontribusi lebih besar pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Penyesuaian ini sangat penting untuk memastikan BPR/BPRS tetap relevan dan berdaya saing di tengah lanskap keuangan yang terus berkembang
SEOJK NOMOR 12/SEOJK.03/2024 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK PEREKONOMIAN RAKYATGambaran Umum dan Tujuan:
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 12/SEOJK.03/2024 ini merupakan petunjuk pelaksanaan yang lebih detail dari POJK Nomor 9 Tahun 2024 terkait penerapan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance - GCG) khusus bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Tujuan utama SEOJK ini adalah untuk memberikan panduan yang komprehensif kepada BPR agar dapat menerapkan prinsip-prinsip tata kelola secara efektif, konsisten, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga dapat mendukung peningkatan kinerja, mitigasi risiko, dan keberlanjutan usaha BPR.

Poin-poin Penting dan Implikasinya:
Penjabaran Prinsip Tata Kelola:
SEOJK ini merinci prinsip dasar tata kelola yang baik, yaitu Keterbukaan (transparency), Akuntabilitas (accountability), Pertanggungjawaban (responsibility), Independensi (independency), dan Kewajaran (fairness).
Implikasi: BPR harus memastikan bahwa seluruh operasional dan pengambilan keputusan mereka selaras dengan kelima prinsip ini, dengan menyediakan pedoman dan sistem informasi yang memadai untuk mendukung keterbukaan dan akuntabilitas.
Pedoman Pelaksanaan Tata Kelola per Faktor:

SEOJK ini menyediakan panduan detail untuk masing-masing faktor tata kelola, antara lain:
Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Direksi dan Dewan Komisaris: Termasuk penjelasan mengenai direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan, audit intern, dan penerapan manajemen risiko, serta kriteria independensi dan integritas.
Penyusunan dan Pelaksanaan Rencana Bisnis: Pedoman penyusunan, persetujuan, dan evaluasi Rencana Bisnis (RB) yang mencakup target keuangan, non-keuangan, strategi, dan proyeksi keuangan.
Manajemen Risiko: Penjelasan mengenai kerangka kerja manajemen risiko, identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko (kredit, operasional, likuiditas, reputasi, kepatuhan, hukum, strategis, dan risiko siber).
Fungsi Kepatuhan: Detil mengenai unit atau pejabat yang bertanggung jawab atas kepatuhan, pedoman kepatuhan, dan pelaporan pelanggaran.
Fungsi Audit Intern: Aturan terkait struktur organisasi, independensi, tugas, dan pelaporan hasil audit intern.
Pengendalian Intern: Penekanan pada lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan.
Sistem Informasi Manajemen: Persyaratan terkait kelengkapan, keandalan, dan keamanan sistem informasi untuk mendukung operasional dan pelaporan.
Tata Kelola Teknologi Informasi: Pedoman khusus untuk pengelolaan risiko terkait teknologi informasi dan pengembangan produk digital.
Tata Kelola dalam Penyelenggaraan Produk: Panduan untuk memastikan aspek tata kelola terintegrasi dalam seluruh siklus hidup produk.
Tata Kelola dalam Kerangka Keuangan Berkelanjutan: Integrasi aspek keberlanjutan dalam strategi dan operasional BPR.
Transparansi Kondisi Keuangan dan Non-Keuangan: Kewajiban pengungkapan informasi secara periodik dan akurat.

Penilaian Sendiri (Self-Assessment) Pelaksanaan Tata Kelola:
BPR wajib melakukan penilaian sendiri terhadap efektivitas penerapan tata kelola minimal 1 (satu) kali dalam setahun, dengan laporan yang disampaikan kepada OJK.
Implikasi: Mekanisme self-assessment ini mendorong BPR untuk secara proaktif mengevaluasi dan meningkatkan praktik tata kelola mereka, serta menjadi dasar bagi pengawasan oleh OJK. Format dan parameter penilaian terinci dalam Lampiran SEOJK.

Pelaporan dan Sanksi:
SEOJK ini mengatur kewajiban pelaporan berkala kepada OJK terkait pelaksanaan tata kelola, termasuk laporan penilaian sendiri.
Implikasi: Keterlambatan atau ketidakpatuhan dalam pelaporan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan POJK dan peraturan perundang-undangan terkait.

Kesimpulan:
SEOJK Nomor 12/SEOJK.03/2024 adalah instrumen penting bagi OJK untuk memperjelas dan memperkuat implementasi tata kelola di BPR. Dengan adanya panduan yang lebih detail ini, BPR diharapkan dapat menerapkan GCG secara lebih efektif, adaptif terhadap perkembangan teknologi dan risiko, serta pada akhirnya dapat meningkatkan kesehatan, stabilitas, dan keberlanjutan usaha mereka dalam mendukung ekosistem perbankan nasional
POJK NOMOR 5/POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BPRLatar Belakang dan Tujuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 ini diterbitkan dengan pertimbangan utama untuk mewujudkan industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang lebih sehat, kuat, dan produktif. Terdapat kebutuhan mendesak untuk menyesuaikan struktur permodalan BPR agar sejalan dengan praktik terbaik perbankan yang terus berkembang. Dengan permodalan yang lebih solid, BPR diharapkan dapat meningkatkan kapasitasnya dalam menyediakan pembiayaan bagi sektor riil, khususnya untuk usaha mikro dan kecil (UMK) yang menjadi segmen pasar utama BPR. Penguatan kelembagaan BPR melalui permodalan yang kuat juga krusial untuk meningkatkan kemampuan BPR dalam menyerap risiko operasional dan kredit yang melekat pada bisnis mereka.

II. Pokok-Pokok Pengaturan
POJK ini mengatur secara komprehensif mengenai kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) dan pemenuhan modal inti minimum bagi BPR, mencakup beberapa aspek kunci:

Penguatan Struktur Permodalan:
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM): BPR diwajibkan untuk senantiasa memiliki modal yang cukup untuk menutup risiko-risiko yang dihadapinya. Perhitungan KPMM didasarkan pada rasio modal terhadap aset tertimbang menurut risiko (ATMR). Artinya, semakin tinggi risiko aset yang dimiliki BPR, semakin besar pula modal yang harus disediakan.
Modal Inti Minimum: POJK ini secara spesifik menetapkan persyaratan modal inti minimum. Modal inti merupakan komponen modal yang paling kuat dan dapat menyerap kerugian. Penentuan modal inti minimum ini bertujuan untuk memastikan BPR memiliki fondasi permodalan yang sangat stabil dan berkelanjutan. Angka spesifik atau skema peningkatan modal inti yang diatur dalam POJK ini menjadi indikator penting bagi kesehatan BPR.

Peningkatan Kemampuan Penyaluran Dana:
Dengan modal yang lebih kuat, BPR diharapkan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan. Hal ini secara langsung mendukung tujuan pemerintah untuk memperluas akses keuangan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di daerah-daerah yang selama ini kurang terlayani oleh bank umum.

Manajemen Risiko dan Tata Kelola:
Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam ringkasan ini, penguatan permodalan ini secara inheren berkaitan dengan praktik manajemen risiko yang lebih baik. BPR didorong untuk mengelola risiko secara prudent, dan kecukupan modal menjadi buffer penting terhadap potensi kerugian.
POJK ini juga selaras dengan prinsip tata kelola yang baik (Good Corporate Governance/GCG) bagi BPR, di mana kecukupan modal merupakan salah satu pilar utama untuk operasional yang sehat dan transparan.

Penyesuaian dan Pencabutan Ketentuan Sebelumnya:
POJK ini menggantikan atau menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang ada sebelumnya terkait kewajiban penyediaan modal minimum BPR, memastikan regulasi permodalan BPR tetap relevan dan efektif dengan dinamika industri jasa keuangan.

III. Manfaat dan Dampak yang Diharapkan
Penerapan POJK ini diharapkan membawa sejumlah manfaat signifikan:
Peningkatan Stabilitas BPR: Dengan modal yang lebih kuat, BPR akan lebih resilient terhadap gejolak ekonomi dan risiko operasional, sehingga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan dapat terjaga.
Perlindungan Nasabah: Kecukupan modal akan meningkatkan keamanan dana nasabah yang disimpan di BPR, memberikan kepercayaan lebih kepada masyarakat.
Mendorong Konsolidasi dan Efisiensi: Persyaratan modal yang lebih tinggi mungkin mendorong BPR-BPR kecil untuk melakukan konsolidasi (merger atau akuisisi) guna memenuhi ketentuan, yang pada akhirnya dapat menciptakan BPR yang lebih besar, efisien, dan memiliki skala ekonomi.
Peningkatan Peran BPR dalam Perekonomian Lokal: Dengan kapasitas pembiayaan yang lebih baik, BPR dapat lebih optimal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya melalui penyaluran kredit ke sektor UMK.

IV. Kesimpulan
POJK Nomor 5/POJK.03/2015 merupakan instrumen regulasi krusial dari Otoritas Jasa Keuangan yang bertujuan untuk memperkuat fondasi permodalan BPR. Dengan fokus pada kewajiban penyediaan modal minimum dan modal inti, POJK ini diharapkan dapat menciptakan industri BPR yang tidak hanya lebih tangguh dan berdaya saing, tetapi juga mampu menjalankan fungsi intermediasi keuangannya secara lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal, utamanya bagi usaha mikro dan kecil
SEOJK NOMOR 2/SEOJK.03/2025 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BPRTujuan dan Latar Belakang:

Penerbitan SEOJK ini bertujuan untuk:

Memastikan kecukupan modal BPR dalam rangka mitigasi risiko operasional dan kredit.
Menyelaraskan perhitungan permodalan BPR dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, khususnya terkait Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sesuai SAK EP.
Memberikan panduan teknis yang lebih jelas dan terkini bagi BPR dalam menghitung Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dan pemenuhan modal inti minimum.
Meningkatkan kesehatan dan stabilitas BPR secara keseluruhan.
Pokok-pokok Pengaturan Utama:

SEOJK ini memuat ketentuan umum dan panduan teknis yang rinci mengenai perhitungan KPMM dan pemenuhan modal inti, antara lain:
Ketentuan Umum Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM):
BPR wajib menyediakan modal minimum sebesar paling rendah 12% (dua belas persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang dihitung berdasarkan risiko kredit. Angka ini lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya yang sebesar 8%, menunjukkan peningkatan ekspektasi modal yang harus dipenuhi BPR.
Perhitungan KPMM harus dilakukan setiap akhir bulan.

Komponen Modal:
Modal Inti (Tier 1 Capital): Terdiri dari modal disetor, cadangan tambahan modal, dan saldo laba.
Modal Disetor: Nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh.
Cadangan Tambahan Modal: Termasuk agio saham dan cadangan umum.
Saldo Laba: Laba ditahan atau rugi akumulasi.
Modal Pelengkap (Tier 2 Capital): Dapat termasuk instrumen modal yang memenuhi syarat yang ditentukan OJK.
SEOJK ini memperjelas pos-pos yang mengurangi modal (pengurang modal), seperti kerugian tahun berjalan, selisih kurang revaluasi aset tetap, dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang diatur sesuai dengan standar akuntansi keuangan.

Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR):
SEOJK ini memberikan panduan detail mengenai cara pembobotan risiko untuk berbagai jenis aset BPR. Pembobotan risiko ini akan menentukan besarnya ATMR.
Kredit yang Diberikan: Rincian pembobotan risiko berdasarkan kualitas kredit (lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, macet) dan jenis agunan yang dimiliki.
Contoh: Tagihan kredit dengan agunan tanah/bangunan berbobot risiko 70%, sedangkan tagihan kredit bermasalah (jatuh tempo atau macet) berbobot risiko 100%.
Penempatan pada Bank Lain: Pembobotan risiko berdasarkan kualitas penempatan dan status bank lawan transaksi.
Surat Berharga: Penjelasan mengenai bobot risiko untuk surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, yang kini diperbolehkan bagi BPR.
Aset Tetap, Inventaris, dan Aset Tidak Berwujud: Umumnya memiliki bobot risiko 100%.
Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dan Properti Terbengkalai: Diatur bobot risikonya, dengan batasan waktu tertentu sejak tanggal pengambilalihan/penetapan.

Kewajiban Pemenuhan Modal Inti Minimum:
Selain KPMM, BPR juga diwajibkan untuk memenuhi modal inti minimum sesuai dengan ketentuan POJK mengenai konsolidasi.
Untuk BPR yang belum memenuhi modal inti minimum sesuai POJK tentang BPR/BPR Syariah, OJK akan melakukan tindakan pengawasan (misalnya, pembatasan kegiatan usaha dan larangan dividen).

Perhitungan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN):
SEOJK ini menekankan bahwa BPR harus membentuk CKPN sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku, yaitu SAK EP.
Adanya penyesuaian dalam perhitungan KPMM dengan mempertimbangkan dampak CKPN.

Mekanisme Setoran Modal:
Diperbaharui mekanisme setoran modal untuk pendirian atau penambahan modal BPR, termasuk ketentuan terkait sumber dana setoran modal.

Dampak dan Implikasi:
Penerbitan SEOJK ini memiliki implikasi signifikan bagi BPR:
Peningkatan Ketahanan Keuangan: Dengan persyaratan KPMM yang lebih tinggi, BPR diharapkan memiliki bantalan modal yang lebih kuat untuk menyerap potensi kerugian.
Harmonisasi dengan Standar Akuntansi: BPR dituntut untuk menerapkan standar akuntansi yang lebih ketat, khususnya dalam hal CKPN, yang akan meningkatkan kualitas laporan keuangan.
Manajemen Risiko yang Lebih Baik: Perhitungan ATMR yang lebih rinci akan mendorong BPR untuk mengelola portofolio aset mereka dengan lebih hati-hati.
Peningkatan Efisiensi Operasional: BPR harus memastikan operasionalnya efisien agar dapat mempertahankan rasio modal yang sehat.
Pengawasan yang Lebih Efektif: Panduan yang jelas dalam SEOJK ini akan memudahkan OJK dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kesehatan permodalan BPR.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 2/SEOJK.03/2025 ini merupakan langkah strategis OJK untuk memperkuat fondasi keuangan BPR, memastikan mereka memiliki modal yang cukup untuk menjalankan operasional secara aman dan sehat, serta mendukung peran mereka dalam perekonomian nasional
POJK NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISKO BAGI BPRTujuan dan Latar Belakang:

Penerbitan POJK ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan BPR yang semakin dinamis dan kompleksitas transaksi yang dijalankan. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih sistematis dalam mengelola risiko agar BPR dapat tetap sehat dan berkontribusi secara optimal pada perekonomian. Tujuan utama POJK ini adalah:

Meningkatkan kekuatan kelembagaan BPR melalui pengelolaan risiko yang efektif.
Menjaga stabilitas operasional dan finansial BPR dari berbagai potensi kerugian.
Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri BPR.
Menyelaraskan praktik manajemen risiko BPR dengan standar dan praktik terbaik di industri perbankan yang lebih besar, namun disesuaikan dengan skala dan karakteristik BPR.
Memastikan pertumbuhan BPR yang berkelanjutan dengan mitigasi risiko yang memadai.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
POJK ini memuat pengaturan komprehensif mengenai penerapan manajemen risiko di BPR, meliputi empat pilar utama:
Penerapan Manajemen Risiko yang Komprehensif:
BPR wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam setiap kegiatan usahanya.

Manajemen risiko yang dimaksud mencakup:
Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris: Direksi dan Dewan Komisaris memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan kerangka manajemen risiko yang memadai telah diterapkan. Ini mencakup penetapan kebijakan, prosedur, dan limit risiko.
Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Risiko: BPR harus memiliki kebijakan tertulis, prosedur operasional standar, dan batasan (limit) risiko yang jelas untuk setiap jenis risiko yang dihadapi.
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko: BPR harus secara rutin mengidentifikasi risiko yang ada, mengukur dampaknya, memantau tingkat risiko, dan menerapkan langkah-langkah pengendalian yang sesuai.
Sistem Informasi Manajemen Risiko: BPR perlu memiliki sistem informasi yang memadai untuk mendukung proses manajemen risiko, termasuk pengumpulan data risiko, pelaporan, dan analisis.
Sistem Pengendalian Internal yang Efektif: BPR wajib memiliki sistem pengendalian internal yang kuat untuk meminimalkan potensi kesalahan dan kerugian.

Jenis Risiko yang Wajib Dikelola:
POJK ini secara spesifik mengidentifikasi jenis-jenis risiko yang wajib dikelola oleh BPR, yaitu:
Risiko Kredit: Risiko kerugian akibat kegagalan pihak lawan memenuhi kewajiban (misalnya, nasabah gagal bayar pinjaman). Ini merupakan risiko utama bagi BPR.
Risiko Operasional: Risiko kerugian akibat kegagalan atau tidak memadainya proses internal, manusia, sistem, atau dari peristiwa eksternal (termasuk fraud).
Risiko Pasar: Risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar. Meskipun dampaknya mungkin tidak sebesar bank umum, BPR tetap memiliki eksposur terhadap risiko ini (misalnya, dari surat berharga).
Risiko Likuiditas: Risiko ketidakmampuan BPR untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan, atau karena tidak dapat mencairkan asetnya.
Risiko Hukum: Risiko kerugian akibat tuntutan hukum, ketiadaan dasar hukum untuk suatu transaksi, atau kelemahan aspek yuridis.
Risiko Reputasi: Risiko kerugian akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan terhadap BPR.
Risiko Stratejik: Risiko kerugian akibat penetapan dan pelaksanaan strategi BPR yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak sesuai, atau kurang responsif terhadap perubahan lingkungan bisnis.
Risiko Kepatuhan: Risiko kerugian akibat BPR tidak memenuhi atau tidak mematuhi peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.

Tata Kelola Manajemen Risiko:
Peran Direksi: Bertanggung jawab dalam menetapkan strategi manajemen risiko, mengawasi implementasi, dan memastikan ketersediaan sumber daya.
Peran Dewan Komisaris: Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan manajemen risiko oleh Direksi.
Struktur Organisasi: BPR harus memiliki struktur organisasi yang mendukung fungsi manajemen risiko, meskipun mungkin tidak sekompleks bank umum besar.

Pelaporan:
BPR wajib menyampaikan laporan penerapan manajemen risiko kepada OJK secara berkala. Laporan ini mencakup profil risiko, hasil pengukuran risiko, dan tindakan mitigasi yang dilakukan.
Laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan OJK.

Dampak dan Implikasi:
Penerapan POJK ini membawa dampak dan implikasi penting bagi BPR:
Peningkatan Kualitas Aset: Dengan manajemen risiko kredit yang lebih baik, diharapkan kualitas kredit BPR akan meningkat dan NPL dapat terkendali.
Efisiensi Operasional: Pengelolaan risiko operasional yang efektif akan mengurangi potensi kerugian akibat kesalahan internal atau eksternal, termasuk fraud.
Kesehatan Finansial yang Lebih Baik: BPR yang menerapkan manajemen risiko dengan baik cenderung memiliki kondisi keuangan yang lebih stabil dan sehat.
Penguatan Daya Saing: BPR yang mampu mengelola risikonya dengan baik akan lebih dipercaya oleh nasabah dan investor, sehingga dapat meningkatkan daya saingnya.
Kepatuhan Regulasi: Memastikan BPR memenuhi standar yang ditetapkan oleh OJK, sehingga mengurangi risiko sanksi dan masalah hukum.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 13/POJK.03/2015 ini adalah landasan penting bagi BPR untuk beroperasi secara lebih prudent dan profesional, menjaga stabilitas keuangan, dan berkontribusi secara optimal dalam melayani kebutuhan perbankan masyarakat kecil dan menengah
SEOJK NOMOR 1/SEOJK.03/2019 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISKO BAGI BPRTujuan dan Latar Belakang:

Penerbitan SEOJK ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan panduan yang lebih rinci dan praktis bagi BPR dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip manajemen risiko yang diamanatkan oleh POJK 13/2015. Tujuannya adalah untuk:

Memberikan standar penerapan manajemen risiko sebagai acuan minimum bagi BPR, termasuk dalam penyusunan kebijakan dan pedoman internal.
Meningkatkan pemahaman dan kapabilitas BPR dalam mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan berbagai jenis risiko.
Mendukung pengawasan OJK terhadap kualitas penerapan manajemen risiko di BPR.
Memperkuat ketahanan dan stabilitas operasional BPR secara keseluruhan.
Pokok-pokok Pengaturan Utama:

SEOJK ini memuat ketentuan umum dan standar teknis yang rinci mengenai berbagai aspek penerapan manajemen risiko bagi BPR, antara lain:

Ketentuan Umum:
Menegaskan bahwa SEOJK ini adalah standar penerapan manajemen risiko minimum bagi BPR dan merupakan acuan dalam penyusunan kebijakan dan pedoman internal BPR.
Apabila BPR telah memiliki kebijakan dan pedoman manajemen risiko namun belum sesuai dengan standar ini, BPR harus menyesuaikannya.

Pilar-pilar Penerapan Manajemen Risiko:
SEOJK ini merinci implementasi lima pilar utama penerapan manajemen risiko yang digariskan dalam POJK 13/2015:
a. Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris:
Menjelaskan secara detail peran dan tanggung jawab Direksi dalam menetapkan strategi, kebijakan, dan prosedur manajemen risiko, serta mengawasi pelaksanaannya.
Menjelaskan peran dan tanggung jawab Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja Direksi dalam penerapan manajemen risiko, termasuk penilaian terhadap kecukupan kebijakan dan prosedur.
BPR wajib memiliki pejabat eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi manajemen risiko.
b. Kecukupan Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit Risiko:
BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis untuk setiap jenis risiko (kredit, operasional, pasar, likuiditas, hukum, reputasi, stratejik, dan kepatuhan).
Kebijakan ini harus mencakup metodologi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko.
BPR wajib menetapkan limit (batasan) risiko yang sesuai untuk setiap jenis risiko guna mengendalikan eksposur risiko.
c. Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko:
Identifikasi: BPR harus secara sistematis mengidentifikasi risiko yang timbul dari seluruh produk, aktivitas, dan sistem.
Pengukuran: Mengembangkan metodologi untuk mengukur eksposur dan potensi kerugian dari setiap risiko.
Pemantauan: Melakukan pemantauan berkelanjutan terhadap tingkat risiko dan kepatuhan terhadap limit risiko yang ditetapkan.
Pengendalian: Mengimplementasikan langkah-langkah pengendalian yang efektif, seperti pemisahan fungsi, otorisasi transaksi, dan mitigasi risiko.
d. Sistem Informasi Manajemen Risiko:
BPR harus memiliki sistem informasi yang memadai untuk mendukung proses manajemen risiko, termasuk pengumpulan data, analisis, dan pelaporan risiko secara akurat dan tepat waktu.
Sistem ini harus mampu menghasilkan laporan yang relevan untuk pengambilan keputusan oleh Direksi dan Dewan Komisaris.
e. Sistem Pengendalian Internal yang Efektif:
BPR wajib memiliki sistem pengendalian internal yang kuat, meliputi lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan.
Ini juga mencakup audit internal yang independen untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian.

Manajemen Risiko untuk Produk dan Aktivitas Baru:
BPR wajib memiliki prosedur untuk menilai dan mengelola risiko yang timbul dari produk dan/atau aktivitas baru sebelum diluncurkan.

Laporan Implementasi Manajemen Risiko:
BPR wajib menyampaikan laporan penerapan manajemen risiko kepada OJK secara berkala (semesteran), yang mencakup:
Profil risiko BPR.
Realisasi rencana tindak penerapan manajemen risiko.
Permasalahan dan kendala dalam penerapan manajemen risiko.
Laporan harus menggunakan format yang telah ditentukan dalam Lampiran SEOJK ini.
Dampak dan Implikasi:

Penerbitan SEOJK ini memiliki implikasi penting bagi BPR:
Standarisasi Praktik MR: Memastikan bahwa semua BPR memiliki pemahaman dan menerapkan praktik manajemen risiko minimal yang konsisten.
Peningkatan Kualitas Pengelolaan Risiko: BPR didorong untuk lebih proaktif dalam mengelola risiko, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas aset, mengurangi kerugian operasional, dan memperkuat posisi keuangan.
Transparansi dan Akuntabilitas: Laporan yang diwajibkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas BPR kepada OJK.
Penguatan Keamanan dan Kepercayaan: Dengan pengelolaan risiko yang lebih baik, BPR akan menjadi lebih aman dan dapat diandalkan, sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 1/SEOJK.03/2019 adalah panduan praktis yang esensial bagi BPR untuk mengimplementasikan kerangka manajemen risiko yang solid, yang krusial untuk menjaga kesehatan, stabilitas, dan keberlanjutan industri BPR di tengah lingkungan bisnis yang dinamis
POJK NOMOR 23/POJK.03/2022 TENTANG BMPK BPR DAN BMPD BPRSPOJK Nomor 23 Tahun 2022 ini merupakan regulasi penting yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur dan mengendalikan konsentrasi risiko dalam pemberian kredit atau penyaluran dana oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Peraturan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal melalui peningkatan penyediaan dana kepada sektor riil, namun dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko, guna menjaga stabilitas dan kinerja BPR serta BPRS.

Tujuan dan Latar Belakang:
Penerbitan POJK ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk:
Mendorong peningkatan kredit/pembiayaan mikro kepada sektor riil oleh BPR dan BPRS.
Menerapkan prinsip kehati-hatian (prudence principle) dalam penyediaan dana untuk meminimalkan konsentrasi risiko pada individual atau kelompok peminjam tertentu.
Menjaga stabilitas dan mendorong peningkatan kinerja BPR dan BPRS.
Memberikan fleksibilitas bagi BPR dan BPRS untuk menanggulangi potensi permasalahan likuiditas melalui penempatan dana antar-bank.
Menyediakan kerangka hukum yang jelas dan komprehensif terkait Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD).
Pokok-pokok Pengaturan Utama:

POJK ini memuat pengaturan komprehensif mengenai BMPK bagi BPR dan BMPD bagi BPRS, meliputi:
Definisi dan Ruang Lingkup:
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK): Batasan maksimum penyediaan dana yang tidak dapat dilampaui oleh BPR kepada peminjam atau kelompok peminjam tertentu.
Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD): Batasan maksimum penyaluran dana syariah yang tidak dapat dilampaui oleh BPRS kepada nasabah penerima fasilitas atau kelompok nasabah penerima fasilitas tertentu.
Ruang lingkup penyediaan dana meliputi kredit, surat berharga yang dibeli, penempatan dana pada bank lain, penyertaan modal, agunan yang diambil alih (AYDA), dan komitmen serta kontinjensi.

Perhitungan Modal:
Dasar perhitungan BMPK/BMPD adalah modal BPR/BPRS yang ditetapkan berdasarkan posisi laporan bulanan BPR/BPRS terakhir yang telah direkonsiliasi.
Modal yang dimaksud mencakup modal inti dan modal pelengkap (jika ada), dikurangi dengan pengurang modal sesuai ketentuan permodalan.

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BPR:
Peminjam Perorangan atau Kelompok Peminjam:
Kepada 1 (satu) peminjam atau kelompok peminjam, BPR wajib menyediakan dana paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal BPR. Ini adalah penurunan dari POJK sebelumnya yang membatasi 30%, menunjukkan penekanan pada diversifikasi portofolio.
Kepada pihak terkait (misalnya, pemegang saham pengendali, direksi, komisaris beserta keluarganya), BPR wajib menyediakan dana paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari modal BPR.
Kepada kelompok peminjam yang di dalamnya terdapat pihak terkait BPR, BMPK berlaku paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal BPR.
Penyediaan Dana Antar-BPR:
BPR dapat melakukan penempatan dana kepada BPR atau BPRS lain (antar-bank), namun dengan batasan tertentu.
Penempatan dana BPR pada BPR/BPRS lain yang bukan merupakan kelompok usaha bank yang sama, paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal BPR.
Penempatan dana BPR pada BPR/BPRS lain yang merupakan kelompok usaha bank yang sama, paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR.
Penempatan ini diperbolehkan dalam rangka penanggulangan potensi dan/atau permasalahan likuiditas BPR/BPRS penerima penempatan dana, dengan kewajiban pelaporan kepada OJK.

Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) BPRS:
Ketentuan BMPD bagi BPRS secara prinsip sama dengan BMPK BPR, disesuaikan dengan terminologi syariah (misalnya, nasabah penerima fasilitas).
Kepada 1 (satu) nasabah penerima fasilitas atau kelompok nasabah penerima fasilitas, BPRS wajib menyalurkan dana paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal BPRS.
Kepada pihak terkait, BPRS wajib menyalurkan dana paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari modal BPRS.
Kepada kelompok nasabah penerima fasilitas yang di dalamnya terdapat pihak terkait BPRS, BMPD berlaku paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari modal BPRS.
Penyaluran dana antar-BPRS atau BPR juga diatur dengan batasan yang mirip dengan penempatan dana antar-BPR.

Perkecualian dan Pelaporan:
Terdapat beberapa kondisi yang dikecualikan dari perhitungan BMPK/BMPD, misalnya penempatan dana pada Bank Indonesia atau pembelian surat berharga yang diterbitkan pemerintah.
BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan kepatuhan terhadap BMPK/BMPD kepada OJK secara berkala.

Sanksi Administratif:
OJK dapat mengenakan sanksi administratif (peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, penurunan tingkat kesehatan, hingga pencabutan izin usaha) bagi BPR/BPRS yang tidak memenuhi ketentuan BMPK/BMPD.

Dampak dan Implikasi:
Penerapan POJK ini diharapkan membawa dampak positif signifikan:
Diversifikasi Portofolio Kredit/Pembiayaan: Penurunan batas maksimum per peminjam/kelompok peminjam akan mendorong BPR/BPRS untuk mendiversifikasi portofolionya, mengurangi konsentrasi risiko, dan menyalurkan dana kepada lebih banyak pelaku usaha mikro dan kecil.
Peningkatan Prinsip Kehati-hatian: Menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam pemberian kredit/pembiayaan, sehingga meminimalkan risiko kredit macet.
Dukungan Likuiditas Antar-Bank: Memfasilitasi mekanisme penempatan dana antar-BPR/BPRS untuk mengatasi masalah likuiditas, yang dapat meningkatkan stabilitas sistem BPR/BPRS secara keseluruhan.
Penguatan Pengawasan OJK: Memberikan landasan yang lebih kuat bagi OJK untuk mengawasi kepatuhan BPR/BPRS terhadap batas konsentrasi risiko.
Kesehatan dan Stabilitas BPR/BPRS: Pada akhirnya, regulasi ini akan berkontribusi pada peningkatan kesehatan dan stabilitas BPR dan BPRS, menjadikan mereka lebih tangguh dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 23 Tahun 2022 adalah instrumen penting bagi OJK untuk menyeimbangkan antara dorongan pertumbuhan ekonomi mikro dan kebutuhan akan pengelolaan risiko yang prudent di sektor BPR dan BPRS
SEOJK NOMOR 11/SEOJK.03/2023 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BPR DAN BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BPRSLatar Belakang dan Tujuan:
Seiring dengan kebutuhan akan peningkatan peran BPR dan BPRS dalam mendukung pertumbuhan ekonomi sektor riil, POJK 23/2022 telah menetapkan kerangka umum BMPK dan BMPD. SEOJK ini hadir untuk menjembatani POJK tersebut dengan praktik di lapangan, memastikan BPR dan BPRS memiliki pemahaman yang seragam dan detail mengenai:

Mekanisme Perhitungan: Bagaimana BMPK dan BMPD harus dihitung secara konsisten.
Pengecualian yang Diizinkan: Kriteria penyediaan atau penyaluran dana yang dapat dikecualikan dari perhitungan BMPK/BMPD untuk memberikan fleksibilitas tertentu dalam kondisi tertentu.
Pelaporan yang Standar: Format dan prosedur pelaporan kepada OJK untuk memudahkan pengawasan dan pemantauan kepatuhan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Metodologi Perhitungan BMPK/BMPD: SEOJK ini menyediakan panduan terperinci tentang cara menghitung BMPK dan BMPD. Ini mencakup definisi komponen-komponen yang digunakan dalam perhitungan, seperti modal inti BPR/BPRS, dan bagaimana eksposur risiko dari berbagai jenis fasilitas kredit/pembiayaan harus diperlakukan. Tujuannya adalah untuk memastikan seluruh BPR/BPRS menerapkan metode perhitungan yang sama, sehingga hasil perhitungan valid dan dapat dibandingkan.

Jenis Pengecualian dan Perlakuan Khusus:
Jaminan Pihak Ketiga: Dijelaskan secara spesifik fasilitas kredit/pembiayaan yang dijamin oleh entitas tertentu, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang bergerak di bidang penjaminan, dapat dikecualikan dari perhitungan BMPK/BMPD. Ini mengakui mitigasi risiko yang disediakan oleh jaminan tersebut.
Agunan Likuid: Fasilitas dengan agunan likuid yang memenuhi persyaratan tertentu juga diuraikan sebagai komponen yang dapat mengurangi eksposur BMPK/BMPD, mendorong BPR/BPRS untuk menggunakan agunan yang berkualitas tinggi.
Penempatan Dana Antar-Bank untuk Likuiditas: Ketentuan terkait penempatan dana antar-bank untuk tujuan penanggulangan masalah likuiditas juga dijelaskan, memungkinkan BPR/BPRS untuk saling membantu tanpa melanggar batasan konsentrasi, selama memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Standar Pelaporan kepada OJK:

SEOJK ini menetapkan format pelaporan BMPK dan BMPD yang baku dan wajib diikuti oleh semua BPR dan BPRS.
Meliputi detail informasi yang harus dilaporkan, seperti identitas debitur/nasabah, jenis dan nilai fasilitas, bagian yang dikecualikan, kualitas aset terkait, hingga status kepatuhan terhadap BMPK/BMPD.
Pelaporan ini bersifat periodik (semesteran), memungkinkan OJK untuk memantau secara berkala tingkat konsentrasi risiko pada masing-masing BPR/BPRS dan mengambil tindakan korektif jika diperlukan.

Penguatan Tata Kelola dan Manajemen Risiko Konsentrasi:
Dengan memberikan detail operasional ini, SEOJK membantu BPR dan BPRS dalam mengelola risiko konsentrasi penyediaan/penyaluran dana secara lebih efektif. Hal ini krusial untuk mencegah ketergantungan yang berlebihan pada satu atau sekelompok debitur/nasabah, yang dapat mengancam kesehatan keuangan BPR/BPRS jika terjadi wanprestasi.
Penerapan yang konsisten dari SEOJK ini diharapkan dapat meningkatkan kesehatan aset BPR/BPRS, mengurangi potensi kredit macet akibat risiko konsentrasi, dan pada akhirnya menjaga stabilitas seluruh industri Bank Perekonomian Rakyat.
Perubahan Nomenklatur: Adanya penyesuaian penggunaan istilah dari "Bank Perkreditan Rakyat" menjadi "Bank Perekonomian Rakyat" menunjukkan adaptasi regulasi terhadap perkembangan terkini dalam sektor perbankan Indonesia.

Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 11/SEOJK.03/2023 adalah panduan implementasi yang sangat penting bagi BPR dan BPRS, memastikan bahwa ekspansi kredit/pembiayaan dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip kehati-hatian, demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan di tingkat lokal maupun nasional.
POJK NOMOR 1 TAHUN 2024 TENTANG KUALITAS ASET PRODUKTIFLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Peningkatan Kesehatan dan Daya Saing BPR: OJK mengakui pentingnya BPR sebagai pilar ekonomi di tingkat lokal. Untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan BPR yang sehat, pengelolaan aset yang baik adalah kunci. Regulasi ini berupaya menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi BPR agar mampu bersaing secara efektif.
Kepatuhan terhadap Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko: Dalam menjalankan kegiatan usahanya, terutama penyaluran kredit dan investasi, BPR diwajibkan untuk selalu memperhatikan prinsip kehati-hatian dan menerapkan manajemen risiko yang efektif untuk meminimalkan potensi kerugian.
Penyelarasan dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK): POJK ini menegaskan tuntutan bagi BPR untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja sebenarnya, sejalan dengan standar akuntansi keuangan terkini. Hal ini penting untuk transparansi dan akuntabilitas.
Amanat UU P2SK: Regulasi ini juga merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 12A dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah terakhir dengan UU P2SK, menunjukkan komitmen OJK untuk memperkuat kerangka regulasi di sektor keuangan.

Poin-Poin Penting yang Diatur:
Pengelompokan Kualitas Aset Produktif: POJK ini menetapkan secara detail kriteria pengelompokan kualitas aset produktif BPR (seperti kredit, surat berharga, penempatan dana pada bank lain) menjadi beberapa kategori (misalnya, Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, Macet). Pengelompokan ini didasarkan pada berbagai faktor, termasuk kemampuan bayar debitur, prospek usaha, dan kondisi keuangan debitur/proyek.

Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset (PPA): Regulasi ini mewajibkan BPR untuk membentuk Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) yang memadai sesuai dengan kualitas aset produktif yang dimiliki. Pembentukan PPA ini adalah bentuk antisipasi terhadap potensi kerugian dari aset yang kualitasnya menurun, sehingga BPR memiliki cadangan yang cukup untuk menutupi risiko tersebut dan laporan keuangannya mencerminkan kondisi yang sebenarnya.

Proses Penilaian Kualitas Aset: POJK ini juga menguraikan prosedur dan metodologi yang harus digunakan BPR dalam menilai kualitas aset mereka. Ini mencakup evaluasi berkala terhadap debitur, analisis prospek usaha, dan penilaian terhadap nilai agunan.

Penghapusan Buku dan Penghapusbukuan Aset: Dijelaskan ketentuan mengenai penghapusan buku (write-off) aset produktif yang sudah tidak dapat ditagih atau diyakini tidak akan tertagih lagi, serta proses penghapusbukuan. Ini penting untuk membersihkan neraca BPR dari aset-aset non-produktif.

Peran Direksi dan Dewan Komisaris: Regulasi ini mempertegas tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris dalam memastikan bahwa kebijakan dan prosedur pengelolaan kualitas aset diterapkan secara efektif dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mereka bertanggung jawab atas pengawasan dan pengambilan keputusan strategis terkait kualitas aset.

Sistem Informasi Manajemen Risiko: BPR diwajibkan untuk memiliki sistem informasi yang memadai untuk mendukung identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian kualitas aset secara akurat dan tepat waktu.

Dampak dan Signifikansi:
POJK ini memiliki dampak signifikan dalam meningkatkan tata kelola dan manajemen risiko di BPR. Dengan standar yang lebih jelas dan ketat dalam

penilaian kualitas aset dan pembentukan PPA, diharapkan:
Kesehatan keuangan BPR akan lebih terjaga dan stabil.
Transparansi laporan keuangan BPR meningkat, memberikan gambaran yang lebih akurat kepada regulator dan publik.
BPR dapat mengidentifikasi dan merespons lebih cepat terhadap potensi masalah pada aset mereka.
Secara keseluruhan, regulasi ini akan memperkuat kepercayaan publik terhadap industri BPR dan mendukung kontribusinya yang berkelanjutan terhadap stabilitas sistem keuangan nasional.
POJK 1 Tahun 2024 ini adalah bagian integral dari upaya OJK untuk membangun sektor perbankan yang tangguh, adaptif, dan mampu menghadapi tantangan ekonomi di masa mendatang
POJK NOMOR 23 TAHUN 2024 TENTANG PELAPORAN MELALUI SISTEM PELAPORAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BAGI BPR & BPRSLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Peningkatan Pengawasan Berbasis Teknologi (Suptech): OJK terus berinovasi dalam pengawasan lembaga jasa keuangan. Dengan digitalisasi pelaporan, OJK dapat memperoleh data dan informasi kondisi keuangan serta kegiatan usaha BPR/BPRS secara lebih efektif, efisien, dan real-time, mendukung pengawasan yang lebih proaktif dan berbasis risiko.
Peningkatan Transparansi Kondisi Keuangan: Salah satu pilar tata kelola yang baik adalah transparansi. POJK ini mewajibkan BPR/BPRS untuk mempublikasikan laporan keuangan dan informasi penting lainnya agar masyarakat memiliki akses yang memadai terhadap kondisi dan kinerja lembaga keuangan ini, sehingga meningkatkan kepercayaan.
Digitalisasi dan Penyesuaian Cakupan Laporan: POJK ini mengatasi tantangan pelaporan manual (luring) dengan mendorong digitalisasi penuh. Selain itu, cakupan laporan dan tata cara publikasi juga disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan informasi terkini dari regulator maupun masyarakat.
Penyempurnaan Regulasi Sebelumnya: Regulasi ini mencabut dan mengganti POJK Nomor 13/POJK.03/2019 tentang Pelaporan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah melalui Sistem Pelaporan Otoritas Jasa Keuangan, menunjukkan upaya OJK untuk terus menyempurnakan kerangka regulasi agar lebih relevan dan efektif.

Poin-Poin Penting yang Diatur:
Pelaporan Digital melalui Sistem OJK:
Mewajibkan BPR dan BPRS untuk menyampaikan seluruh laporan keuangan dan kegiatan usaha melalui Sistem Pelaporan Otoritas Jasa Keuangan (pelaporan secara daring/online).
Penekanan pada kelengkapan, akurasi, aktualitas (kini), dan keutuhan data dan informasi yang dilaporkan.
Standarisasi format dan mekanisme pengiriman data untuk memastikan konsistensi dan kemudahan analisis bagi OJK.

Cakupan Laporan yang Diperbarui:
Menyesuaikan jenis-jenis laporan yang harus disampaikan, mencakup laporan berkala (bulanan, triwulanan, semesteran, tahunan), laporan insidentil, dan laporan lain yang relevan dengan pengawasan.
Memperbarui detail isi dan format laporan untuk mengakomodasi perkembangan bisnis BPR/BPRS dan kebutuhan pengawasan OJK yang semakin kompleks.

Transparansi Kondisi Keuangan (Publikasi Laporan):
Mewajibkan BPR dan BPRS untuk mempublikasikan laporan keuangan tertentu kepada masyarakat (misalnya, melalui situs web BPR/BPRS, papan pengumuman, atau media lain yang mudah diakses).
Menentukan frekuensi dan tata cara publikasi, serta informasi minimum yang harus disampaikan untuk memastikan transparansi yang memadai tanpa mengganggu operasional.
Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memberikan informasi yang relevan bagi calon nasabah atau investor.

Sanksi dan Mekanisme Koreksi:
POJK ini juga mengatur mengenai sanksi bagi BPR/BPRS yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan atau jika laporan yang disampaikan tidak akurat.
Dijelaskan pula mekanisme koreksi laporan jika terdapat kesalahan, termasuk konsekuensi yang mungkin timbul dari koreksi tersebut.

Peran Pengurus BPR/BPRS:
Menekankan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris (atau pengurus yang setara) dalam memastikan integritas dan akurasi data yang dilaporkan serta kepatuhan terhadap ketentuan transparansi.
Adanya contoh kasus yang menyoroti sanksi yang dapat dikenakan jika terjadi kesalahan pelaporan.

Dampak dan Signifikansi:
POJK Nomor 23 Tahun 2024 ini adalah regulasi yang sangat penting bagi BPR dan BPRS dalam era digitalisasi. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan:

Pengawasan OJK menjadi lebih efektif dan efisien, memungkinkan deteksi dini permasalahan dan respons yang lebih cepat.
Kualitas data dan informasi keuangan BPR/BPRS meningkat, mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik oleh manajemen dan OJK.
Tingkat transparansi industri BPR/BPRS meningkat, yang pada gilirannya akan memperkuat kepercayaan publik dan stabilitas sektor keuangan mikro.
BPR/BPRS terdorong untuk beradaptasi dengan teknologi, meningkatkan efisiensi operasional dan kapabilitas pelaporan mereka.
Secara keseluruhan, POJK ini merupakan bagian integral dari upaya OJK untuk membangun sektor perbankan yang tangguh, transparan, dan responsif terhadap dinamika pasar serta perkembangan teknologi
SEOJK NOMOR 16/SEOJK.03/2024 TENTANG PELAPORAN MELALUI SISTEM PELAPORAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BAGI BANK PEREKONOMIAN RAKYATLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Penyelarasan dengan POJK Terbaru: SEOJK ini adalah tindak lanjut dan penjelas operasional dari POJK 23/2024, yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan OJK berbasis teknologi dan transparansi BPR.
Standarisasi Pelaporan Digital: Dengan adanya digitalisasi pelaporan, diperlukan petunjuk teknis yang jelas agar BPR dapat menyampaikan data secara lengkap, akurat, terkini, dan utuh melalui Sistem Pelaporan Otoritas Jasa Keuangan (APOLO), menggantikan metode pelaporan luring (offline) yang ada sebelumnya.
Meningkatkan Akurasi dan Validitas Data: Rincian mengenai struktur, format, dan tata cara pengisian laporan bertujuan untuk meminimalkan kesalahan dan inkonsistensi data, sehingga data yang diterima OJK memiliki kualitas yang tinggi untuk keperluan analisis dan pengawasan.
Memastikan Transparansi kepada Publik: SEOJK ini juga merinci bagaimana BPR harus memenuhi kewajiban transparansi kondisi keuangannya kepada masyarakat, meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap industri BPR.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Jenis-jenis Laporan yang Wajib Disampaikan:
Laporan Berkala: Merupakan seluruh laporan yang disampaikan secara rutin (bulanan, triwulanan, semesteran, tahunan), meliputi Laporan Keuangan, Laporan Profil Risiko, Laporan Rencana Bisnis, dan laporan lainnya yang diwajibkan. SEOJK ini merinci format, isi, dan jadwal penyampaian untuk setiap jenis laporan berkala.
Laporan Insidentil: Laporan yang disampaikan dalam kondisi tertentu atau atas permintaan OJK, seperti laporan mengenai perubahan struktur organisasi, kejadian penting, atau data khusus yang dibutuhkan OJK sewaktu-waktu.
Laporan Lainnya: Laporan yang ditentukan kemudian oleh OJK sesuai dengan kebutuhan pengawasan.

Mekanisme Pelaporan Melalui Sistem OJK (APOLO):
Tata Cara Akses Sistem: Dijelaskan prosedur untuk mendapatkan akses dan menggunakan Sistem Pelaporan OJK, termasuk pendaftaran dan pengelolaan akun pengguna.
Standar Data dan Format: Menetapkan struktur data (misalnya, XSD - XML Schema Definition), format file (misalnya, XML atau CSV), dan tata cara pengisian data yang harus dipatuhi BPR. Hal ini memastikan data terstandarisasi dan dapat diproses secara otomatis oleh sistem OJK.
Validasi dan Verifikasi: Dijelaskan proses validasi data yang dilakukan oleh sistem dan kewajiban BPR untuk memastikan kebenaran data sebelum disampaikan.
Batas Waktu Pelaporan: Penentuan batas waktu yang ketat untuk setiap jenis laporan, dengan penekanan pada penyampaian yang tepat waktu.

Ketentuan Transparansi Kondisi Keuangan:
Jenis Informasi yang Dipublikasikan: Merinci laporan dan informasi keuangan minimum yang wajib dipublikasikan oleh BPR kepada masyarakat, seperti Laporan Posisi Keuangan, Laporan Laba Rugi, dan informasi penting lainnya.
Media Publikasi: Menentukan media publikasi yang dapat digunakan (misalnya, situs web resmi BPR, papan pengumuman di kantor, atau media massa yang relevan), dengan penekanan pada kemudahan akses bagi masyarakat.
Frekuensi Publikasi: Menetapkan jadwal dan frekuensi publikasi laporan keuangan agar informasi selalu up-to-date.

Tanggung Jawab Direksi dan Pengurus:
SEOJK ini menegaskan kembali bahwa Direksi BPR bertanggung jawab penuh atas kebenaran, kelengkapan, dan ketepatan waktu pelaporan serta kepatuhan terhadap ketentuan transparansi.
Dijelaskan pula kewajiban Direksi dalam menunjuk dan mengelola akses pegawai pelaksana yang bertanggung jawab dalam proses pelaporan.

Dampak dan Signifikansi:
Penerapan SEOJK ini akan memiliki dampak signifikan terhadap operasional BPR dan pengawasan OJK:
Peningkatan Efisiensi Pengawasan: OJK akan dapat mengumpulkan dan menganalisis data BPR secara lebih cepat dan efisien, memungkinkan pengawasan yang lebih real-time dan berbasis risiko.
Data yang Lebih Berkualitas: Standarisasi dan digitalisasi pelaporan akan menghasilkan data yang lebih akurat dan konsisten, mendukung analisis tren dan pengambilan keputusan yang lebih baik.
Peningkatan Akuntabilitas BPR: Kewajiban transparansi akan mendorong BPR untuk mengelola keuangannya dengan lebih hati-hati dan bertanggung jawab, karena informasi kinerja mereka akan lebih mudah diakses publik.
Memperkuat Kepercayaan Publik: Dengan informasi yang transparan dan mudah diakses, masyarakat akan lebih percaya pada industri BPR sebagai lembaga keuangan yang prudent dan akuntabel.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 16/SEOJK.03/2024 adalah instrumen penting yang tidak hanya memodernisasi proses pelaporan BPR tetapi juga secara fundamental memperkuat pilar-pilar pengawasan dan transparansi dalam industri Bank Perekonomian Rakyat
SEOJK NOMOR 39/SEOJK.03/2017 TENTANG LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASITujuan utama dari SEOJK ini adalah untuk meningkatkan pemantauan keadaan usaha BPR oleh publik, menyelaraskan dengan ketentuan yang berlaku, serta menyesuaikan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor perbankan dari Bank Indonesia ke OJK. Dokumen ini merinci jenis, waktu, cakupan, dan bentuk laporan tahunan serta laporan keuangan publikasi yang wajib disampaikan oleh BPR.

Latar Belakang dan Tujuan Utama:
Peningkatan Pemantauan Publik: OJK berkomitmen untuk meningkatkan transparansi di sektor jasa keuangan. Dengan mewajibkan BPR mempublikasikan laporan tahunan dan laporan keuangan, masyarakat, nasabah, dan calon investor dapat memantau kondisi dan kinerja BPR secara lebih baik. Ini akan mendorong BPR untuk beroperasi dengan lebih hati-hati dan akuntabel.
Harmonisasi Regulasi: SEOJK ini bertujuan untuk menyelaraskan praktik pelaporan BPR dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terbaru yang berlaku di sektor perbankan.
Transisi Wewenang Pengawasan: Penerbitan SEOJK ini juga menegaskan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan BPR dari Bank Indonesia ke OJK, sehingga seluruh mekanisme pelaporan dan publikasi kini berada di bawah payung regulasi OJK.
Dasar Operasional POJK TKK BPR: SEOJK ini berfungsi sebagai pedoman operasional yang sangat detail, menjelaskan secara teknis bagaimana BPR harus memenuhi kewajiban transparansi sebagaimana diamanatkan oleh POJK TKK BPR.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Kewajiban Penyampaian Laporan dan Informasi:
BPR diwajibkan untuk menyampaikan laporan dan/atau informasi sesuai dengan jenis, waktu, cakupan, dan bentuk yang ditetapkan oleh OJK. Ini mencakup laporan tahunan dan laporan keuangan yang wajib dipublikasikan.

Laporan Tahunan BPR:
Cakupan Informasi: Laporan Tahunan harus memuat informasi komprehensif mengenai BPR, termasuk:
Laporan Keuangan: Laporan Posisi Keuangan, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Laporan keuangan ini harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk BPR dengan total aset tertentu (misalnya, di atas Rp 10 miliar) untuk memastikan validitas dan keandalan data.
Laporan Manajemen: Narasi mengenai tinjauan operasional dan keuangan BPR selama setahun.
Informasi Tata Kelola Perusahaan (GCG): Penjelasan mengenai struktur tata kelola BPR, termasuk komposisi dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris.
Informasi Lainnya: Data mengenai kepemilikan saham (termasuk Pemegang Saham Pengendali), riwayat singkat BPR, dan informasi penting lainnya yang relevan bagi pemangku kepentingan.
Batas Waktu Penyampaian: Dijelaskan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan kepada OJK.
Format: SEOJK ini menyediakan contoh format yang wajib diikuti oleh BPR dalam menyusun Laporan Tahunan.

Laporan Keuangan Publikasi:
Cakupan Informasi: Merupakan ringkasan laporan keuangan tertentu yang wajib dipublikasikan secara periodik (misalnya, triwulanan atau semesteran) untuk memberikan gambaran terkini mengenai kondisi keuangan BPR kepada masyarakat. Informasi ini umumnya lebih ringkas dibandingkan Laporan Tahunan.
Media Publikasi: Dijelaskan media-media yang dapat digunakan untuk publikasi, seperti papan pengumuman di kantor BPR, situs web resmi BPR, atau media massa (koran lokal/nasional) yang memiliki jangkauan luas, untuk memastikan aksesibilitas informasi.
Batas Waktu Publikasi: Ditetapkan tenggat waktu spesifik untuk publikasi laporan ini setelah periode pelaporan berakhir.

Sanksi dan Ketentuan Lain:
Meskipun tidak diuraikan secara detail di executive summary ini, SEOJK ini juga mengatur mengenai sanksi bagi BPR yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan dan publikasi sesuai dengan ketentuan.
Memberikan petunjuk mengenai kualitas data yang diharapkan dan tanggung jawab pengurus BPR dalam memastikan kebenaran laporan.

Dampak dan Signifikansi:
SEOJK Nomor 39/SEOJK.03/2017 ini sangat penting dalam mendorong praktik tata kelola yang baik dan transparansi di industri BPR. Dengan adanya

regulasi ini, diharapkan:
Akuntabilitas BPR Meningkat: BPR akan lebih termotivasi untuk menjaga kinerja dan kesehatan keuangannya karena informasi tersebut akan diakses oleh publik.
Perlindungan Nasabah Menguat: Nasabah dapat membuat keputusan yang lebih terinformasi mengenai BPR tempat mereka akan menyimpan atau meminjam dana.
Pengawasan OJK Lebih Efektif: Data yang terstandarisasi dan terpublikasi memudahkan OJK dalam memantau kondisi BPR secara menyeluruh.
Kepercayaan Industri Meningkat: Peningkatan transparansi akan berkontribusi pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap BPR secara umum, mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan.
Secara keseluruhan, SEOJK ini merupakan langkah proaktif OJK untuk memastikan BPR beroperasi secara sehat, transparan, dan dapat diandalkan sebagai bagian integral dari sistem keuangan nasional
SEOJK NOMOR 16/SEOJK.03/2019 TENTANG PERUBAHAN SEOJK NOMOR 39/SEOJK.03/2017 TENTANG LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASISEOJK Nomor 16/SEOJK.03/2019 ini diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai revisi terhadap SEOJK sebelumnya (Nomor 39/SEOJK.03/2017) yang mengatur tentang Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Perubahan ini didorong oleh beberapa faktor penting, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan pemantauan keadaan usaha BPR oleh publik, penyelarasan dengan regulasi baru seperti POJK Pelaporan BPR dan BPRS, serta harmonisasi dengan ketentuan mengenai kualitas aset produktif dan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) BPR.

Latar Belakang dan Tujuan Utama Perubahan:
Peningkatan Pemantauan Publik: Tujuan utama dari perubahan ini adalah untuk lebih lanjut meningkatkan kemampuan publik dalam memantau kondisi dan kinerja BPR melalui laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan.
Penyelarasan dengan Regulasi Baru: Adanya POJK Pelaporan BPR dan BPRS (Peraturan OJK Nomor 13/POJK.03/2019) mengharuskan adanya penyesuaian dalam tata cara dan cakupan pelaporan.
Harmonisasi dengan POJK Kualitas Aset: Perubahan ini juga menyelaraskan ketentuan pelaporan dengan POJK Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan PPAP BPR (Peraturan OJK Nomor 33/POJK.03/2018), memastikan bahwa data yang dilaporkan mencerminkan kondisi aset dan cadangan kerugian yang akurat.
Optimalisasi Informasi yang Disajikan: Perubahan ini bertujuan untuk mengoptimalkan jenis dan detail informasi yang disajikan dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi, agar lebih informatif dan relevan bagi para pemangku kepentingan.

Poin-Poin Penting Perubahan yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Penyesuaian Definisi dan Ketentuan Umum: Beberapa definisi dan ketentuan umum diperbarui untuk mencerminkan perubahan regulasi yang lebih baru, khususnya terkait dengan terminologi dan mekanisme pelaporan melalui sistem OJK.

Cakupan Informasi pada Laporan Tahunan:
Laporan Keuangan Audit: Untuk BPR dengan total aset di atas batas tertentu (misalnya, Rp 10 miliar), kewajiban untuk melampirkan Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) tetap dipertahankan, namun mungkin ada penyesuaian format atau detail yang diminta. Ini memastikan keandalan data keuangan.
Laporan Manajemen dan Tata Kelola Perusahaan (GCG): Penekanan pada penyajian laporan manajemen yang lebih informatif mengenai kinerja dan strategi BPR, serta informasi terkait tata kelola perusahaan yang baik (GCG), termasuk komposisi Direksi dan Dewan Komisaris.
Informasi Pemegang Saham dan Ultimate Shareholders: SEOJK ini memperjelas dan mungkin menambahkan detail mengenai penyajian informasi pemegang saham, termasuk kepemilikan mayoritas, dan juga informasi mengenai ultimate shareholders (pemilik manfaat akhir) untuk meningkatkan transparansi kepemilikan.
Informasi Lainnya: Penyesuaian mungkin juga terjadi pada informasi lain yang relevan, seperti riwayat singkat BPR, struktur organisasi, dan catatan penting lainnya.

Laporan Keuangan Publikasi:
Penyesuaian Format dan Isi: Format dan isi Laporan Keuangan Publikasi (yang biasanya ringkas dan periodik) mungkin mengalami penyesuaian untuk mencerminkan perubahan POJK terkait, seperti penyajian pos-pos tertentu yang lebih relevan dengan kondisi kualitas aset atau pelaporan digital.
Media dan Frekuensi Publikasi: Ketentuan mengenai media publikasi (misalnya, situs web, papan pengumuman, atau media massa) dan frekuensi publikasi (misalnya, triwulanan atau semesteran) kemungkinan tetap dipertahankan dengan sedikit penyesuaian untuk memastikan informasi mudah diakses dan up-to-date.

Sanksi dan Mekanisme Pelaporan:
Meskipun tidak selalu diuraikan dalam executive summary, perubahan SEOJK biasanya juga mengklarifikasi atau menyesuaikan ketentuan mengenai sanksi bagi BPR yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan dan publikasi.
Penekanan pada penyampaian laporan melalui sistem pelaporan OJK yang terintegrasi (seperti APOLO) sebagai bagian dari upaya digitalisasi pengawasan.

Dampak dan Signifikansi Perubahan:
SEOJK 16/SEOJK.03/2019 ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan OJK untuk memperkuat industri BPR agar lebih sehat, transparan, dan akuntabel.

Dengan adanya perubahan ini, diharapkan:
Kualitas Informasi Meningkat: Data dan informasi yang disampaikan dan dipublikasikan oleh BPR akan lebih akurat, komprehensif, dan relevan, mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik oleh semua pihak.
Efektivitas Pengawasan OJK Menguat: OJK akan memiliki akses yang lebih baik terhadap data yang konsisten dan terintegrasi, memungkinkan pengawasan yang lebih efisien dan responsif.
Kepercayaan Publik Terjaga: Peningkatan transparansi akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap BPR, yang merupakan fondasi penting bagi stabilitas dan pertumbuhan sektor perbankan mikro.
Kepatuhan BPR Terhadap Regulasi: BPR didorong untuk lebih patuh terhadap standar pelaporan dan transparansi yang terus berkembang, sejalan dengan praktik terbaik di industri jasa keuangan.
Secara keseluruhan, SEOJK ini merupakan langkah adaptif OJK untuk memastikan bahwa kerangka regulasi BPR tetap relevan dan efektif di tengah dinamika industri dan perkembangan standar akuntansi serta pengawasan
POJK NOMOR 23 TAHUN 2024 TENTANG PELAPORAN MELALUI SISTEM PELAPORAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BAGI BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Transformasi Pengawasan ke Arah Digital (Suptech): OJK terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. POJK ini menjadi respons terhadap kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas dalam memperoleh data dan informasi kondisi keuangan serta kegiatan usaha BPR dan BPRS. Dengan mengamanatkan digitalisasi pelaporan, OJK dapat memperoleh data yang lengkap, akurat, kini (real-time), dan utuh, yang merupakan fondasi penting bagi pengawasan berbasis risiko yang lebih proaktif dan prediktif.

Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas: Transparansi adalah pilar krusial dalam membangun kepercayaan publik terhadap lembaga jasa keuangan. POJK ini mewajibkan BPR dan BPRS untuk mempublikasikan informasi keuangan dan non-keuangan tertentu, sehingga masyarakat, nasabah, investor, dan pihak berkepentingan lainnya memiliki akses yang lebih baik terhadap kinerja dan kesehatan BPR/BPRS. Hal ini akan mendorong akuntabilitas BPR/BPRS dan menekan potensi praktik-praktik yang merugikan.

Penyempurnaan Kerangka Regulasi Pelaporan: POJK ini secara eksplisit mencabut dan menggantikan POJK sebelumnya (POJK Nomor 13/POJK.03/2019 tentang Pelaporan BPR dan BPRS melalui Sistem Pelaporan OJK). Hal ini menunjukkan komitmen OJK untuk terus mereformasi dan menyelaraskan ketentuan pelaporan agar sesuai dengan perkembangan terkini dalam industri dan kebutuhan pengawasan. Penyesuaian cakupan laporan dan tata cara publikasi menjadi indikator dari upaya penyempurnaan ini.

Cakupan dan Ketentuan Kunci dalam POJK Ini:
Wajib Lapor Melalui Sistem Digital OJK:
Integrasi Sistem: POJK ini secara tegas mewajibkan seluruh BPR dan BPRS untuk menyampaikan seluruh laporan keuangan dan kegiatan usaha melalui Sistem Pelaporan Otoritas Jasa Keuangan yang telah ditentukan (misalnya, APOLO atau sistem lain yang ditunjuk). Pelaporan secara manual (luring) tidak lagi menjadi opsi utama.
Kualitas Data: Penekanan kuat diberikan pada kualitas data: harus lengkap (tidak ada informasi yang terlewat), akurat (benar secara nominal dan faktual), kini (mencerminkan kondisi terkini), dan utuh (tidak terpotong atau terdistorsi). Hal ini akan memungkinkan analisis data yang lebih andal dan cepat oleh OJK.

Jenis dan Cakupan Laporan:
Laporan Berkala: Meliputi laporan bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan yang mencakup data keuangan (Laporan Posisi Keuangan, Laba Rugi, dsb.), data operasional (jumlah nasabah, jenis kredit/pembiayaan, dsb.), dan data kepatuhan.
Laporan Insidentil: Pelaporan atas kejadian-kejadian penting yang berdampak signifikan pada BPR/BPRS, seperti perubahan kepemilikan, permasalahan hukum, atau kejadian luar biasa lainnya.
Laporan Khusus/Permintaan OJK: OJK berwenang meminta laporan tambahan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan pengawasan spesifik.
Penyesuaian Konten: Setiap jenis laporan disesuaikan konten dan detailnya untuk memenuhi kebutuhan pengawasan modern dan standar akuntansi terkini.

Ketentuan Transparansi Kondisi Keuangan:
Publikasi Laporan: BPR dan BPRS wajib mempublikasikan laporan keuangan dan informasi penting lainnya kepada masyarakat. Ini mencakup, namun tidak terbatas pada, laporan keuangan yang diaudit (jika diwajibkan berdasarkan aset), dan ringkasan laporan keuangan secara periodik.
Aksesibilitas Informasi: Media publikasi harus memastikan informasi mudah diakses oleh masyarakat umum, seperti melalui situs web resmi BPR/BPRS, papan pengumuman di kantor, atau media massa yang memiliki jangkauan luas.
Tujuan Transparansi: Tujuan publikasi ini adalah untuk membantu masyarakat dalam mengambil keputusan yang terinformasi saat berinteraksi dengan BPR/BPRS (misalnya, sebagai nasabah penyimpan atau peminjam).

Tanggung Jawab Pengurus dan Sanksi:
Tanggung Jawab Direksi: Direksi BPR/BPRS memiliki tanggung jawab penuh atas integritas, akurasi, dan ketepatan waktu semua laporan yang disampaikan serta pemenuhan kewajiban transparansi. Mereka juga bertanggung jawab untuk memastikan sistem internal mendukung proses pelaporan yang akurat.
Sanksi Kepatuhan: POJK ini akan mengatur sanksi administratif yang dikenakan bagi BPR/BPRS yang tidak memenuhi ketentuan pelaporan (misalnya, keterlambatan, ketidaklengkapan, atau ketidakakuratan data) dan transparansi. Sanksi ini dapat bervariasi mulai dari denda hingga pembekuan kegiatan usaha, tergantung pada tingkat pelanggaran.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 23 Tahun 2024 ini adalah bagian integral dari visi OJK untuk menciptakan sektor jasa keuangan yang lebih tangguh dan berdaya saing di era
digital.

Implikasi utamanya adalah:
Pengawasan Lebih Proaktif: OJK akan memiliki visibilitas yang lebih baik dan lebih cepat terhadap kondisi BPR/BPRS, memungkinkan intervensi dini dan mitigasi risiko yang lebih efektif.
Peningkatan Efisiensi Operasional BPR/BPRS: Meskipun memerlukan investasi awal dalam sistem, digitalisasi akan menyederhanakan proses pelaporan jangka panjang, mengurangi beban administratif manual, dan meningkatkan efisiensi internal BPR/BPRS.
Memperkuat Kepercayaan dan Perlindungan Konsumen: Transparansi yang lebih tinggi akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap BPR/BPRS dan membantu melindungi kepentingan nasabah dengan menyediakan informasi yang relevan.
Data-Driven Decision Making: Ketersediaan data yang lengkap dan akurat akan mendukung pengambilan keputusan berbasis data yang lebih baik, baik oleh OJK maupun oleh manajemen BPR/BPRS itu sendiri.
Secara keseluruhan, POJK ini menandai langkah maju yang signifikan dalam evolusi regulasi BPR dan BPRS di Indonesia, mendorong industri ke arah yang lebih modern, transparan, dan resilient dalam menghadapi tantangan masa depan
POJK NOMOR 18/POJK.03/2017 TENTANG PELAPORAN DAN PERMINTAAN DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGANPOJK Nomor 18/POJK.03/2017 ini merupakan regulasi krusial yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur secara komprehensif mekanisme pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Regulasi ini adalah pengembangan dari Sistem Informasi Debitur (SID) yang sebelumnya dikelola oleh Bank Indonesia, dengan tujuan utama untuk menyediakan sistem informasi keuangan yang lebih andal, komprehensif, dan terintegrasi bagi seluruh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di bawah pengawasan OJK.

Latar Belakang dan Tujuan Utama:

Pengembangan Sistem Informasi Keuangan: OJK, sebagai otoritas pengawas sektor jasa keuangan, memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank serta lembaga lain dalam bidang keuangan. SLIK adalah realisasi dari kewenangan ini untuk memenuhi kebutuhan informasi debitur yang akurat dan terkini.
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi: Dengan adanya informasi debitur yang transparan dan lengkap, LJK dapat melakukan penilaian risiko kredit dengan lebih baik. Ini akan memperlancar proses penyediaan dana, mendorong penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor riil, dan pada akhirnya mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Penguatan Manajemen Risiko: SLIK berperan vital dalam membantu LJK menerapkan manajemen risiko yang efektif, khususnya risiko kredit. Informasi mengenai riwayat kredit debitur (kualitas kolektibilitas, tunggakan, dan fasilitas yang dimiliki di LJK lain) memungkinkan LJK membuat keputusan pemberian kredit yang lebih hati-hati dan berbasis data.
Efektivitas Pengawasan OJK: SLIK menyediakan basis data yang komprehensif bagi OJK untuk memantau konsentrasi risiko, mengidentifikasi pola-pola permasalahan kredit, dan melakukan pengawasan yang lebih efektif di seluruh sektor jasa keuangan. Ini mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Perpindahan dan Pengelolaan SLIK:
Mengatur secara formal peralihan pengelolaan sistem informasi debitur dari Bank Indonesia ke OJK.
Menetapkan OJK sebagai pengelola utama SLIK, yang bertanggung jawab atas pengembangan, pemeliharaan, dan operasional sistem.

Kewajiban Pelaporan Debitur:
Pelapor SLIK: Semua LJK yang termasuk dalam cakupan POJK (seperti bank umum, BPR, perusahaan pembiayaan, dan LJK lain yang ditentukan OJK) wajib menjadi Pelapor SLIK.
Jenis Data yang Dilaporkan: Merinci jenis data dan informasi debitur yang wajib dilaporkan secara periodik (misalnya, bulanan) ke SLIK. Ini mencakup identitas debitur, fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima, riwayat pembayaran, agunan, dan data terkait lainnya yang relevan untuk penilaian risiko kredit.
Akurasi dan Ketepatan Waktu: Penekanan pada pentingnya akurasi, kelengkapan, dan ketepatan waktu dalam penyampaian laporan. Kesalahan atau keterlambatan dapat berakibat sanksi.

Hak Permintaan Informasi Debitur:
Akses LJK: LJK yang terdaftar sebagai Pelapor SLIK memiliki hak untuk meminta dan memperoleh Informasi Debitur dari SLIK untuk tujuan penilaian kelayakan kredit, manajemen risiko, atau tujuan lain yang diizinkan oleh OJK.
Akses Debitur/Masyarakat: POJK ini juga mengatur hak debitur atau masyarakat umum untuk meminta Informasi Debitur atas nama mereka sendiri untuk tujuan verifikasi atau pemeriksaan riwayat kredit pribadi. Ini penting untuk menjaga hak-hak konsumen dan transparansi.
Prinsip Kerahasiaan: Dijelaskan ketentuan mengenai kerahasiaan Informasi Debitur dan batasan-batasan penggunaannya.

Peran OJK dalam Pengelolaan SLIK:
Pengembangan Sistem: OJK bertanggung jawab untuk mengembangkan dan memelihara SLIK agar tetap andal, aman, dan dapat mengakomodasi kebutuhan LJK serta perkembangan teknologi.
Pengawasan Kepatuhan: OJK melakukan pengawasan terhadap kepatuhan LJK dalam melaporkan dan memanfaatkan informasi SLIK.
Penetapan Sanksi: POJK ini juga mengatur sanksi administratif (misalnya, denda, pembatasan akses SLIK) bagi LJK yang melanggar ketentuan pelaporan atau penggunaan informasi SLIK.

Implementasi Bertahap:
POJK ini mengamanatkan implementasi SLIK secara bertahap untuk memastikan transisi yang mulus dan kesiapan LJK dalam beradaptasi dengan sistem baru.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 18/POJK.03/2017 ini adalah regulasi yang sangat signifikan bagi seluruh sektor jasa keuangan di Indonesia karena:
Meningkatkan Kualitas Penilaian Kredit: LJK dapat membuat keputusan kredit yang lebih terinformasi, mengurangi risiko NPL (Non-Performing Loan) dan meningkatkan kualitas portofolio kredit mereka.
Mendorong Pertumbuhan Kredit yang Sehat: Dengan risiko yang lebih terkendali, LJK akan lebih percaya diri dalam menyalurkan kredit/pembiayaan, mendukung pertumbuhan ekonomi.
Memperkuat Disiplin Pasar: Debitur akan lebih termotivasi untuk menjaga riwayat kredit yang baik karena informasinya tercatat secara nasional.
Mendukung Stabilitas Sistem Keuangan: SLIK menjadi instrumen penting bagi OJK untuk memantau kesehatan sektor keuangan secara makroprudensial.
Peningkatan Efisiensi Industri: LJK dapat mengurangi waktu dan biaya dalam proses due diligence kredit.
Secara keseluruhan, POJK ini tidak hanya memperkuat kerangka regulasi informasi perkreditan di Indonesia tetapi juga menjadi fondasi penting bagi praktik perbankan yang lebih hati-hati, transparan, dan efisien
POJK NOMOR 64/POJK.03/2020 TENTANG PERUBAHAN PELAPORAN DAN PERMINTAAN DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGANPelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK)

POJK Nomor 64/POJK.03/2020 ini merupakan regulasi penting yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merevisi dan memperkuat POJK sebelumnya (POJK Nomor 18/POJK.03/2017) mengenai Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Perubahan ini didorong oleh kebutuhan untuk memperluas cakupan Pelapor SLIK, mendukung pengawasan yang lebih efektif di seluruh sektor jasa keuangan (perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank), serta terus mengembangkan SLIK menjadi sistem yang lebih andal, komprehensif, dan terintegrasi.

Latar Belakang dan Tujuan Utama Perubahan:
Perluasan Cakupan Pelapor SLIK: OJK menyadari bahwa informasi kredit/pembiayaan tidak hanya berasal dari bank, tetapi juga dari berbagai Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lain. Perubahan ini bertujuan untuk memasukkan lebih banyak jenis LJK sebagai Pelapor SLIK, sehingga data informasi debitur menjadi lebih lengkap dan mencakup seluruh ekosistem keuangan.
Mendukung Pengawasan Lintas Sektor: Dengan perluasan cakupan pelapor, SLIK akan menjadi alat yang lebih powerful bagi OJK dalam melakukan pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial di seluruh sektor jasa keuangan, bukan hanya perbankan. Ini memungkinkan identifikasi risiko sistemik dan konsentrasi risiko secara lebih komprehensif.
Pengembangan dan Integrasi SLIK: OJK terus berkomitmen untuk mengembangkan SLIK sebagai pusat informasi debitur yang andal dan terintegrasi. Perubahan ini mendukung upaya tersebut dengan memperbarui ketentuan yang relevan dengan perkembangan sistem dan kebutuhan data.
Optimalisasi Informasi Debitur: Dengan data yang lebih luas dan terintegrasi, LJK dapat melakukan penilaian risiko kredit dengan lebih akurat, meminimalisir risiko kredit bermasalah, dan menyalurkan dana secara lebih efisien dan bertanggung jawab.

Poin-Poin Penting Perubahan yang Diatur dalam POJK Ini:
Perluasan Definisi dan Cakupan Pelapor:
Pihak yang Wajib Menjadi Pelapor: POJK ini secara eksplisit memperluas daftar pihak yang wajib menjadi Pelapor SLIK. Selain bank konvensional dan syariah (termasuk BPR dan BPRS), LJK lain yang memberikan fasilitas penyediaan dana atau pembiayaan (misalnya, perusahaan pembiayaan, lembaga keuangan mikro tertentu, dll.) juga diwajibkan untuk melaporkan informasi debiturnya. Hal ini menciptakan basis data informasi debitur yang lebih holistik.
Pihak yang Dapat Menjadi Pelapor: POJK juga mengatur pihak-pihak yang dapat menjadi Pelapor SLIK secara sukarela, yang mungkin tidak memiliki kewajiban langsung tetapi informasinya relevan untuk SLIK.

Penyesuaian Data dan Informasi yang Dilaporkan:
Detail Informasi Debitur: Ketentuan mengenai jenis data dan informasi debitur yang harus dilaporkan diperbarui untuk mengakomodasi kebutuhan data dari berbagai jenis LJK. Ini mungkin mencakup penyesuaian format atau elemen data untuk memastikan kompatibilitas dan kelengkapan.
Penyajian Data Berdasarkan Sektor: Adanya kemungkinan penyesuaian dalam penyajian data untuk mendukung analisis lintas sektor (perbankan, pasar modal, IKNB).

Mekanisme Pelaporan dan Penggunaan Informasi:
Digitalisasi Pelaporan: Penekanan pada penyampaian laporan secara elektronik melalui sistem SLIK yang dikelola OJK, dengan standar akurasi, kelengkapan, dan ketepatan waktu yang tinggi.
Akses dan Pemanfaatan Informasi: Ketentuan mengenai siapa saja yang dapat mengakses dan bagaimana informasi debitur dari SLIK dapat dimanfaatkan diperjelas. Tujuannya adalah untuk mendukung penilaian risiko kredit dan manajemen risiko LJK, serta menjaga kerahasiaan data debitur.

Sanksi Administratif yang Diperbarui:
POJK ini memperbarui ketentuan mengenai sanksi administratif yang dikenakan bagi LJK yang melanggar kewajiban pelaporan ke SLIK atau ketentuan penggunaan informasi SLIK. Sanksi dapat berupa denda progresif, penundaan pemberian informasi debitur dari SLIK, hingga pembatasan atau pencabutan izin usaha. Ini bertujuan untuk menegakkan disiplin dalam pelaporan dan pemanfaatan data.

Penguatan Aspek Teknologi dan Keamanan:
Meskipun tidak selalu detail dalam executive summary, perubahan ini secara implisit mendorong penguatan aspek teknologi dan keamanan SLIK untuk mengakomodasi volume data yang lebih besar dan kerahasiaan informasi yang sensitif.

Dampak dan Signifikansi POJK Perubahan Ini:
POJK Nomor 64/POJK.03/2020 ini memiliki dampak yang luas dan signifikan bagi ekosistem keuangan Indonesia:
Peningkatan Kualitas Kredit Industri: Dengan data debitur yang lebih komprehensif, LJK dapat mengurangi risiko kredit bermasalah, sehingga kualitas aset di seluruh industri jasa keuangan akan meningkat.
Pengambilan Keputusan Kredit yang Lebih Cepat dan Akurat: LJK dapat memproses aplikasi kredit/pembiayaan dengan lebih efisien karena tersedianya informasi yang relevan dan terintegrasi.
Mendorong Inklusi Keuangan yang Bertanggung Jawab: Informasi yang lengkap memungkinkan LJK untuk menjangkau segmen masyarakat yang lebih luas, termasuk UMKM, dengan penilaian risiko yang tepat.
Memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan: SLIK yang lebih komprehensif menjadi alat vital bagi OJK untuk memantau kesehatan makroekonomi dan mikroekonomi, mengidentifikasi risiko sistemik, dan menjaga stabilitas sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan OJK untuk membangun infrastruktur informasi keuangan yang tangguh dan modern di Indonesia, mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan sehat
SEOJK NOMOR 03/SEOJK.03/2021 TENTANG PELAPORAN DAN PERMINTAAN DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGANSEOJK Nomor 3/SEOJK.03/2021 ini merupakan petunjuk teknis yang komprehensif, diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui SLIK, sebagaimana telah diubah dengan POJK Nomor 64/POJK.03/2020 (selanjutnya disingkat POJK PPID SLIK dan POJK Perubahan POJK PPID SLIK). Dokumen ini bertujuan untuk memberikan panduan operasional yang sangat rinci bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan lembaga lain yang menjadi Pelapor SLIK, memastikan proses pelaporan dan permintaan informasi debitur berjalan secara efisien, akurat, dan sesuai standar.

Latar Belakang dan Tujuan Utama:

Implementasi POJK SLIK: SEOJK ini adalah kunci implementasi dari POJK PPID SLIK dan perubahannya. Tanpa petunjuk teknis ini, LJK akan kesulitan dalam memenuhi kewajiban pelaporan dan memanfaatkan SLIK secara optimal.
Standarisasi dan Keseragaman: Menyediakan standar dan prosedur yang seragam bagi semua Pelapor SLIK dalam menyiapkan dan menyampaikan data informasi debitur. Hal ini krusial untuk menjaga kualitas data SLIK dan memfasilitasi analisis yang akurat oleh OJK dan LJK.
Peningkatan Kualitas Data SLIK: Dengan panduan yang detail mengenai format, struktur, dan elemen data, SEOJK ini berupaya meminimalkan kesalahan pelaporan, sehingga informasi debitur di SLIK menjadi lebih lengkap dan akurat.
Optimalisasi Pemanfaatan Informasi Debitur: Merinci tata cara permintaan informasi debitur oleh Pelapor maupun debitur itu sendiri, memastikan akses yang mudah namun tetap menjaga kerahasiaan data sesuai ketentuan.
Dukungan Terhadap Manajemen Risiko dan Pengawasan: SLIK adalah instrumen vital untuk manajemen risiko kredit LJK dan pengawasan makroprudensial OJK. SEOJK ini memperkuat fungsi tersebut dengan memastikan kelancaran arus informasi.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Mekanisme Pelaporan Informasi Debitur:
Jenis Data yang Dilaporkan: Merinci secara granular elemen-elemen data yang wajib dilaporkan oleh LJK, meliputi identitas debitur (perorangan/badan usaha), informasi fasilitas kredit/pembiayaan (nominal, jangka waktu, jenis, status kolektibilitas), data agunan, dan histori pembayaran. Setiap elemen data dijelaskan definisi dan format pengisiannya.
Format dan Struktur Data: Menyediakan spesifikasi teknis mengenai format file (misalnya, XML atau text file dengan delimiter tertentu) dan struktur data yang harus digunakan saat mengirim laporan ke SLIK. Ini termasuk penggunaan kode-kode standar untuk berbagai kategori data.
Frekuensi dan Batas Waktu Pelaporan: Menetapkan jadwal pelaporan secara periodik (misalnya, bulanan) dengan batas waktu yang jelas, mendorong disiplin dalam penyampaian data.
Proses Validasi: Menjelaskan proses validasi data yang dilakukan oleh sistem SLIK dan kewajiban Pelapor untuk melakukan koreksi jika terdapat data yang tidak valid atau tidak akurat.

Mekanisme Permintaan Informasi Debitur:
Akses oleh Pelapor (LJK): Dijelaskan prosedur bagi LJK untuk mengajukan permintaan informasi debitur dari SLIK, termasuk persyaratan teknis dan administratif yang harus dipenuhi. Ini memungkinkan LJK untuk melakukan credit scoring dan penilaian risiko secara mendalam.
Akses oleh Debitur: Mengatur hak dan prosedur bagi debitur (perorangan atau badan usaha) untuk meminta informasi riwayat kreditnya sendiri dari SLIK. Hal ini penting untuk memastikan transparansi bagi debitur dan memungkinkan mereka untuk memverifikasi atau mengoreksi data mereka.
Tujuan Permintaan Informasi: Penegasan bahwa permintaan informasi debitur harus sesuai dengan tujuan yang diizinkan, seperti analisis kelayakan kredit, manajemen risiko, atau verifikasi data pribadi.

Pengelolaan Data dan Keamanan Informasi:
Kerahasiaan Data: Penekanan pada prinsip kerahasiaan informasi debitur. LJK dan OJK wajib menjaga kerahasiaan data dan hanya menggunakan informasi tersebut untuk tujuan yang sah.
Sistem dan Prosedur Keamanan: Meskipun tidak diuraikan secara eksplisit di SEOJK ini, secara implisit, Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur internal untuk menjaga keamanan data debitur sebelum, selama, dan setelah pelaporan ke SLIK.

Sanksi Administratif:
SEOJK ini merujuk pada sanksi yang diatur dalam POJK PPID SLIK dan perubahannya bagi LJK yang melanggar ketentuan pelaporan (misalnya, keterlambatan, ketidaklengkapan, atau ketidakakuratan data) atau penggunaan informasi.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
SEOJK Nomor 3/SEOJK.03/2021 ini adalah instrumen operasional yang sangat penting untuk:
Meningkatkan Kualitas Portofolio Kredit: Dengan data yang lebih akurat dan mudah diakses, LJK dapat menyaring calon debitur dengan lebih baik, sehingga mengurangi potensi kredit macet dan meningkatkan kesehatan portofolio kredit nasional.
Efisiensi Proses Bisnis: Proses penilaian kredit di LJK menjadi lebih cepat dan efisien dengan adanya SLIK yang terstandardisasi.
Penguatan Pengawasan OJK: OJK mendapatkan data yang lebih granular dan real-time, memungkinkannya untuk melakukan analisis risiko sistemik dan pengawasan mikro secara lebih efektif.
Perlindungan Konsumen: Hak debitur untuk mengakses dan mengoreksi data mereka di SLIK menjadi lebih jelas, meningkatkan transparansi dan keadilan.
Mendorong Inklusi Keuangan yang Bertanggung Jawab: Ketersediaan data yang komprehensif memungkinkan LJK untuk memperluas jangkauan layanan keuangan ke segmen masyarakat yang sebelumnya kurang terlayani, namun tetap dengan penilaian risiko yang prudent.
Secara keseluruhan, SEOJK ini merupakan fondasi operasional yang memastikan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) berfungsi secara optimal sebagai tulang punggung informasi perkreditan di Indonesia, mendukung pertumbuhan ekonomi yang sehat dan stabil
POJK NOMOR 11 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2017 TENTANG PELAPORAN DAN PERMINTAAN INFORMASI DEBITUR MELALUI SISTEM LAYANAN INFORMASI KEUANGANPOJK Nomor 11 Tahun 2024 ini merupakan perubahan kedua terhadap regulasi fundamental mengenai Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), yang sebelumnya diatur dalam POJK Nomor 18/POJK.03/2017 dan telah diubah pertama kali dengan POJK Nomor 64/POJK.03/2020. Penerbitan POJK ini didorong oleh kebutuhan untuk semakin memperkaya informasi debitur di SLIK dengan memasukkan data dari aktivitas penyediaan dana yang lebih luas, termasuk pertanggungan/pengelolaan risiko, penjaminan, dan layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (P2P Lending). Tujuannya adalah untuk menyediakan informasi debitur yang lebih komprehensif dan terkini, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional.

Latar Belakang dan Rasionalisasi Perubahan:

Penyediaan Informasi Debitur yang Lebih Komprehensif: Sektor jasa keuangan terus berkembang, dengan munculnya berbagai model bisnis penyediaan dana di luar perbankan tradisional. Untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai riwayat kredit seorang debitur, diperlukan informasi dari berbagai sumber tersebut. POJK ini bertujuan untuk memperluas cakupan data yang dilaporkan ke SLIK, mencakup entitas dari sektor asuransi, modal ventura, lembaga keuangan mikro, perusahaan pembiayaan, dan terutama, platform P2P Lending.
Penguatan Manajemen Risiko LJK: Dengan informasi yang lebih lengkap, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dapat melakukan analisis kelayakan kredit dan manajemen risiko dengan lebih akurat. Ini akan meminimalkan risiko kredit macet, meningkatkan kualitas aset LJK, dan pada akhirnya memperkuat kesehatan keuangan industri secara keseluruhan.
Dukungan Terhadap Pengawasan OJK: Data SLIK yang semakin komprehensif menjadi alat yang semakin vital bagi OJK untuk melakukan pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial. OJK dapat memantau konsentrasi risiko, mengidentifikasi potensi permasalahan sistemik, dan membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Adaptasi terhadap Perkembangan Teknologi dan Model Bisnis: Perubahan ini menunjukkan respons OJK terhadap dinamika pasar dan inovasi keuangan. Dengan memasukkan data dari P2P Lending, OJK memastikan SLIK tetap relevan sebagai sumber informasi utama dalam ekosistem keuangan yang berkembang pesat.

Poin-Poin Penting Perubahan yang Diatur dalam POJK Ini:
Perluasan Cakupan Informasi Debitur:
Tambahan Informasi Pendukung Aktivitas Penyediaan Dana: POJK ini secara eksplisit mengamanatkan penambahan jenis informasi pendukung aktivitas penyediaan dana. Ini meliputi data terkait:
Pertanggungan/Pengelolaan Risiko (Asuransi): Informasi mengenai pertanggungan atau pengelolaan risiko yang diberikan oleh sektor perasuransian terkait dengan fasilitas kredit/pembiayaan.
Penjaminan: Informasi mengenai penjaminan yang diberikan oleh entitas penjamin (misalnya, BUMN/BUMD penjamin atau lembaga penjaminan lainnya).
Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (P2P Lending): Ini merupakan poin krusial, dimana data peminjam dan penyaluran dana dari platform P2P Lending kini wajib dilaporkan ke SLIK.

Penyesuaian Pihak yang Wajib Menjadi Pelapor (Pelapor SLIK):
Sejalan dengan perluasan cakupan informasi, POJK ini kemungkinan memperbarui atau memperjelas daftar LJK dan lembaga lain yang wajib menjadi Pelapor SLIK. Ini termasuk entitas dari sektor perasuransian, modal ventura, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan, dan penyelenggara P2P Lending, yang sebelumnya mungkin belum sepenuhnya diwajibkan atau cakupannya kurang spesifik.

Penggunaan Informasi Debitur untuk Tujuan Baru (Contoh Ilustrasi):
Meskipun POJK sebelumnya sudah mengatur tujuan penggunaan informasi, POJK ini dapat memberikan contoh-contoh penggunaan yang lebih konkret dan spesifik, seperti:
Seleksi Calon Pegawai: Informasi debitur dapat digunakan untuk proses seleksi calon pegawai pelapor.
Seleksi Rekanan/Vendor: Informasi debitur dapat digunakan untuk menyeleksi rekanan, agen, merchant, atau vendor.
Cross-selling dan Whitelist/Blacklist: Penggunaan untuk daftar calon debitur (whitelist) atau daftar pihak yang tidak layak diberikan fasilitas (blacklist) dan aktivitas cross-selling internal pelapor, namun dengan batasan yang jelas.
Penekanan pada Tujuan Manajemen Risiko: Setiap penggunaan informasi debitur tetap harus sejalan dengan tujuan manajemen risiko atau tujuan lain yang sah dan diizinkan OJK.

Mekanisme dan Sanksi:
Pelaporan dan Permintaan: POJK ini memperkuat ketentuan mengenai mekanisme pelaporan (akurasi, kelengkapan, ketepatan waktu) dan permintaan informasi, yang akan diuraikan lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK pelaksana.
Sanksi Administratif: Ketentuan sanksi bagi LJK yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan atau penggunaan informasi SLIK akan tetap berlaku atau disesuaikan untuk memastikan kepatuhan.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 11 Tahun 2024 merupakan langkah maju yang signifikan dalam membangun ekosistem informasi perkreditan yang modern dan inklusif di Indonesia:
Gambaran Kredit Nasional yang Lebih Utuh: Dengan data dari berbagai jenis penyedia dana, SLIK akan memberikan pandangan yang jauh lebih komprehensif tentang total eksposur kredit seorang debitur, termasuk yang berasal dari P2P Lending.
Penurunan Risiko Kredit: LJK dapat membuat keputusan yang lebih prudent karena mereka memiliki akses ke riwayat kredit yang lebih lengkap, mengurangi tingkat kredit macet dan meningkatkan stabilitas keuangan.
Mendorong Inklusi Keuangan yang Bertanggung Jawab: POJK ini mendukung inovasi keuangan seperti P2P Lending, tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan ini diiringi oleh pengelolaan risiko yang memadai, sehingga inklusi keuangan dapat berjalan secara sehat dan berkelanjutan.
Alat Pengawasan Makro yang Lebih Canggih: OJK memiliki instrumen yang lebih kuat untuk memantau kesehatan sektor keuangan secara keseluruhan, mengidentifikasi bubble kredit, dan mengelola risiko sistemik.
Peningkatan Efisiensi Pasar: Calon peminjam dengan riwayat kredit yang baik dapat lebih mudah diidentifikasi dan dilayani oleh LJK, sementara risiko bagi LJK dapat diminimalkan.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah manifestasi dari adaptasi regulasi terhadap perkembangan inovasi finansial, memastikan bahwa pertumbuhan dan inklusi keuangan berjalan seiring dengan prinsip kehati-hatian dan stabilitas
POJK NOMOR 3/POJK.03/2022 TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Pentingnya Tingkat Kesehatan: Penilaian tingkat kesehatan BPR dan BPRS adalah indikator vital yang mencerminkan kinerja dan kondisi internal kedua jenis bank ini. Ini penting bagi pemilik, pengurus, dan pihak terkait lainnya untuk memahami posisi dan potensi risiko BPR/BPRS.
Sarana Pengawasan OJK: Bagi OJK, penilaian tingkat kesehatan adalah alat utama untuk merumuskan strategi dan fokus pengawasan. Dengan mengetahui tingkat kesehatan secara akurat, OJK dapat melakukan intervensi yang tepat waktu dan mengambil langkah-langkah korektif jika diperlukan.
Peningkatan Efektivitas Manajemen Risiko dan Tata Kelola: Regulasi sebelumnya mengenai penilaian tingkat kesehatan dinilai perlu disempurnakan untuk meningkatkan efektivitas penerapan manajemen risiko dan tata kelola di BPR dan BPRS. POJK ini berusaha untuk menyelaraskan penilaian dengan praktik terbaik dalam manajemen risiko.
Pencabutan Regulasi Lama: POJK ini secara eksplisit mencabut ketentuan lama yang sebelumnya digunakan (Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/12/KEP/DIR tahun 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat dan POJK Nomor 20/POJK.03/2019 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah), menunjukkan upaya OJK untuk konsolidasi dan modernisasi regulasi.
Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:

Metodologi Penilaian Komprehensif (RGEC):

POJK ini mengadopsi pendekatan penilaian berbasis risiko yang dikenal sebagai RGEC, yaitu:
Risiko (R): Penilaian terhadap profil risiko BPR/BPRS, mencakup risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, dan risiko pasar. OJK akan menilai kecukupan penerapan manajemen risiko dan dampak risiko terhadap permodalan.
Tata Kelola (G - Good Corporate Governance): Penilaian terhadap efektivitas penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, termasuk tanggung jawab direksi dan dewan komisaris, transparansi, akuntabilitas, independensi, dan kewajaran.
Rentabilitas (E - Earnings): Penilaian terhadap kemampuan BPR/BPRS dalam menghasilkan laba secara berkelanjutan, termasuk efisiensi operasional dan kualitas pendapatan.
Permodalan (C - Capital): Penilaian terhadap kecukupan modal BPR/BPRS untuk menopang risiko yang melekat pada kegiatan usahanya, sesuai dengan ketentuan modal minimum dan rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM).
Penetapan Peringkat Tingkat Kesehatan:

Berdasarkan hasil penilaian RGEC, OJK akan menetapkan peringkat tingkat kesehatan BPR/BPRS. Peringkat ini mencerminkan kondisi umum BPR/BPRS dari yang "sehat" hingga "tidak sehat" atau "sangat tidak sehat".
Kriteria untuk setiap peringkat dijelaskan secara detail, memberikan parameter yang jelas bagi BPR/BPRS.
Penggunaan Hasil Penilaian:

OJK: Hasil penilaian akan digunakan oleh OJK sebagai dasar untuk menentukan strategi dan fokus pengawasan (misalnya, pengawasan intensif untuk BPR/BPRS dengan peringkat rendah), serta untuk mengambil tindakan pengawasan yang diperlukan (misalnya, rekomendasi perbaikan, action plan, hingga sanksi).
BPR/BPRS: Hasil penilaian menjadi self-assessment bagi BPR/BPRS untuk mengidentifikasi area kelemahan dan merumuskan langkah-langkah perbaikan internal.
Tanggung Jawab Direksi dan Dewan Komisaris:

POJK ini menekankan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris BPR/BPRS untuk secara proaktif memantau dan meningkatkan tingkat kesehatan BPR/BPRS, serta memastikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Direksi diwajibkan untuk menyampaikan laporan penilaian tingkat kesehatan kepada OJK.
Ketentuan Transisi dan Pencabutan:

POJK ini mengatur periode transisi dan jadwal mulai berlakunya ketentuan tertentu, serta secara resmi mencabut peraturan-peraturan lama yang relevan.
Dampak dan Signifikansi POJK Ini:

POJK Nomor 3 Tahun 2022 memiliki dampak yang signifikan dalam memperkuat industri BPR dan BPRS di Indonesia:

Peningkatan Kualitas dan Stabilitas BPR/BPRS: Metode penilaian yang lebih komprehensif akan mendorong BPR/BPRS untuk mengelola risiko dengan lebih baik, meningkatkan tata kelola, dan menjaga permodalan yang kuat.
Pengawasan yang Lebih Efektif: OJK dapat melakukan pengawasan yang lebih terarah dan berbasis risiko, memungkinkan deteksi dini permasalahan dan respons yang cepat untuk menjaga stabilitas BPR/BPRS.
Transparansi dan Kepercayaan Publik: Meskipun hasil penilaian detail tidak sepenuhnya dipublikasikan, adanya standar penilaian yang jelas akan meningkatkan keyakinan pasar dan masyarakat terhadap kesehatan industri BPR/BPRS.
Harmonisasi Standar: POJK ini menyelaraskan standar penilaian BPR/BPRS dengan prinsip-prinsip yang umumnya berlaku di perbankan umum, mendorong praktik terbaik.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah bagian integral dari upaya OJK untuk menciptakan sektor perbankan mikro yang tangguh, efisien, dan berkelanjutan, yang mampu berkontribusi secara optimal terhadap perekonomian nasional
SEOJK NOMOR 11/SEOJK.03/2022 TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Penerapan POJK TKS BPR dan BPRS: SEOJK ini adalah kunci operasionalisasi dari POJK TKS BPR dan BPRS. Tanpa petunjuk detail ini, BPR dan BPRS akan kesulitan mengimplementasikan kerangka penilaian tingkat kesehatan yang diamanatkan POJK.
Standardisasi Penilaian: Tujuan utamanya adalah memastikan adanya standar dan metodologi penilaian yang seragam dan konsisten di seluruh BPR dan BPRS, baik untuk penilaian mandiri maupun penilaian oleh OJK. Ini penting untuk menghasilkan peringkat kesehatan yang objektif dan komparabel.
Peningkatan Kualitas Self-Assessment: Dengan panduan yang jelas, BPR dan BPRS diharapkan dapat melakukan self-assessment dengan lebih akurat dan objektif, sehingga mereka dapat mengidentifikasi kelemahan internal secara dini dan merumuskan rencana perbaikan yang tepat.
Dukungan Pengawasan Berbasis Risiko: Bagi OJK, SEOJK ini mempermudah proses pengawasan berbasis risiko. Dengan data penilaian yang terstandardisasi, OJK dapat lebih efisien dalam mengidentifikasi BPR/BPRS yang berisiko dan memfokuskan sumber daya pengawasan.
Mendorong Penerapan Manajemen Risiko dan Tata Kelola yang Lebih Baik: Rincian dalam SEOJK ini akan mendorong BPR dan BPRS untuk lebih serius dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko dan tata kelola yang baik, karena kedua aspek ini memiliki bobot signifikan dalam penilaian tingkat kesehatan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Metodologi Penilaian (RGEC) yang Diperinci:
SEOJK ini menjelaskan secara mendalam bagaimana setiap faktor dalam RGEC (Risiko, Tata Kelola, Rentabilitas, Permodalan) dinilai:

Profil Risiko (R):
Merinci jenis-jenis risiko utama yang harus dinilai (kredit, likuiditas, operasional, pasar, dan reputasi).
Menetapkan indikator-indikator kuantitatif dan kualitatif untuk setiap jenis risiko (misalnya, rasio NPL untuk risiko kredit, rasio likuiditas untuk risiko likuiditas).
Memberikan panduan mengenai bagaimana BPR/BPRS harus menilai kecukupan penerapan manajemen risiko untuk masing-masing risiko.

Tata Kelola (G - Good Corporate Governance):
Menyediakan kriteria dan indikator penilaian terhadap implementasi prinsip GCG, termasuk:
Transparansi (keterbukaan informasi).
Akuntabilitas (pertanggungjawaban pengurus).
Pertanggungjawaban (keselarasan dengan peraturan).
Independensi (kemandirian pengurus).
Kewajaran (perlindungan kepentingan seluruh pemangku kepentingan).
Meliputi penilaian terhadap komposisi dan kinerja Direksi, Dewan Komisaris, dan komite-komite pendukung.

Rentabilitas (E - Earnings):
Menjelaskan indikator-indikator keuangan yang digunakan untuk menilai kemampuan BPR/BPRS dalam menghasilkan keuntungan secara berkelanjutan, seperti:
Return on Asset (ROA).
Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
Net Interest Margin (NIM) atau Net Imbalan (NI) untuk BPRS.
Menetapkan ambang batas dan rentang rasio untuk setiap peringkat kesehatan.

Permodalan (C - Capital):
Merinci indikator-indikator kecukupan modal, termasuk:
Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
Rasio Modal Inti terhadap Aset Produktif Bermasalah Neto (MIAPB).
Menetapkan ambang batas minimum dan rentang rasio modal yang mengindikasikan tingkat kesehatan modal.

Pembobotan dan Penetapan Peringkat:
SEOJK ini secara spesifik menetapkan bobot relatif untuk setiap faktor RGEC dalam menentukan peringkat komposit tingkat kesehatan BPR/BPRS.
Menguraikan bagaimana hasil penilaian dari setiap faktor digabungkan untuk menghasilkan peringkat komposit (misalnya, Peringkat 1: Sangat Sehat, Peringkat 2: Sehat, dst.).

Mekanisme Pelaporan Hasil Penilaian:
BPR dan BPRS diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Penilaian Mandiri Tingkat Kesehatan secara periodik (misalnya, semesteran) kepada OJK.
Menyediakan format pelaporan baku yang harus diikuti oleh BPR dan BPRS (termasuk contoh tabel dan formulir).
Menekankan pentingnya akurasi dan ketepatan waktu dalam penyampaian laporan.

Tanggung Jawab Direksi dan Dewan Komisaris:
Meskipun sudah diatur di POJK, SEOJK ini mempertegas kembali peran dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris dalam memastikan kualitas self-assessment dan mengambil tindakan perbaikan berdasarkan hasil penilaian.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
SEOJK Nomor 11/SEOJK.03/2022 ini adalah dokumen operasional yang esensial untuk:
Konsistensi Penilaian: Memastikan bahwa semua BPR dan BPRS dinilai dengan standar yang sama, sehingga hasil penilaian menjadi lebih adil dan komparabel.
Peningkatan Kinerja Internal BPR/BPRS: Dengan panduan yang jelas, manajemen BPR/BPRS dapat lebih fokus pada perbaikan area-area yang lemah, meningkatkan kinerja dan ketahanan bank.
Efisiensi Pengawasan: OJK dapat mengandalkan data self-assessment yang lebih akurat dan terstandardisasi, mengoptimalkan proses pengawasan dan alokasi sumber daya.
Meningkatkan Kualitas Manajemen Risiko dan GCG: Karena rincian penilaian sangat menekankan kedua aspek ini, BPR/BPRS akan terdorong untuk mengimplementasikannya secara lebih serius dan efektif.
Dasar Pengambilan Kebijakan: Hasil penilaian tingkat kesehatan yang komprehensif menjadi dasar bagi OJK untuk merumuskan kebijakan yang relevan untuk pengembangan dan penguatan industri BPR/BPRS.
Secara keseluruhan, SEOJK ini merupakan instrumen penting yang mengkonkretkan kerangka regulasi OJK dalam menciptakan industri BPR dan BPRS yang sehat, transparan, dan mampu berkontribusi optimal pada perekonomian
POJK 19 TAHUN 2023 TENTANG PENGEMBANGAN KUALITAS SDM BPR & BPRSLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Peningkatan Daya Tahan dan Daya Saing Industri: Industri BPR dan BPRS memiliki peran strategis dalam mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta masyarakat di daerah. Untuk memastikan kontribusi optimal dan keberlanjutan industri ini, diperlukan SDM yang berkualitas tinggi yang mampu menghadapi dinamika pasar dan teknologi.
Adaptasi terhadap Perkembangan Bisnis dan Teknologi Digital: Lingkungan bisnis perbankan terus berubah dengan cepat, didorong oleh inovasi teknologi informasi. SDM BPR dan BPRS harus mampu mengantisipasi dan beradaptasi dengan tren ini agar tetap relevan dan kompetitif di era digital.
Pentingnya Integritas dan Profesionalisme: SDM yang berintegritas dan profesional adalah fondasi utama bagi tata kelola yang baik dan praktik perbankan yang sehat. POJK ini bertujuan untuk memperkuat aspek ini guna meminimalkan risiko dan melindungi kepentingan nasabah.
Amanat Undang-Undang: POJK ini merupakan turunan dari Pasal 252 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai pengembangan kualitas SDM di lembaga jasa keuangan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Peningkatan Integritas dan Kompetensi:
Program Pengembangan SDM: BPR dan BPRS diwajibkan untuk menyusun dan melaksanakan program pengembangan SDM secara berkelanjutan. Program ini harus mencakup aspek integritas, kompetensi teknis, dan keahlian manajerial.
Uji Kompetensi dan Sertifikasi: POJK ini menekankan pentingnya uji kompetensi dan sertifikasi bagi posisi-posisi kunci dalam BPR dan BPRS, terutama bagi Direksi dan Dewan Komisaris. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa para pengambil keputusan memiliki kualifikasi yang memadai.
Program Pendidikan dan Pelatihan: BPR dan BPRS didorong untuk berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan bagi karyawannya, baik internal maupun eksternal, untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang relevan.

Persyaratan Kompetensi Bagi Direksi dan Dewan Komisaris:
Sertifikasi Kompetensi Kerja: Direksi dan Dewan Komisaris diwajibkan untuk memiliki sertifikasi kompetensi kerja yang sesuai dengan jenjang dan bidangnya, yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sektor perbankan yang terakreditasi.
Jenjang Kompetensi: POJK ini kemungkinan membedakan jenjang sertifikasi berdasarkan ukuran aset BPR/BPRS atau kompleksitas bisnisnya (misalnya, tingkat 1, tingkat 2, dst.), dengan periode pemenuhan yang realistis.
Validasi dan Pemeliharaan Kompetensi: Sertifikasi ini tidak bersifat sekali jalan, melainkan harus divalidasi dan diperbarui secara berkala, mengindikasikan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan.

Mekanisme Pengawasan Kualitas SDM:
Pelaporan kepada OJK: BPR dan BPRS diwajibkan untuk melaporkan implementasi program pengembangan SDM, termasuk status sertifikasi kompetensi pengurus. Ini memungkinkan OJK untuk memantau kepatuhan.
Kewenangan OJK: OJK memiliki kewenangan untuk memantau, mengevaluasi, dan memberikan sanksi jika BPR/BPRS tidak memenuhi ketentuan pengembangan kualitas SDM.

Kebijakan dan Prosedur Internal:
BPR dan BPRS harus memiliki kebijakan dan prosedur internal yang jelas terkait pengelolaan SDM, termasuk rekrutmen, penempatan, pengembangan karier,
penilaian kinerja, dan pemberhentian, yang semuanya harus selaras dengan prinsip integritas dan kompetensi.

Dukungan Infrastruktur:
POJK ini secara implisit mendorong kolaborasi antara BPR/BPRS, asosiasi industri, dan LSP untuk menyediakan infrastruktur pendidikan dan pelatihan yang memadai.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 19 Tahun 2023 memiliki dampak yang sangat positif dan signifikan bagi industri BPR dan BPRS:
Peningkatan Kualitas Tata Kelola dan Manajemen Risiko: SDM yang kompeten dan berintegritas akan secara langsung berkontribusi pada praktik tata kelola yang lebih baik dan manajemen risiko yang lebih efektif.
Peningkatan Daya Saing dan Inovasi: SDM yang terampil dan adaptif akan mendorong BPR/BPRS untuk berinovasi dalam produk dan layanan, serta meningkatkan daya saing di tengah persaingan industri keuangan.
Perlindungan Konsumen: Kualitas SDM yang lebih tinggi akan meminimalkan risiko kesalahan operasional, penipuan, dan praktik tidak etis, sehingga meningkatkan perlindungan bagi nasabah.
Percepatan Transformasi Digital: SDM yang melek teknologi akan menjadi motor penggerak transformasi digital di BPR/BPRS, memungkinkan mereka untuk mengoptimalkan layanan dan menjangkau lebih banyak nasabah.
Penguatan Integritas Industri: Dengan penekanan pada integritas, POJK ini berkontribusi pada penciptaan industri BPR dan BPRS yang lebih bersih dan terpercaya.
Secara keseluruhan, POJK ini menegaskan komitmen OJK untuk membangun industri BPR dan BPRS yang tidak hanya sehat secara finansial, tetapi juga memiliki fondasi SDM yang kuat dan profesional, siap menghadapi tantangan masa depan dan memberikan kontribusi nyata bagi ekonomi masyarakat
POJK NOMOR 15/POJK.03/2021 TENTANG RENCANA BISNIS BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Pentingnya Rencana Bisnis: Rencana Bisnis adalah dokumen strategis yang memuat proyeksi dan target operasional, keuangan, serta arah pengembangan BPR/BPRS untuk periode tertentu. RB menjadi panduan bagi manajemen dalam menjalankan kegiatan usaha dan bagi OJK dalam melakukan pengawasan.
Adaptasi Terhadap Perkembangan Bisnis: Lingkungan bisnis BPR/BPRS terus berkembang, termasuk kompleksitas produk, layanan, dan tantangan yang dihadapi. Regulasi RB perlu disesuaikan agar mampu mengakomodasi dinamika ini dan mendukung BPR/BPRS dalam merespons perubahan secara strategis.
Peningkatan Efisiensi dan Penyederhanaan Pelaporan: OJK berupaya menyederhanakan proses pelaporan bagi BPR/BPRS tanpa mengurangi esensi pengawasan. POJK ini diharapkan dapat mengurangi beban administratif BPR/BPRS dan meningkatkan efisiensi operasional.
Dukungan Pengaturan Berbasis Prinsip: OJK terus mengembangkan kerangka regulasi yang lebih berbasis prinsip (principles-based) daripada yang terlalu rinci (rules-based). POJK ini mendukung arah tersebut dengan memberikan fleksibilitas kepada BPR/BPRS dalam menyusun RB, namun tetap dalam koridor prinsip kehati-hatian.
Penguatan Tata Kelola dan Manajemen Risiko: RB yang baik harus mencerminkan komitmen BPR/BPRS terhadap tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif. POJK ini mengintegrasikan aspek-aspek tersebut ke dalam persyaratan penyusunan RB.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Kewajiban Penyusunan dan Penyampaian Rencana Bisnis:
Setiap BPR dan BPRS wajib menyusun Rencana Bisnis untuk periode tertentu (umumnya 3 tahun) dan memperbarui setiap tahun.
RB wajib disampaikan kepada OJK sesuai jadwal yang ditentukan (misalnya, paling lambat 15 hari kerja sebelum awal periode rencana).

Cakupan dan Substansi Rencana Bisnis:
Komprehensif: RB harus mencakup seluruh aspek penting kegiatan usaha, antara lain:
Ringkasan Eksekutif: Gambaran umum rencana dan strategi utama.
Kondisi dan Prospek Ekonomi: Analisis terhadap lingkungan ekonomi makro dan mikro yang relevan.
Analisis Internal BPR/BPRS: Evaluasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) terhadap kondisi internal.
Strategi dan Target Bisnis: Target keuangan (misalnya, pertumbuhan aset, DPK, kredit, laba) dan non-keuangan, strategi pemasaran, pengembangan produk baru, dan perluasan jaringan.
Aspek Manajemen Risiko: Penjelasan mengenai bagaimana BPR/BPRS akan mengelola risiko-risiko utama (kredit, likuiditas, operasional, dll.) sejalan dengan rencana bisnis.
Aspek Tata Kelola: Komitmen terhadap penerapan GCG, termasuk struktur organisasi, kebijakan SDM, dan pengendalian internal.
Proyeksi Keuangan: Proyeksi laporan keuangan (Posisi Keuangan, Laba Rugi, Arus Kas) yang realistis dan konsisten dengan target bisnis.
Rencana Teknologi Informasi: Strategi pengembangan IT untuk mendukung operasional dan inovasi.
Rencana Permodalan: Proyeksi kecukupan modal untuk menopang pertumbuhan bisnis dan risiko.
Kualitas RB: RB harus disusun secara realistis, terukur, konsisten, dan komprehensif, mencerminkan kemampuan dan strategi BPR/BPRS.

Peran Direksi dan Dewan Komisaris:
Tanggung Jawab Bersama: POJK ini menekankan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris dalam menyusun dan menyetujui RB. Direksi bertanggung jawab atas penyusunan dan implementasi, sementara Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk memberikan persetujuan dan pengawasan.
Review dan Evaluasi: Dewan Komisaris harus melakukan review dan evaluasi terhadap RB yang disusun oleh Direksi.
Integritas Dokumen: Penandatanganan RB oleh Direksi dan Dewan Komisaris menunjukkan komitmen dan akuntabilitas mereka terhadap isi RB.

Persyaratan Tambahan (jika relevan):
POJK ini juga mengatur persyaratan tambahan bagi BPR/BPRS yang akan melakukan aksi korporasi tertentu, seperti pembukaan kantor cabang, perubahan kepemilikan, atau perubahan kegiatan usaha, yang harus diintegrasikan dalam RB.

Sanksi Administratif:
OJK dapat mengenakan sanksi administratif bagi BPR/BPRS yang tidak memenuhi kewajiban penyusunan dan penyampaian RB sesuai ketentuan. Sanksi dapat bervariasi mulai dari teguran tertulis, denda, hingga pembatasan kegiatan usaha.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 15/POJK.03/2021 ini memiliki dampak positif yang signifikan bagi industri BPR dan BPRS:
Peningkatan Perencanaan Strategis: Mendorong BPR/BPRS untuk memiliki perencanaan bisnis yang lebih matang, terarah, dan realistis, sehingga dapat menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dengan lebih baik.
Penguatan Pengawasan: Memudahkan OJK dalam melakukan pengawasan dengan memiliki peta jalan yang jelas dari setiap BPR/BPRS, memungkinkan OJK untuk membandingkan kinerja dengan rencana, serta mendeteksi penyimpangan lebih awal.
Peningkatan Kualitas Portofolio dan Manajemen Risiko: Dengan RB yang mengintegrasikan manajemen risiko, BPR/BPRS akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit/pembiayaan dan mengelola risiko operasional.
Efisiensi Operasional: Proses pelaporan yang lebih efisien akan mengurangi beban BPR/BPRS dan memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada inti bisnisnya.
Mendorong Pertumbuhan yang Berkelanjutan: RB yang terencana dengan baik akan mendukung pertumbuhan bisnis BPR/BPRS yang sehat dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah instrumen penting bagi OJK untuk membimbing dan mengawal industri BPR dan BPRS agar tumbuh menjadi lembaga keuangan mikro yang kuat, adaptif, dan berkontribusi optimal pada perekonomian daerah dan nasional
SEOJK NOMOR 28/SEOJK.03/2021 TENTANG RENCANA BISNIS BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Implementasi POJK Rencana Bisnis BPR dan BPRS: SEOJK ini adalah panduan operasional yang esensial untuk mengimplementasikan POJK Rencana Bisnis BPR dan BPRS. Tanpa petunjuk detail ini, BPR akan kesulitan dalam memenuhi kewajiban penyusunan dan pelaporan RB.
Standardisasi dan Konsistensi: Menyediakan standar dan prosedur yang seragam bagi seluruh BPR dalam menyusun dan menyampaikan RB. Ini penting untuk menjaga konsistensi data, memudahkan OJK dalam menganalisis dan membandingkan rencana bisnis antar-BPR.
Peningkatan Kualitas Rencana Bisnis: Dengan rincian format dan cakupan yang jelas, SEOJK ini mendorong BPR untuk menyusun RB yang lebih berkualitas, komprehensif, terukur, dan mempertimbangkan aspek risiko dan kondisi eksternal-internal secara mendalam.
Efisiensi Pelaporan: Menyederhanakan tata cara pelaporan RB dengan menetapkan format baku dan memastikan semua informasi yang relevan tersedia, sehingga mengurangi potensi kesalahan dan mempercepat proses review oleh OJK.
Dukungan Pengawasan Berbasis Risiko: RB yang berkualitas adalah alat penting bagi OJK untuk melakukan pengawasan berbasis risiko. SEOJK ini membantu OJK mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk memantau kinerja, mengidentifikasi penyimpangan, dan merumuskan strategi pengawasan yang tepat.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Cakupan Rencana Bisnis yang Diperinci:
SEOJK ini menguraikan secara granular setiap bab dan sub-bab yang harus ada dalam Rencana Bisnis BPR, antara lain:
Ringkasan Eksekutif: Memuat poin-poin penting dari RB.
Kondisi Lingkungan Eksternal dan Internal: Analisis komprehensif terhadap kondisi ekonomi makro, industri perbankan mikro, persaingan, serta analisis SWOT internal BPR.
Visi, Misi, dan Strategi: Penjabaran visi, misi, dan strategi bisnis BPR untuk periode rencana.

Rencana Kegiatan Usaha:
Target Keuangan: Proyeksi neraca, laba rugi, dan rasio keuangan penting (misalnya, pertumbuhan aset, Dana Pihak Ketiga (DPK), kredit, laba, rasio kesehatan).
Strategi Pemasaran: Rencana akuisisi nasabah, produk, dan penetrasi pasar.
Pengembangan Produk dan Layanan: Rencana inovasi atau modifikasi produk dan layanan yang akan ditawarkan.
Pengembangan Jaringan Kantor: Rencana pembukaan, penutupan, atau perubahan status kantor.
Rencana Teknologi Informasi: Strategi pengembangan sistem IT, digitalisasi layanan, dan keamanan siber.
Rencana Sumber Daya Manusia (SDM): Proyeksi kebutuhan SDM, program pengembangan kompetensi, dan struktur organisasi.
Aspek Manajemen Risiko: Penjelasan mengenai bagaimana BPR mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko-risiko utama (kredit, likuiditas, operasional, pasar) sesuai dengan rencana bisnis.
Aspek Tata Kelola: Penjelasan mengenai komitmen dan implementasi prinsip tata kelola yang baik (GCG).
Proyeksi Keuangan: Rincian proyeksi laporan keuangan tahunan untuk minimal 3 tahun ke depan, yang harus konsisten dengan target bisnis dan strategi yang ditetapkan.

Format Baku dan Tata Cara Pelaporan:
Struktur Dokumen: Memberikan struktur baku untuk setiap bab dan sub-bab dalam RB, termasuk instruksi pengisian dan contoh tabel atau narasi yang diperlukan.
Penyampaian Melalui Sistem Informasi OJK: Menjelaskan tata cara penyampaian RB secara elektronik melalui sistem informasi OJK, yang menegaskan komitmen terhadap digitalisasi pelaporan.
Ketepatan Waktu: Menentukan batas waktu penyampaian RB tahunan (misalnya, 15 hari kerja sebelum awal periode rencana) dan pelaporan perubahan RB (jika ada perubahan signifikan).

Laporan Realisasi Rencana Bisnis:
BPR juga diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara periodik.
Laporan ini harus membandingkan realisasi kinerja dengan target yang ditetapkan dalam RB, menjelaskan penyebab perbedaan (gap), dan menguraikan upaya tindak lanjut yang telah dan akan dilakukan.

Tanggung Jawab Pengurus:
SEOJK ini menegaskan kembali bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas penyusunan dan implementasi RB, sementara Dewan Komisaris bertanggung jawab atas persetujuan dan pengawasan. Penandatanganan RB oleh kedua organ ini menunjukkan komitmen dan akuntabilitas.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
SEOJK Nomor 28/SEOJK.03/2021 ini adalah instrumen operasional yang sangat penting untuk:
Peningkatan Kualitas Perencanaan BPR: Memaksa BPR untuk berpikir lebih strategis dan komprehensif dalam menyusun rencana jangka menengah dan panjang, sehingga lebih siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang.
Penguatan Manajemen Risiko: Dengan integrasi aspek manajemen risiko yang lebih detail dalam RB, BPR akan didorong untuk lebih proaktif dalam mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko.
Transparansi dan Akuntabilitas: RB yang jelas dan laporan realisasi yang transparan meningkatkan akuntabilitas manajemen BPR kepada pemilik dan OJK.
Efisiensi Pengawasan OJK: Dengan format laporan yang standar dan detail, OJK dapat melakukan analisis dan pengawasan dengan lebih efisien, mengidentifikasi BPR yang perlu perhatian lebih awal.
Mendorong Pertumbuhan Berkelanjutan: RB yang baik menjadi fondasi bagi pertumbuhan BPR yang sehat, berkelanjutan, dan adaptif terhadap perubahan lingkungan bisnis, khususnya di era digital.
Secara keseluruhan, SEOJK ini memastikan bahwa Rencana Bisnis tidak hanya menjadi sekadar formalitas, tetapi sebuah alat manajemen strategis yang efektif bagi BPR dan instrumen pengawasan yang powerful bagi OJK dalam mengembangkan industri perbankan mikro yang kuat dan resilien di Indonesia
POJK NOMOR 75/POJK.03/2016 TENTANG STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Perkembangan Teknologi Informasi: TI telah menjadi tulang punggung operasional perbankan. BPR dan BPRS, sebagai lembaga keuangan mikro, juga perlu mengadopsi TI untuk meningkatkan efisiensi, memperluas jangkauan layanan, dan memenuhi ekspektasi nasabah yang semakin terbiasa dengan layanan digital.
Peningkatan Efisiensi dan Kualitas Layanan: Dengan standar TI yang jelas, BPR dan BPRS dapat meningkatkan efisiensi operasional mereka (misalnya melalui otomatisasi proses) dan menyediakan layanan yang lebih baik serta beragam kepada nasabah.
Manajemen Risiko TI: Penerapan TI juga membawa risiko baru, seperti risiko siber, risiko operasional akibat kegagalan sistem, dan risiko data. POJK ini bertujuan untuk memastikan BPR dan BPRS memiliki kerangka manajemen risiko TI yang kuat untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko-risiko tersebut.
Tata Kelola TI: Penyelenggaraan TI yang efektif membutuhkan tata kelola yang baik. POJK ini menetapkan tanggung jawab dan kewenangan manajemen di berbagai tingkatan terkait TI.
Dukungan Pengawasan OJK: Dengan adanya standar ini, OJK memiliki acuan yang jelas dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan TI di BPR dan BPRS, memastikan kepatuhan dan keamanan sistem.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Tata Kelola Teknologi Informasi (TI):
Tanggung Jawab Direksi dan Dewan Komisaris: Direksi bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan TI, termasuk penetapan kebijakan dan prosedur, alokasi sumber daya, serta implementasi sistem pengendalian internal. Dewan Komisaris memiliki peran pengawasan atas kebijakan dan pelaksanaan TI.
Unit Kerja TI: BPR/BPRS diwajibkan memiliki unit kerja atau personel yang bertanggung jawab khusus terhadap pengelolaan TI, disesuaikan dengan skala dan kompleksitas kegiatan usaha.
Kebijakan dan Prosedur TI: BPR/BPRS harus memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang komprehensif terkait TI, meliputi perencanaan strategis TI, pengembangan dan pengadaan TI, operasional TI, dan pengamanan TI.

Manajemen Risiko TI:
Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko TI: BPR/BPRS wajib menerapkan proses manajemen risiko untuk risiko TI, termasuk risiko siber, risiko operasional terkait TI, dan risiko pihak ketiga (jika menggunakan vendor TI).
Mitigasi Risiko: Implementasi kontrol keamanan (fisik dan logis), backup data, disaster recovery plan (DRP), dan business continuity plan (BCP) yang terkait dengan TI.
Asesmen Risiko: BPR/BPRS harus secara berkala melakukan asesmen risiko TI untuk mengidentifikasi kerentanan dan ancaman baru.

Penggunaan Teknologi Informasi (TI):
Aplikasi Inti Perbankan (Core Banking System): Pengaturan mengenai penggunaan core banking system yang harus memenuhi standar keamanan, keandalan, dan skalabilitas.
Infrastruktur TI: Ketentuan mengenai kualitas dan keamanan infrastruktur hardware dan jaringan.
Data Center dan Pusat Data Cadangan: BPR/BPRS wajib memiliki fasilitas data center dan pusat data cadangan yang memadai untuk memastikan kelangsungan operasional.
Keamanan Informasi: Standar keamanan data, kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi.
Pengelolaan Data: Ketentuan mengenai kualitas data, penyimpanan, dan akses data.

Pihak Ketiga Penyedia Jasa TI:
Kewajiban Due Diligence: BPR/BPRS yang menggunakan jasa pihak ketiga untuk penyelenggaraan TI wajib melakukan due diligence yang memadai terhadap calon penyedia jasa.
Perjanjian Kerja Sama: Harus ada perjanjian tertulis yang jelas dengan pihak ketiga, yang mencakup aspek layanan, tingkat layanan (SLA), keamanan, dan penanganan risiko.
Pengawasan Pihak Ketiga: BPR/BPRS tetap bertanggung jawab penuh atas layanan yang diberikan oleh pihak ketiga dan harus melakukan pengawasan yang berkelanjutan.

Pelaporan dan Audit TI:
Laporan Kondisi Terkini Penyelenggaraan TI: BPR/BPRS diwajibkan untuk melaporkan kondisi terkini penyelenggaraan TI mereka kepada OJK secara periodik atau jika ada perubahan mendasar.
Audit TI Internal/Eksternal: Pelaksanaan audit TI secara berkala untuk mengevaluasi efektivitas kontrol TI dan kepatuhan terhadap kebijakan.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 75/POJK.03/2016 ini memiliki dampak yang luas dan penting bagi industri BPR dan BPRS:
Peningkatan Efisiensi dan Daya Saing: Dengan standar TI yang lebih baik, BPR/BPRS dapat mengoptimalkan operasional dan meningkatkan kualitas layanan, yang pada akhirnya meningkatkan daya saing mereka.
Penguatan Keamanan dan Resiliensi Siber: Regulasi ini mendorong BPR/BPRS untuk memiliki pertahanan yang lebih baik terhadap ancaman siber, melindungi data nasabah, dan memastikan kelangsungan bisnis.
Peningkatan Kepercayaan Masyarakat: Pengelolaan TI yang transparan dan aman akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR/BPRS.
Dasar untuk Inovasi Digital: Dengan fondasi TI yang kuat, BPR/BPRS akan lebih siap untuk mengadopsi inovasi digital di masa depan, seperti layanan perbankan digital atau kemitraan fintech.
Pengawasan OJK yang Lebih Terarah: OJK memiliki pedoman yang jelas untuk menilai dan mengawasi kapabilitas TI di BPR/BPRS, memungkinkan intervensi yang tepat waktu jika ditemukan kelemahan.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah langkah proaktif OJK untuk memastikan bahwa BPR dan BPRS, sebagai pilar penting dalam keuangan inklusif, tidak hanya berdaya saing secara finansial tetapi juga tangguh dan aman dalam menghadapi tantangan era digital
SEOJK NOMOR 15/SEOJK.03/2017 TENTANG STANDAR PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI BAGI BPR DAN BPRSLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Detail Implementasi POJK SPTI: SEOJK ini adalah kunci operasionalisasi dari POJK SPTI. Tanpa petunjuk detail ini, BPR dan BPRS akan kesulitan mengimplementasikan kerangka kerja TI yang diamanatkan POJK.
Standardisasi Praktik TI: Tujuan utamanya adalah memastikan adanya standar dan praktik penyelenggaraan TI yang seragam dan konsisten di seluruh BPR dan BPRS. Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan TI yang aman, andal, dan efisien di sektor perbankan mikro.
Peningkatan Efisiensi Operasional dan Layanan: Dengan panduan yang jelas, BPR dan BPRS diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan TI untuk meningkatkan efisiensi operasional, mempercepat proses bisnis, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah.
Penguatan Manajemen Risiko TI: Regulasi ini secara eksplisit merinci elemen-elemen manajemen risiko TI yang harus diterapkan, termasuk penanganan risiko siber, kegagalan sistem, dan risiko data. Ini krusial untuk melindungi BPR/BPRS dari potensi kerugian.
Dukungan Pengawasan OJK: Bagi OJK, SEOJK ini mempermudah proses pengawasan terhadap aspek TI di BPR/BPRS. Dengan standar yang terperinci, OJK dapat mengevaluasi kepatuhan, mengidentifikasi kelemahan, dan memberikan rekomendasi perbaikan yang tepat.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Tata Kelola TI yang Diperinci:
Peran dan Tanggung Jawab: Menjelaskan secara rinci peran Direksi, Dewan Komisaris, dan unit/pejabat TI dalam perencanaan, pengembangan, pengadaan, operasional, dan pengamanan TI. Ini mencakup pembentukan komite TI (jika diperlukan) dan alur pelaporan.
Kebijakan dan Prosedur TI: Memberikan contoh kerangka kebijakan dan prosedur yang wajib dimiliki BPR/BPRS, meliputi:
Kebijakan Strategi TI: Integrasi TI dengan rencana bisnis BPR/BPRS.
Kebijakan Pengembangan dan Pengadaan TI: Proses pemilihan sistem, pengujian, dan implementasi.
Kebijakan Operasional TI: Pengelolaan data center, jaringan, server, helpdesk, dan manajemen insiden.
Kebijakan Pengamanan TI: Pengendalian akses (fisik dan logis), enkripsi, manajemen patch, dan penanganan malware.

Manajemen Risiko TI yang Komprehensif:
Identifikasi Risiko: Panduan untuk mengidentifikasi berbagai jenis risiko TI, termasuk risiko siber, risiko operasional (kegagalan sistem, human error), risiko pihak ketiga, dan risiko kepatuhan.
Penilaian Risiko: Metodologi untuk mengukur dampak dan kemungkinan terjadinya risiko, serta klasifikasi tingkat risiko.
Mitigasi Risiko: Strategi mitigasi yang spesifik, seperti implementasi kontrol keamanan, backup data secara berkala, pengujian penetration testing, dan penggunaan firewall atau antivirus.
Manajemen Insiden Keamanan TI: Prosedur penanganan insiden keamanan TI, mulai dari deteksi, respons, hingga pemulihan.
Rencana Keberlangsungan Usaha (BCP) dan Pemulihan Bencana (DRP) terkait TI: Detail mengenai penyusunan, pengujian, dan pembaruan BCP/DRP untuk memastikan kelangsungan operasional kritis dalam menghadapi bencana atau kegagalan sistem.

Pengelolaan Data dan Informasi:
Integritas, Kerahasiaan, dan Ketersediaan Data: Langkah-langkah untuk memastikan data akurat, tidak diakses pihak tidak berwenang, dan selalu tersedia saat dibutuhkan.
Klasifikasi Data: Panduan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan tingkat sensitivitasnya dan menerapkan kontrol keamanan yang sesuai.
Penyimpanan dan Penghapusan Data: Ketentuan mengenai tempat penyimpanan data (on-premise atau cloud), retensi data, dan prosedur penghapusan data yang aman.

Penggunaan Pihak Ketiga dalam Penyelenggaraan TI:
Proses Seleksi dan Due Diligence: Pedoman dalam memilih penyedia jasa TI eksternal, termasuk penilaian reputasi, kapabilitas, dan keamanan.
Perjanjian Kerja Sama (PKS): Poin-poin penting yang harus ada dalam PKS dengan pihak ketiga, seperti Service Level Agreement (SLA), tanggung jawab, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Pengawasan Berkelanjutan: Kewajiban BPR/BPRS untuk tetap mengawasi kinerja dan kepatuhan penyedia jasa TI.

Pelaporan dan Dokumentasi:
Laporan Kondisi Terkini Penyelenggaraan TI: Menjelaskan format dan isi laporan yang harus disampaikan kepada OJK, mencakup informasi mengenai struktur organisasi TI, kebijakan, infrastruktur, aplikasi, dan hasil asesmen risiko TI.
Dokumentasi TI: Kewajiban untuk mendokumentasikan seluruh kebijakan, prosedur, konfigurasi sistem, dan insiden TI.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
SEOJK ini adalah dokumen implementasi yang sangat penting untuk:
Meningkatkan Kematangan TI BPR/BPRS: Memberikan roadmap yang jelas bagi BPR dan BPRS untuk membangun dan mengelola infrastruktur TI yang lebih tangguh dan aman.
Memitigasi Risiko Siber dan Operasional: Dengan panduan yang detail, BPR/BPRS diharapkan dapat mengurangi risiko kebocoran data, serangan siber, dan gangguan operasional akibat masalah TI.
Mendukung Transformasi Digital: Membangun fondasi TI yang kuat adalah prasyarat bagi BPR/BPRS untuk mengadopsi inovasi digital dan bersaing di era digital.
Mengoptimalkan Investasi TI: Dengan perencanaan dan tata kelola yang baik, BPR/BPRS dapat memastikan bahwa investasi mereka dalam TI memberikan nilai tambah maksimal.
Penyelarasan dengan Standar Internasional: Meskipun disesuaikan untuk skala BPR/BPRS, prinsip-prinsip yang diatur dalam SEOJK ini sejalan dengan praktik terbaik dalam pengelolaan keamanan informasi dan risiko TI.
Secara keseluruhan, SEOJK ini memastikan bahwa BPR dan BPRS tidak hanya fokus pada aspek keuangan, tetapi juga memiliki kapabilitas TI yang andal dan aman, yang sangat penting untuk keberlanjutan dan pertumbuhan mereka di tengah lanskap digital yang terus berubah
POJK NOMOR 9 TAHUN 2023 tentang PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DLM KEGIATAN JASA KEUANGANLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Pentingnya Informasi Keuangan Berkualitas: Laporan keuangan yang diaudit oleh AP/KAP independen adalah sumber informasi krusial bagi investor, regulator, dan masyarakat untuk menilai kondisi keuangan dan kinerja suatu entitas. Kualitas laporan keuangan yang tinggi sangat vital untuk menjaga kepercayaan publik dan stabilitas sektor keuangan.
Penguatan Independensi dan Integritas AP/KAP: Independensi AP/KAP adalah pondasi utama dalam menjamin objektivitas dan kredibilitas hasil audit. Regulasi ini diperbarui untuk memperkuat aspek independensi dan integritas, serta memastikan AP/KAP bebas dari konflik kepentingan.
Adaptasi terhadap Perkembangan Standar dan Kode Etik Profesi: Profesi akuntan publik terus mengalami perkembangan, baik dari sisi standar auditing (Standar Profesional Akuntan Publik/SPAP) maupun kode etik profesi. POJK ini menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut untuk menjaga relevansi regulasi.
Optimalisasi Pengawasan OJK: Dengan semakin kompleksnya aktivitas entitas jasa keuangan, OJK memerlukan kerangka regulasi yang lebih efektif untuk mengawasi kualitas jasa audit dan kepatuhan AP/KAP yang berpraktik di sektor jasa keuangan.
Penyederhanaan Administrasi: OJK juga berupaya menyederhanakan pengelolaan administrasi AP/KAP yang terdaftar di OJK melalui koordinasi dengan pihak lain (misalnya, Kementerian Keuangan), untuk meningkatkan efisiensi.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Persyaratan Pendaftaran dan Perizinan AP/KAP:
Wajib Terdaftar di OJK: Setiap AP dan KAP yang akan memberikan jasa audit atau jasa atestasi lainnya kepada pihak yang diatur dan diawasi OJK wajib terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK.
Persyaratan Kompetensi dan Pengalaman: Menetapkan kualifikasi, pengalaman, dan kompetensi yang harus dimiliki oleh AP dan KAP, termasuk persyaratan pendidikan berkelanjutan.
Aspek Integritas: Penekanan pada integritas dan rekam jejak yang bersih sebagai syarat pendaftaran.

Pembatasan Jasa Audit dan Masa Penugasan:
Rotasi Audit: Menetapkan batasan masa penugasan (rotasi) bagi AP dan KAP pada klien yang sama untuk menjaga independensi dan menghindari hubungan yang terlalu dekat. Misalnya, pembatasan jumlah tahun berturut-turut seorang AP atau KAP dapat mengaudit entitas tertentu.
Jasa Non-Audit: Mengatur jenis jasa non-audit yang dilarang atau dibatasi untuk diberikan oleh AP/KAP yang juga mengaudit laporan keuangan klien yang sama, guna mencegah konflik kepentingan.

Tanggung Jawab Pihak Pengguna Jasa AP/KAP:
Penunjukan AP/KAP: Pihak yang diatur dan diawasi OJK (misalnya, Bank, Perusahaan Asuransi, Sekuritas) wajib menunjuk AP/KAP yang terdaftar dan memenuhi kualifikasi di OJK.
Tanggung Jawab Direksi dan Dewan Komisaris: Direksi bertanggung jawab atas kualitas laporan keuangan, sementara Dewan Komisaris (khususnya Komite Audit) bertanggung jawab atas proses penunjukan, pengawasan, dan evaluasi kinerja AP/KAP.
Komunikasi dengan AP/KAP: Pihak pengguna jasa wajib menjalin komunikasi yang efektif dengan AP/KAP dan menyediakan akses informasi yang memadai.

Standar dan Kualitas Audit:
Kepatuhan SPAP: AP/KAP wajib melaksanakan jasa audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku dan kode etik profesi.
Pengendalian Mutu: KAP diwajibkan memiliki sistem pengendalian mutu yang efektif untuk memastikan kualitas jasa audit.
Laporan Audit: Menentukan format dan isi laporan audit yang harus memenuhi standar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pelaporan dan Sanksi:
Pelaporan kepada OJK: AP/KAP wajib melaporkan kepada OJK jika menemukan indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan, kecurangan, atau hal-hal lain yang dapat membahayakan kondisi keuangan klien.
Sanksi Administratif: OJK berwenang mengenakan sanksi administratif (mulai dari teguran, denda, pembekuan pendaftaran, hingga pencabutan pendaftaran) kepada AP dan/atau KAP yang melanggar ketentuan POJK ini. Sanksi juga dapat dikenakan kepada pihak yang menggunakan jasa AP/KAP yang tidak patuh.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK ini memiliki dampak yang sangat positif dan signifikan bagi ekosistem jasa keuangan di Indonesia:
Peningkatan Kredibilitas Laporan Keuangan: Dengan standar yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik, laporan keuangan yang diaudit di sektor jasa keuangan akan memiliki kredibilitas yang lebih tinggi.
Penguatan Independensi Profesi AP/KAP: Rotasi dan pembatasan jasa non-audit membantu menjaga independensi AP/KAP dari tekanan klien, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas audit.
Perlindungan Investor dan Masyarakat: Informasi keuangan yang andal dan transparan akan membantu investor membuat keputusan yang lebih tepat dan melindungi kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan.
Efektivitas Pengawasan OJK: OJK dapat melakukan pengawasan yang lebih efektif terhadap entitas yang diawasinya dengan memastikan bahwa data dan informasi yang diterima telah diaudit dengan standar yang tinggi.
Peningkatan Tata Kelola Perusahaan: Regulasi ini mendorong penerapan tata kelola yang lebih baik pada entitas jasa keuangan, terutama dalam hubungan mereka dengan auditor eksternal.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah instrumen kunci bagi OJK untuk menciptakan lingkungan jasa keuangan yang sehat, transparan, dan terpercaya melalui penguatan peran dan kualitas Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagai garda terdepan dalam menjaga integritas informasi keuangan
SEOJK NOMOR 18/SEOJK.03/2023 tentang TATA CARA PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KAPSEOJK Nomor 18/SEOJK.03/2023 ini adalah petunjuk pelaksanaan yang sangat rinci dan komprehensif, diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk mengimplementasikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam Kegiatan Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK AP dan KAP). Dokumen ini secara spesifik mengatur mengenai tata cara pendaftaran, penunjukan, pelaksanaan jasa, serta pelaporan dan pengawasan terkait penggunaan jasa Akuntan Publik (AP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP) oleh berbagai pihak yang diatur dan diawasi OJK di sektor jasa keuangan. Tujuannya adalah untuk memastikan praktik audit yang berkualitas, independen, dan berintegritas tinggi, serta mendukung transparansi dan akuntabilitas informasi keuangan di sektor jasa keuangan.

Latar Belakang dan Tujuan Utama:
Implementasi POJK AP dan KAP: SEOJK ini adalah panduan operasional yang esensial untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam POJK AP dan KAP, yang mengatur penggunaan jasa auditor eksternal. Tanpa petunjuk teknis ini, pihak-pihak terkait akan kesulitan dalam memenuhi kewajiban regulasi.
Standardisasi dan Konsistensi Prosedur: Menyediakan standar dan prosedur yang seragam bagi semua pihak yang diatur OJK dalam proses penunjukan dan penggunaan jasa AP/KAP, serta bagi AP/KAP itu sendiri dalam berinteraksi dengan OJK. Ini penting untuk menjaga konsistensi dan kepatuhan.
Peningkatan Kualitas Audit: Dengan merinci persyaratan pendaftaran, tata cara penunjukan, dan kewajiban pelaporan, SEOJK ini mendorong peningkatan kualitas jasa audit yang diberikan oleh AP/KAP, yang pada gilirannya meningkatkan keandalan laporan keuangan.
Penguatan Independensi AP/KAP: Memberikan panduan lebih lanjut mengenai penerapan batasan masa penugasan dan larangan pemberian jasa non-audit untuk memitigasi risiko konflik kepentingan dan menjaga independensi auditor.
Efisiensi Pengawasan OJK: Dengan format pelaporan yang terstruktur dan rincian yang jelas, SEOJK ini mempermudah OJK dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja AP/KAP dan kepatuhan pihak-pihak yang diawasinya terkait penggunaan jasa audit.
Memperjelas Kewajiban Pelaporan Insidental: Merinci jenis-jenis temuan dan kondisi yang mewajibkan AP/KAP untuk melaporkan secara insidental kepada OJK, yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini bagi regulator.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Tata Cara Pendaftaran AP dan KAP di OJK:
Prosedur Pendaftaran: Merinci dokumen persyaratan, alur pengajuan permohonan pendaftaran atau perubahan data AP/KAP kepada OJK, termasuk batas waktu dan mekanisme pengiriman.
Perpanjangan dan Pembatalan Pendaftaran: Mengatur prosedur untuk perpanjangan masa berlaku pendaftaran serta kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan pembatalan pendaftaran oleh OJK (misalnya, pelanggaran serius, tidak memenuhi persyaratan berkelanjutan).

Tata Cara Penunjukan dan Penggunaan Jasa AP/KAP oleh Pihak yang Diawasi OJK:
Proses Penunjukan: Panduan bagi entitas jasa keuangan (misalnya bank, perusahaan asuransi, manajer investasi) dalam memilih dan menunjuk AP/KAP, termasuk pertimbangan rotasi dan keahlian yang relevan.
Perjanjian Penugasan Audit: Rincian mengenai isi minimal perjanjian kerja sama (engagement letter) antara klien dan AP/KAP, memastikan ruang lingkup, tanggung jawab, dan biaya disepakati dengan jelas.
Peran Komite Audit: Mengatur lebih lanjut peran Komite Audit dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja AP/KAP yang ditunjuk.

Standar Pelaksanaan Jasa dan Pengendalian Mutu:
Kepatuhan Terhadap SPAP dan Kode Etik: Penegasan bahwa AP/KAP harus selalu mematuhi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Sistem Pengendalian Mutu KAP: Penekanan pada kewajiban KAP untuk memiliki dan mengimplementasikan sistem pengendalian mutu yang efektif untuk seluruh penugasan audit.
Dokumentasi Audit: Standar minimal untuk dokumentasi audit yang harus disimpan oleh AP/KAP.

Pelaporan AP dan KAP kepada OJK:
Laporan Periodik: Merinci jenis laporan yang harus disampaikan AP/KAP secara berkala kepada OJK (misalnya, laporan data akuntan publik dan kantor akuntan publik, laporan rekapitulasi penugasan audit).
Laporan Insidental: Ini adalah salah satu fitur penting SEOJK ini. Merinci secara spesifik kejadian atau temuan yang wajib dilaporkan oleh AP/KAP secara insidental kepada OJK, seperti:
Indikasi kecurangan yang material.
Indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan oleh klien.
Kondisi keuangan klien yang memburuk secara signifikan.
Perubahan material dalam manajemen atau pengendalian internal klien.
Indikasi praktik manajemen risiko yang lemah.
Pelaporan insidental ini menjadi mekanisme early warning system bagi OJK.

Pelaporan Pihak yang Menggunakan Jasa AP/KAP kepada OJK:
Laporan Penunjukan dan Perubahan AP/KAP: Mengatur tata cara dan format pelaporan penunjukan, penggantian, atau pengakhiran AP/KAP oleh pihak yang diawasi OJK.
Laporan Realisasi Audit: Kewajiban menyampaikan laporan realisasi audit atau laporan hasil penugasan lainnya.

Sanksi Administratif:
Mengatur jenis sanksi administratif yang dapat dikenakan oleh OJK kepada AP, KAP, atau pihak yang menggunakan jasa AP/KAP jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam SEOJK ini. Sanksi dapat berupa teguran, denda, pembekuan, atau pencabutan pendaftaran/izin.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
SEOJK ini memainkan peran krusial dalam:
Meningkatkan Kualitas Informasi Keuangan: Dengan panduan yang detail dan pengawasan yang lebih ketat, kualitas laporan keuangan yang diaudit di sektor jasa keuangan akan meningkat, sehingga lebih dapat diandalkan oleh pasar.
Memperkuat Peran Penjaga Gerbang (Gatekeeper) AP/KAP: AP/KAP diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai penjaga gerbang secara lebih efektif dalam memastikan kepatuhan dan tata kelola yang baik di entitas jasa keuangan.
Meningkatkan Kepercayaan Publik: Informasi keuangan yang berkualitas dan transparan akan meningkatkan kepercayaan investor dan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan Indonesia.
Efisiensi Pengawasan: Format pelaporan yang terstandardisasi dan mekanisme pelaporan insidental yang jelas akan mengoptimalkan efektivitas pengawasan OJK, memungkinkan respons yang cepat terhadap potensi masalah.
Mendorong Praktik Tata Kelola yang Baik: Mendorong entitas jasa keuangan untuk memiliki proses yang robust dalam menunjuk dan mengelola hubungan dengan auditor eksternal.
Secara keseluruhan, SEOJK ini adalah upaya OJK untuk menciptakan ekosistem audit yang lebih kuat dan akuntabel di sektor jasa keuangan, yang pada gilirannya mendukung stabilitas dan pertumbuhan industri secara keseluruhan
POJK NOMOR 41/POJK.03/2017 tentang PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANKLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:

Mandat Pengawasan OJK: Sebagai otoritas pengawas sektor jasa keuangan, OJK memiliki mandat untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank guna memastikan kepatuhan dan kondisi kesehatan bank. Regulasi ini menjadi landasan hukum dan operasional bagi pelaksanaan mandat tersebut.
Perlindungan Kepentingan Masyarakat: Bank adalah lembaga kepercayaan yang mengelola dana masyarakat. Pemeriksaan yang efektif diperlukan untuk memastikan bank melindungi kepentingan nasabah, menghindari praktik-praktik yang merugikan, dan menjaga dana masyarakat.
Pemeliharaan Sistem Perbankan yang Sehat: Pemeriksaan bank berfungsi sebagai alat diagnostik untuk mengidentifikasi potensi risiko, kelemahan operasional, atau pelanggaran yang dapat mengancam kesehatan bank dan stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan.
Peningkatan Tata Kelola dan Manajemen Risiko: Melalui pemeriksaan, OJK dapat menilai efektivitas penerapan tata kelola dan manajemen risiko oleh bank. Temuan pemeriksaan menjadi masukan bagi bank untuk memperbaiki sistem dan proses mereka.
Pergeseran Fungsi Pengawasan: POJK ini juga menyesuaikan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan sektor perbankan dari Bank Indonesia ke OJK, sehingga diperlukan pengaturan baru yang relevan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Tujuan dan Jenis Pemeriksaan:
Tujuan: Untuk menilai tingkat kepatuhan bank terhadap ketentuan perundang-undangan, efektivitas penerapan manajemen risiko, tata kelola, dan kondisi keuangan bank secara keseluruhan.
Jenis Pemeriksaan:
Pemeriksaan Umum: Dilakukan secara berkala dan menyeluruh terhadap seluruh aspek kegiatan usaha bank.
Pemeriksaan Khusus: Dilakukan untuk tujuan tertentu (misalnya, menindaklanjuti informasi adanya indikasi pelanggaran, menilai aspek tertentu secara mendalam, atau sebagai tindak lanjut pemeriksaan umum).

Ruang Lingkup Pemeriksaan:
Mencakup seluruh kegiatan usaha bank, baik yang dilakukan di kantor pusat, kantor cabang, anak perusahaan, maupun kegiatan melalui pihak ketiga yang terkait.
Meliputi penilaian terhadap aspek permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar (CAMELS), serta aspek tata kelola dan manajemen risiko.

Proses dan Tahapan Pemeriksaan:
Perencanaan: OJK menyusun rencana pemeriksaan berdasarkan hasil pengawasan off-site, analisis risiko, dan informasi lain yang relevan.
Persiapan Pemeriksaan: Pembentukan tim pemeriksa, penyusunan program pemeriksaan, dan pemberitahuan kepada bank yang akan diperiksa.
Pelaksanaan Pemeriksaan:
Akses Informasi: Bank wajib memberikan akses penuh kepada pemeriksa terhadap seluruh data, dokumen, sistem informasi, dan fasilitas yang dibutuhkan.
Kewenangan Pemeriksa: Pemeriksa memiliki kewenangan untuk meminta keterangan, memverifikasi data, melakukan konfirmasi, dan mengambil salinan dokumen.
Prinsip Profesionalisme: Pemeriksa wajib menjalankan tugas secara profesional, independen, dan menjaga kerahasiaan informasi bank.
Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP): Tim pemeriksa menyusun LHP yang memuat temuan, simpulan, dan rekomendasi perbaikan. LHP disampaikan kepada bank untuk tanggapan.
Tindak Lanjut Pemeriksaan: Bank wajib menindaklanjuti temuan dan rekomendasi dalam LHP dengan menyusun rencana tindak lanjut dan melaporkan progresnya kepada OJK. OJK akan memantau pelaksanaan tindak lanjut tersebut.

Hak dan Kewajiban Bank yang Diperiksa:
Hak: Bank berhak untuk mendapatkan pemberitahuan pemeriksaan, memberikan tanggapan atas LHP, dan meminta klarifikasi.
Kewajiban: Memberikan akses, menyediakan data yang akurat dan lengkap, serta menindaklanjuti rekomendasi pemeriksaan.

Pengenaan Sanksi:
POJK ini mengatur mengenai sanksi administratif (mulai dari teguran tertulis, denda, hingga pembekuan kegiatan usaha tertentu) bagi bank yang tidak mematuhi ketentuan terkait pemeriksaan atau tidak menindaklanjuti rekomendasi.
Sanksi juga dapat dikenakan jika bank menghambat pelaksanaan pemeriksaan.

Koordinasi dengan Pihak Lain:
OJK dapat berkoordinasi atau bekerja sama dengan otoritas lain (misalnya lembaga penegak hukum, otoritas pengawas di negara lain) dalam pelaksanaan pemeriksaan, dengan tetap memperhatikan asas kerahasiaan.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
POJK Nomor 41/POJK.03/2017 ini memiliki dampak yang fundamental dalam menjaga kesehatan dan stabilitas sektor perbankan di Indonesia:
Peningkatan Disiplin dan Kepatuhan Bank: Bank termotivasi untuk senantiasa patuh pada regulasi dan standar operasional yang berlaku, karena adanya ancaman pemeriksaan dan sanksi.
Identifikasi Dini Risiko: Pemeriksaan yang sistematis memungkinkan OJK untuk mengidentifikasi risiko dan kelemahan pada bank sejak dini, sehingga tindakan korektif dapat diambil sebelum masalah memburuk.
Perlindungan Nasabah yang Lebih Baik: Dengan memastikan bank beroperasi sesuai prinsip kehati-hatian, POJK ini secara tidak langsung melindungi dana dan kepentingan nasabah.
Penguatan Tata Kelola Perusahaan: Proses pemeriksaan mendorong bank untuk terus meningkatkan kualitas tata kelola dan manajemen risiko mereka.
Dukungan Stabilitas Sistem Keuangan: Kesehatan masing-masing bank akan berkontribusi pada stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang merupakan tujuan utama OJK.
Secara keseluruhan, POJK ini adalah instrumen pengawasan yang vital bagi OJK untuk menjalankan fungsinya sebagai pengawas bank, memastikan industri perbankan yang sehat, tangguh, dan dapat dipercaya oleh masyarakat
POJK NOMOR 45/POJK.03/2017 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT/PEMBIAYAAN BANK BAGI DAERAH TERTENTU YG KENA BENCANA ALAMLatar Belakang dan Rasionalisasi Regulasi:
Dampak Bencana Alam Terhadap Perekonomian: Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana alam. Bencana alam seringkali menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan, mengganggu aktivitas bisnis, dan memengaruhi kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau pembiayaan.
Kebutuhan Relaksasi Kebijakan: Dalam situasi bencana, debitur yang terdampak memerlukan kelonggaran dalam pembayaran pinjaman agar mereka dapat fokus pada pemulihan. Bank juga membutuhkan fleksibilitas regulasi untuk menghindari pemburukan kualitas aset secara otomatis akibat kondisi darurat, yang dapat memicu masalah sistemik.
Dukungan Pemulihan Ekonomi Daerah: Pemberian perlakuan khusus ini adalah bagian dari upaya pemerintah dan OJK untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi di daerah yang terkena bencana, menjaga kelangsungan usaha, dan mengurangi potensi lonjakan kredit bermasalah.
Penyesuaian Kewenangan OJK: POJK ini juga merupakan penyesuaian seiring dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam POJK Ini:
Cakupan Bank dan Debitur:
Bank: Berlaku untuk semua jenis bank di Indonesia: Bank Umum, Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Debitur Terdampak: Perlakuan khusus diberikan kepada debitur yang lokasi usahanya dan/atau tempat tinggalnya berada di daerah yang ditetapkan sebagai lokasi bencana alam oleh pemerintah, dan kegiatan usahanya atau kemampuannya membayar terdampak langsung oleh bencana.

Jenis Credit/Pembiayaan yang Mendapatkan Perlakuan Khusus:
Kredit/Pembiayaan yang Diberikan Sebelum Bencana: Terutama untuk kredit atau pembiayaan yang diberikan sebelum tanggal penetapan status bencana alam.
Kredit/Pembiayaan Baru (Opsional): OJK dapat menentukan bahwa perlakuan khusus juga diberikan kepada kredit atau pembiayaan baru yang diberikan setelah bencana, untuk mendukung pembiayaan rekonstruksi atau pemulihan.

Bentuk Perlakuan Khusus:
Penetapan Kualitas Kredit/Pembiayaan: Bank dapat menetapkan kualitas kredit/pembiayaan hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga, tanpa memperhatikan kondisi keuangan debitur atau prospek usaha. Ini berbeda dari penilaian kualitas aset normal yang mempertimbangkan berbagai faktor.
Restrukturisasi Kredit/Pembiayaan: Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan, yaitu perubahan persyaratan kredit/pembiayaan, seperti:
Penurunan suku bunga kredit/margin pembiayaan.
Perpanjangan jangka waktu kredit/pembiayaan.
Pengurangan tunggakan pokok.
Pengurangan tunggakan bunga/bagi hasil.
Penambahan fasilitas kredit/pembiayaan.
Konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.
Penetapan Kualitas Aset Hasil Restrukturisasi: Kualitas kredit/pembiayaan yang telah direstrukturisasi dapat ditetapkan dengan tetap Golongan Lancar selama periode waktu tertentu, bahkan jika berdasarkan kriteria normal seharusnya masuk kategori macet. Hal ini memberikan ruang bagi bank untuk tidak segera membentuk pencadangan kerugian yang besar.
Pengecualian Pembentukan Cadangan (PPAP): Bank mungkin diberikan kelonggaran terkait pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) untuk kredit/pembiayaan yang mendapatkan perlakuan khusus ini, untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada permodalan bank.

Mekanisme Penerapan:
Penetapan Daerah Bencana: Perlakuan khusus ini berlaku setelah adanya penetapan status bencana alam oleh pemerintah (pusat atau daerah) atau penetapan OJK sendiri atas suatu daerah sebagai daerah yang terkena bencana.
Jangka Waktu Perlakuan Khusus: OJK akan menetapkan jangka waktu berlakunya perlakuan khusus ini, yang biasanya disesuaikan dengan tingkat keparahan dan durasi dampak bencana.
Pelaporan kepada OJK: Bank wajib melaporkan kepada OJK mengenai kredit/pembiayaan yang mendapatkan perlakuan khusus dan status pemulihannya.

Tanggung Jawab Bank:
Meskipun ada perlakuan khusus, bank tetap wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang prudent dalam pengelolaan kredit/pembiayaan yang terdampak bencana.
Bank harus melakukan identifikasi debitur yang benar-benar terdampak dan memastikan bahwa perlakuan khusus diberikan secara tepat sasaran.

Dampak dan Signifikansi POJK Ini:
Dukungan Langsung bagi Debitur Terdampak: Meringankan beban keuangan debitur yang menghadapi kesulitan akibat bencana, memungkinkan mereka untuk fokus pada pemulihan kehidupan dan usaha.
Menjaga Stabilitas Sektor Perbankan: Mencegah penurunan kualitas aset bank secara masif akibat bencana, yang dapat memicu masalah likuiditas dan permodalan, sehingga menjaga stabilitas industri perbankan.
Mempercepat Pemulihan Ekonomi Lokal: Membantu memulihkan aktivitas ekonomi di daerah terdampak dengan menjaga kelangsungan usaha dan akses terhadap pembiayaan.
Fleksibilitas Pengawasan: Memberikan OJK instrumen yang responsif untuk menghadapi situasi darurat tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian jangka panjang.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 45/POJK.03/2017 ini menunjukkan peran proaktif OJK dalam mitigasi dampak bencana alam terhadap sektor keuangan, dengan menyeimbangkan prinsip kehati-hatian bank dengan kebutuhan mendesak untuk mendukung pemulihan ekonomi masyarakat dan daerah yang terdampak
SEOJK. NOMOR 32/SEOJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN PROGRAM APU PPTLatar Belakang dan Tujuan Utama:

Mendukung Kebijakan Nasional dan Internasional: Indonesia berkomitmen dalam memerangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, sejalan dengan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) dan peraturan perundang-undangan nasional (UU TPPU, UU TPPT). SEOJK ini membantu bank memenuhi komitmen tersebut.
Mitigasi Risiko Reputasi, Hukum, dan Operasional: Kejahatan keuangan dapat menimbulkan risiko reputasi, hukum, dan operasional yang serius bagi bank. Penerapan program APU dan PPT yang kuat akan memitigasi risiko-risiko ini, termasuk denda dan sanksi dari regulator.
Melindungi Integritas Sistem Keuangan: Dengan mencegah penggunaan bank sebagai saluran untuk aktivitas ilegal, SEOJK ini berkontribusi pada terjaganya integritas dan kredibilitas sistem keuangan Indonesia.
Panduan Operasional yang Detil: Memberikan petunjuk yang jelas dan terperinci kepada bank mengenai tata cara identifikasi, analisis, dan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, serta langkah-langkah Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD) yang efektif.
Standardisasi Penerapan Program: Memastikan bahwa semua bank menerapkan program APU dan PPT dengan standar yang konsisten, sehingga tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Prinsip Dasar Penerapan Program APU dan PPT:
Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach): Bank wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme yang mereka hadapi. Penanganan risiko harus proporsional dengan tingkat risiko yang teridentifikasi. Ini berarti bank dapat menerapkan CDD yang lebih sederhana atau EDD yang lebih ketat tergantung pada profil risiko nasabah dan transaksi.
Kewajiban Identifikasi, Verifikasi, dan Pemantauan: Bank wajib melakukan CDD (termasuk identifikasi identitas nasabah, Beneficial Owner, dan tujuan hubungan bisnis) dan EDD (untuk nasabah berisiko tinggi), serta memantau transaksi secara berkelanjutan.

Komponen Program APU dan PPT: SEOJK ini merinci 5 (lima) pilar utama program APU dan PPT yang harus diterapkan oleh bank:
Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris: Direksi dan Dewan Komisaris memiliki tanggung jawab tertinggi dalam memastikan efektivitas program APU dan PPT. Mereka harus menyetujui kebijakan dan prosedur, serta mengawasi pelaksanaannya.
Kebijakan dan Prosedur: Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang mencakup CDD, EDD, pemantauan transaksi, pelaporan, pengelolaan data, dan sanksi internal.
Pengendalian Intern: Membangun sistem pengendalian intern yang memadai untuk memastikan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur APU dan PPT.
Sistem Informasi Manajemen: Memiliki sistem informasi yang mampu mendukung identifikasi, pemantauan, dan pelaporan transaksi mencurigakan secara efektif.
Sumber Daya Manusia dan Pelatihan: Memastikan seluruh pegawai yang terlibat dalam aktivitas operasional memahami kebijakan dan prosedur APU dan PPT melalui pelatihan yang berkelanjutan.

Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD):
Prosedur CDD: Merinci langkah-langkah untuk mendapatkan informasi nasabah, verifikasi identitas, identifikasi Beneficial Owner, dan memahami tujuan serta sifat hubungan bisnis.
Prosedur EDD: Menjelaskan kapan EDD harus diterapkan (misalnya, untuk Politically Exposed Persons (PEP), nasabah dari negara berisiko tinggi, atau transaksi yang kompleks dan tidak biasa) dan langkah-langkah tambahan yang harus dilakukan.
Perlakuan CDD Sederhana: Mengatur kondisi di mana CDD sederhana dapat diterapkan (misalnya, untuk nasabah berisiko rendah), namun tetap mensyaratkan pemantauan yang berkelanjutan.

Pelaporan Transaksi:
Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM): Memberikan contoh dan indikator transaksi yang patut dicurigai sebagai TKM dan wajib dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Transaksi Tunai: Mengatur kewajiban pelaporan transaksi tunai yang melebihi batas ambang tertentu kepada PPATK.
Larangan Transaksi dan Pemblokiran: Merinci prosedur pemblokiran dana terkait pendanaan terorisme dan daftar terduga teroris.
Pengelolaan Data dan Informasi: Bank wajib menyimpan data dan dokumen terkait APU dan PPT dalam jangka waktu yang ditetapkan.

Sanksi Administratif: OJK dapat mengenakan sanksi administratif (mulai dari teguran tertulis, denda, hingga pembekuan/pencabutan izin usaha) kepada bank yang melanggar ketentuan dalam SEOJK ini.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
Peningkatan Kualitas Pencegahan Kejahatan Keuangan: Memberikan standar operasional yang jelas bagi bank, sehingga meningkatkan efektivitas mereka dalam mendeteksi dan mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Harmonisasi Regulasi: Menyelaraskan praktik APU dan PPT di sektor perbankan dengan standar internasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perlindungan Reputasi dan Kepercayaan: Membantu bank menjaga reputasi mereka sebagai institusi yang bertanggung jawab dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan.
Dukungan Terhadap Penegakan Hukum: Laporan transaksi mencurigakan yang akurat dan tepat waktu menjadi informasi krusial bagi aparat penegak hukum dalam mengungkap dan menindak kejahatan keuangan.
Penerapan Prinsip Kehati-hatian: Mengintegrasikan aspek APU dan PPT sebagai bagian integral dari kerangka manajemen risiko bank.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 32/SEOJK.03/2017 ini adalah instrumen penting yang mendukung OJK dalam menjaga integritas, stabilitas, dan keamanan sistem perbankan Indonesia dari ancaman kejahatan keuangan global
SEOJK. NOMOR 38/SEOJK.01/2017 TENTANG PEDOMAN PEMBLOKIRAN SECARA SERTA MERTA ATAS NAMA NASABAH DI SEKTOR JASA KEUANGAN YANG IDENTITASNYA TERCANTUM DALAM DTTOTLatar Belakang dan Urgensi Regulasi:

Ancaman Pendanaan Terorisme: Pendanaan terorisme merupakan ancaman serius terhadap keamanan nasional dan stabilitas global. Dana-dana ini dapat digunakan untuk mendukung aktivitas teroris, mulai dari rekrutmen hingga operasi serangan.
Kewajiban Internasional dan Nasional: Sebagai anggota komunitas internasional, Indonesia memiliki kewajiban untuk mencegah dan memberantas pendanaan terorisme. Undang-Undang TPPT mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk melakukan pemblokiran serta merta.
Mempercepat Respons Terhadap Ancaman: Pemblokiran secara serta merta sangat krusial untuk segera menghentikan aliran dana kepada teroris atau organisasi teroris, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk beroperasi.
Melindungi Integritas Sistem Keuangan: Regulasi ini memastikan bahwa sistem keuangan Indonesia tidak disalahgunakan sebagai sarana untuk mendanai kegiatan terorisme, sehingga menjaga kredibilitas dan stabilitas sektor jasa keuangan.
Panduan Teknis bagi PJK: Memberikan petunjuk yang jelas dan terperinci bagi PJK dalam melaksanakan pemblokiran, pelaporan, dan tindakan lainnya yang diperlukan, mengingat sensitivitas dan urgensi masalah ini.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Cakupan dan Pihak yang Terlibat:
Penyedia Jasa Keuangan (PJK): Meliputi seluruh lembaga yang menyediakan jasa keuangan di Indonesia, termasuk bank, perusahaan asuransi, perusahaan efek, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan lainnya yang diawasi OJK.
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT): Merujuk pada daftar yang dikeluarkan oleh instansi berwenang (misalnya, OJK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), atau lembaga internasional yang diakui). PJK wajib proaktif melakukan pemblokiran jika identitas nasabah cocok dengan DTTOT.

Mekanisme Pemblokiran Secara Serta Merta:
Definisi Pemblokiran Serta Merta: Tindakan pemblokiran aset keuangan nasabah yang identitasnya tercantum dalam DTTOT, yang dilakukan tanpa penundaan (segera setelah PJK mengetahui kecocokan identitas).
Jenis Dana yang Diblokir: Meliputi seluruh dana dan aset keuangan lainnya, baik yang dimiliki maupun dikuasai, secara langsung atau tidak langsung, oleh nasabah yang terdaftar dalam DTTOT. Ini termasuk rekening simpanan, investasi, dana pada produk asuransi, dll.
Kewajiban PJK: PJK harus segera mengidentifikasi nasabah yang identitasnya cocok dengan DTTOT dan melakukan pemblokiran tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah yang bersangkutan.

Pelaporan kepada Pihak Berwenang:
Laporan kepada OJK: PJK wajib segera melaporkan tindakan pemblokiran yang telah dilakukan kepada OJK.
Laporan kepada PPATK: PJK juga wajib menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) terkait pendanaan terorisme kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah mengetahui adanya transaksi mencurigakan tersebut, sesuai dengan UU TPPT.
Koordinasi dengan Instansi Terkait: SEOJK ini menekankan pentingnya koordinasi antara PJK, OJK, PPATK, Densus 88/POLRI, dan Kementerian Hukum dan HAM untuk memastikan pelaksanaan pemblokiran dan penanganan tindak lanjut berjalan efektif.

Prosedur dan Administrasi:
Penetapan Kebijakan Internal: PJK harus memiliki kebijakan dan prosedur internal yang jelas mengenai pemblokiran serta merta, termasuk penunjukan pihak yang bertanggung jawab, alur komunikasi, dan penyimpanan catatan.
Pembaruan DTTOT: PJK harus secara berkala memperbarui DTTOT yang mereka gunakan untuk memastikan daftar tersebut selalu yang terbaru.
Perlindungan Data: Meskipun ada kewajiban pemblokiran, PJK tetap harus memperhatikan perlindungan data nasabah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perlakuan Terhadap Dana yang Diblokir:
Dana yang diblokir tetap menjadi hak nasabah (pemilik dana) dan tetap mendapatkan hak-hak yang melekat padanya (misalnya, bunga atau bagi hasil), namun akses terhadap dana tersebut dibatasi sepenuhnya.
PJK tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang mengurangi nilai dana yang diblokir, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang atau perintah pengadilan.

Sanksi:
PJK yang tidak mematuhi ketentuan dalam SEOJK ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
Peningkatan Efektivitas Pemberantasan Pendanaan Terorisme: Memperkuat kapasitas PJK untuk menjadi garda terdepan dalam mendeteksi dan menghentikan aliran dana teroris.
Perlindungan Sistem Keuangan: Menjaga kepercayaan publik terhadap sistem keuangan Indonesia dan mencegah penyalahgunaannya untuk kejahatan serius.
Kepatuhan terhadap Standar Global: Membantu Indonesia memenuhi rekomendasi FATF, yang penting untuk menjaga reputasi negara di mata internasional.
Kejelasan Prosedur: Memberikan kepastian hukum dan operasional bagi PJK dalam menghadapi situasi yang sangat sensitif dan berisiko tinggi.
Meningkatkan Kolaborasi Antar Lembaga: Mendorong sinergi antara OJK, PPATK, dan aparat penegak hukum dalam upaya bersama melawan terorisme.
Secara keseluruhan, SEOJK Nomor 38/SEOJK.01/2017 adalah regulasi krusial yang menegaskan komitmen Indonesia dalam memerangi pendanaan terorisme dan memperkuat mekanisme pertahanan sektor jasa keuangan dari ancaman ini, melalui implementasi langkah-langkah pemblokiran yang tegas dan cepat
SEOJK. NOMOR 31/SEOJK.01/2019 TENTANG PEMBLOKIRAN SECARA SERTA MERTA REKENING NASABAH PROLIFERASILatar Belakang dan Urgensi Regulasi:

Ancaman Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (WMD): Pendanaan proliferasi WMD merupakan ancaman global yang sangat serius, karena dapat mendukung pengembangan, produksi, dan penyebaran senjata nuklir, kimia, dan biologi, yang berpotensi menimbulkan kehancuran massal.
Kewajiban Internasional dan Nasional: Indonesia, sebagai anggota PBB dan komunitas internasional, terikat pada resolusi Dewan Keamanan PBB dan rekomendasi FATF yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mengambil tindakan tegas, termasuk pembekuan aset, terhadap individu atau entitas yang terlibat dalam pendanaan proliferasi.
Mencegah Penyalahgunaan Sistem Keuangan: Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa sistem jasa keuangan Indonesia tidak disalahgunakan sebagai jalur atau sumber dana untuk aktivitas pendanaan proliferasi WMD.
Mempercepat Respons: Pemblokiran secara serta merta adalah mekanisme krusial untuk segera menghentikan aliran dana kepada individu atau entitas yang terindikasi mendanai proliferasi WMD, sehingga memitigasi risiko keamanan.
Panduan Teknis bagi PJK: Memberikan petunjuk yang jelas dan terperinci bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dalam melaksanakan kewajiban pemblokiran, pelaporan, dan tindakan lainnya, mengingat kompleksitas dan sensitivitas isu ini.

Poin-Poin Penting yang Diatur dalam SEOJK Ini:
Cakupan dan Pihak yang Terlibat:
Penyedia Jasa Keuangan (PJK): Mencakup seluruh lembaga yang menyediakan jasa keuangan di Indonesia dan berada di bawah pengawasan OJK, termasuk bank umum, bank syariah, BPR, perusahaan efek, asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan lainnya.
Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (DPPSPM): Merujuk pada daftar yang dikeluarkan oleh instansi berwenang, baik nasional (misalnya, Kementerian Luar Negeri) maupun internasional (misalnya, Dewan Keamanan PBB), yang memuat identitas individu atau entitas yang terlibat dalam pendanaan proliferasi WMD. PJK wajib secara proaktif memeriksa dan memblokir dana nasabah yang identitasnya cocok dengan DPPSPM.

Mekanisme Pemblokiran Secara Serta Merta:
Definisi: Tindakan pemblokiran aset keuangan nasabah yang identitasnya tercantum dalam DPPSPM, yang dilakukan tanpa penundaan dan tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada nasabah yang bersangkutan.
Objek Pemblokiran: Meliputi seluruh dana, aset keuangan, dan aset lain yang dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh individu atau entitas yang terdaftar dalam DPPSPM. Ini mencakup rekening, investasi, produk asuransi, dan bentuk aset lainnya.
Kewajiban PJK: PJK harus segera melakukan identifikasi dan pemblokiran setelah mendapatkan informasi atau perintah resmi mengenai kecocokan identitas nasabah dengan DPPSPM.

Pelaporan dan Koordinasi:
Pelaporan Kepada OJK: PJK wajib segera melaporkan setiap tindakan pemblokiran yang telah dilakukan kepada OJK.
Laporan Kepada PPATK: PJK juga wajib melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan terkait pendanaan proliferasi WMD kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Koordinasi Antar Lembaga: Pentingnya koordinasi dan pertukaran informasi antara PJK, OJK, PPATK, dan instansi terkait lainnya (misalnya, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan aparat penegak hukum) untuk efektivitas implementasi kebijakan ini.

Prosedur dan Administrasi:
Kebijakan Internal: PJK harus memiliki kebijakan dan prosedur internal yang memadai untuk implementasi pemblokiran serta merta, termasuk penunjukan personel yang bertanggung jawab, alur komunikasi, dan sistem pencatatan yang akurat.
Pembaruan Daftar: PJK wajib secara rutin memperbarui DPPSPM yang digunakan sebagai referensi untuk memastikan keakuratan informasi.
Manajemen Risiko: PJK harus mengintegrasikan pedoman ini ke dalam kerangka manajemen risiko APU dan PPT mereka, termasuk dalam proses Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD).

Perlakuan Terhadap Dana yang Diblokir:
Dana yang diblokir tetap menjadi hak pemilik dana, namun akses terhadap dana tersebut dibatasi sepenuhnya.
PJK harus memastikan bahwa dana yang diblokir tidak dipergunakan atau dialihkan oleh individu atau entitas yang terkena pembekuan.
Hak-hak yang melekat pada dana (misalnya, bunga atau bagi hasil) tetap diberikan, namun juga termasuk dalam cakupan pemblokiran.

Sanksi:
PJK yang tidak mematuhi ketentuan dalam SEOJK ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sanksi administratif dari OJK.

Dampak dan Signifikansi SEOJK Ini:
Penguatan Rezim Anti-Proliferasi: Mengukuhkan posisi Indonesia dalam upaya global memerangi pendanaan proliferasi WMD.
Peningkatan Keamanan Nasional: Mencegah potensi ancaman terhadap keamanan nasional yang berasal dari aktivitas pendanaan WMD.
Kredibilitas Sektor Jasa Keuangan: Meningkatkan reputasi dan integritas sektor jasa keuangan Indonesia di mata komunitas internasional, meminimalkan risiko menjadi target penyalahgunaan.
Penyelarasan dengan Standar Internasional: Membantu Indonesia memenuhi kewajiban FATF dan rekomendasi PBB, yang krusial untuk menjaga hubungan baik dalam sistem keuangan global.
Panduan Praktis: Memberikan kerangka kerja yang jelas dan terukur bagi PJK untuk menjalankan kewajiban mereka dalam menghadapi risiko pendanaan proliferasi.
Secara ringkas, SEOJK Nomor 31/SEOJK.01/2019 ini adalah langkah proaktif OJK untuk memastikan sektor jasa keuangan Indonesia berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, sejalan dengan komitmen nasional dan global, serta untuk menjaga stabilitas dan integritas sistem keuangan
POJK NOMOR 8 TAHUN 2023 TENTANG PENERAPAN PROGRAM APU, PPT DAN PPPSPM DI SEKTOR JASA KEUANGANLatar Belakang dan Tujuan Utama Regulasi:

Penguatan Integritas Sektor Jasa Keuangan: Kejahatan keuangan seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, dan proliferasi senjata pemusnah massal dapat merusak integritas dan stabilitas sistem keuangan. Regulasi ini bertujuan untuk memitigasi risiko tersebut dan memastikan sektor jasa keuangan tidak disalahgunakan untuk tujuan ilegal.
Pemenuhan Standar Internasional (FATF Recommendations): Indonesia, sebagai anggota FATF, memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan rekomendasi FATF. POJK ini mengintegrasikan pembaruan dan penekanan FATF, termasuk pendekatan berbasis risiko yang lebih kuat, pengawasan terhadap aset virtual, dan penanganan isu pendanaan proliferasi.
Penyelarasan dengan Peraturan Perundang-undangan Nasional: POJK ini menyesuaikan diri dengan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan APU, PPT, dan PPPSPM, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Meningkatkan Efektivitas Pengawasan: Dengan memperbarui kerangka kerja APU, PPT, dan PPPSPM, OJK bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dalam mengidentifikasi, menilai, dan memitigasi risiko kejahatan keuangan.
Perlindungan Konsumen dan Kepercayaan Publik: Penerapan program APU, PPT, dan PPPSPM yang kuat juga berfungsi untuk melindungi kepentingan nasabah dari risiko penyalahgunaan dana dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.

Poin-Poin Penting dan Pembaharuan dalam POJK Ini:
Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach - RBA):
Penekanan Lebih Kuat: POJK ini menekankan pendekatan berbasis risiko sebagai fondasi utama dalam penerapan APU, PPT, dan PPPSPM. PJK diwajibkan untuk mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi yang mungkin dihadapi, dan kemudian menerapkan langkah-langkah mitigasi yang proporsional dengan tingkat risiko tersebut.
Penilaian Risiko PJK: PJK harus melakukan penilaian risiko secara komprehensif, mencakup risiko yang berasal dari nasabah, area geografis, produk/jasa/layanan, dan metode transaksi. Hasil penilaian risiko ini menjadi dasar dalam penentuan tingkat Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD) yang diterapkan.

Cakupan Pihak dan Kegiatan yang Lebih Luas:
Penyedia Jasa Keuangan (PJK): POJK ini berlaku untuk seluruh PJK yang diawasi OJK, termasuk bank, perusahaan efek, asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan entitas lain yang menyediakan jasa keuangan.
Penambahan Cakupan: Terdapat penambahan cakupan bagi PJK tertentu (misalnya, penyedia layanan aset virtual) yang kini diwajibkan untuk menerapkan program APU, PPT, dan PPPSPM, sejalan dengan perkembangan ekonomi digital dan standar FATF.

Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence (EDD):
Prosedur CDD dan EDD: PJK wajib menerapkan prosedur CDD untuk mengidentifikasi dan memverifikasi identitas nasabah, serta memahami tujuan hubungan bisnis. Untuk nasabah dengan risiko tinggi, PJK wajib menerapkan EDD yang lebih ketat, termasuk memperoleh informasi tambahan mengenai sumber dana dan kekayaan nasabah.
Beneficial Ownership (BO): Penekanan kuat pada identifikasi dan verifikasi Beneficial Ownership (pemilik manfaat) yang sebenarnya di balik suatu entitas atau transaksi.

Pelaporan Transaksi:
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM): PJK wajib melaporkan setiap transaksi yang patut diduga sebagai tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT): Kewajiban pelaporan transaksi tunai dalam jumlah tertentu.
Pelaporan Proliferasi WMD: PJK wajib melaporkan pembekuan dana terkait pendanaan proliferasi WMD.

Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPPSPM):
Integrasi Penuh: POJK ini secara eksplisit mengintegrasikan PPPSPM sebagai bagian integral dari program APU dan PPT, menegaskan bahwa PJK wajib memblokir dana secara serta merta jika identitas nasabah tercantum dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (DPPSPM) yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.
Mekanisme Pemblokiran Serta Merta: Diatur secara rinci tata cara pemblokiran serta merta dan pelaporan terkait DPPSPM.

Pengawasan Berbasis Risiko:
Pengawasan OJK: OJK akan melakukan pengawasan berbasis risiko terhadap PJK untuk memastikan kepatuhan terhadap POJK ini. Pengawasan ini akan meliputi evaluasi kebijakan, prosedur, sistem, dan sumber daya manusia PJK dalam penerapan APU, PPT, dan PPPSPM.
Sanksi: POJK ini juga mengatur mengenai sanksi bagi PJK yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan, yang dapat berupa sanksi administratif hingga pembatasan kegiatan usaha.

Sistem Pengendalian Internal:
PJK diwajibkan memiliki sistem pengendalian internal yang memadai untuk memastikan efektivitas program APU, PPT, dan PPPSPM, termasuk fungsi kepatuhan, audit internal, dan pelatihan bagi karyawan.

Teknologi Informasi:
PJK harus memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung efektivitas program APU, PPT, dan PPPSPM, termasuk dalam identifikasi nasabah, pemantauan transaksi, dan pelaporan.

Implikasi dan Manfaat:
Peningkatan Keamanan Nasional: Regulasi ini secara signifikan berkontribusi pada upaya nasional dalam memerangi kejahatan keuangan yang dapat mengancang keamanan dan stabilitas negara.
Kepercayaan Investor dan Mitra Internasional: Kepatuhan terhadap standar APU, PPT, dan PPPSPM internasional akan meningkatkan kepercayaan investor asing dan mitra internasional terhadap integritas sistem keuangan Indonesia.
Efisiensi dan Efektivitas: Pendekatan berbasis risiko memungkinkan PJK untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien dan efektif dalam memitigasi risiko yang paling relevan.
Adaptasi terhadap Perubahan Lingkungan: POJK ini menunjukkan fleksibilitas OJK dalam merespons perkembangan tren kejahatan keuangan dan inovasi produk jasa keuangan.
Singkatnya, POJK Nomor 8 Tahun 2023 ini adalah tonggak penting dalam memperkuat benteng pertahanan Indonesia terhadap kejahatan keuangan. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, berbasis risiko, dan sesuai standar global, peraturan ini diharapkan dapat menciptakan sektor jasa keuangan yang lebih tangguh, transparan, dan terpercaya, yang pada akhirnya mendukung stabilitas ekonomi dan keamanan nasional
POJK NOMOR 51 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIKTujuan dan Latar Belakang:

Penerbitan POJK ini dilatarbelakangi oleh kesadaran global dan nasional akan pentingnya pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan. Tujuannya adalah untuk:

Mewujudkan sistem perekonomian nasional yang berkelanjutan, yang mampu menjaga stabilitas ekonomi serta bersifat inklusif.
Menggerakkan perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Memastikan sumber pendanaan yang memadai untuk pembangunan berkelanjutan.
Menindaklanjuti amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan.
Menyediakan kerangka hukum yang spesifik dan mengikat untuk penerapan keuangan berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
POJK ini memuat pengaturan komprehensif mengenai penerapan keuangan berkelanjutan, meliputi:

Definisi Keuangan Berkelanjutan:
Konsep keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Pihak yang Wajib Menerapkan Keuangan Berkelanjutan:

Lembaga Jasa Keuangan (LJK): Bank Umum (Konvensional dan Syariah), Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, dan lainnya yang diawasi OJK.
Emiten dan Perusahaan Publik: Terlepas dari sektornya, wajib menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan.
Aspek Penerapan Keuangan Berkelanjutan:
Penerapan keuangan berkelanjutan mencakup paling sedikit 5 (lima) aspek utama:

a. Strategi Keuangan Berkelanjutan:
LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib memiliki strategi yang terintegrasi ke dalam rencana bisnis, yang mencakup target, program kerja, dan kerangka waktu pencapaian aspek berkelanjutan.
Ini termasuk integrasi prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) ke dalam pengambilan keputusan bisnis.
b. Manajemen Risiko Keuangan Berkelanjutan:
Identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko yang terkait dengan aspek lingkungan dan sosial (misalnya, risiko kredit akibat dampak perubahan iklim atau pelanggaran HAM).
Ini mendorong penilaian risiko proyek atau investasi berdasarkan dampak ESG-nya.
c. Produk dan/atau Layanan Keuangan Berkelanjutan:
Pengembangan dan penawaran produk serta layanan yang mendukung keberlanjutan, seperti kredit/pembiayaan hijau (green financing), obligasi hijau (green bonds), asuransi berbasis lingkungan, atau investasi yang berorientasi sosial.
d. Proses Pengambilan Keputusan (Internal Process):
Integrasi aspek berkelanjutan ke dalam seluruh proses internal, termasuk proses due diligence kredit, penilaian investasi, pengadaan barang dan jasa, serta operasi kantor.
e. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM):
Peningkatan pemahaman dan kompetensi SDM terkait keuangan berkelanjutan melalui pelatihan dan edukasi.
Membangun budaya organisasi yang mendukung keberlanjutan.
Pelaporan Keberlanjutan (Sustainability Report):

LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Keberlanjutan secara periodik.
Laporan ini harus diintegrasikan dengan laporan tahunan atau disajikan sebagai laporan tersendiri.
Laporan Keberlanjutan wajib dipublikasikan melalui situs web atau media lain yang mudah diakses publik paling lambat 30 April tahun berikutnya.
Peran Direksi dan Dewan Komisaris:

Direksi bertanggung jawab atas implementasi dan pengawasan penerapan keuangan berkelanjutan.
Dewan Komisaris melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan keuangan berkelanjutan.
Dampak dan Implikasi:

Penerbitan POJK ini diharapkan membawa dampak positif yang signifikan:
Transformasi Industri Keuangan: Mendorong pergeseran paradigma bisnis dari semata-mata mencari keuntungan finansial menjadi mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat.
Peningkatan Investasi Berkelanjutan: Membuka peluang lebih besar untuk investasi pada proyek-proyek hijau dan sosial.
Manajemen Risiko yang Holistik: LJK akan lebih mampu mengidentifikasi dan memitigasi risiko-risiko baru yang muncul dari isu lingkungan dan sosial.
Reputasi dan Daya Saing: Institusi yang menerapkan keuangan berkelanjutan akan memiliki reputasi yang lebih baik dan daya saing yang lebih tinggi di pasar global.
Kontribusi Terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): Mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.
Transparansi dan Akuntabilitas: Laporan Keberlanjutan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan kepada pemangku kepentingan.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 51/POJK.03/2017 adalah regulasi krusial yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terdepan dalam mendorong keuangan berkelanjutan di tingkat nasional, menciptakan ekosistem keuangan yang lebih bertanggung jawab dan resilien untuk masa depan
POJK NOMOR 12 TAHUN 2024 TENTANG PENERAPAN STRATEGI ANTI FRAUD BAGI LEMBAGA JASA KEUANGANTujuan dan Latar Belakang:

Penerbitan POJK ini dilatarbelakangi oleh potensi risiko fraud yang dapat terjadi dalam kegiatan usaha LJK, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar baik bagi industri jasa keuangan itu sendiri maupun bagi masyarakat sebagai nasabah atau investor. POJK ini bertujuan untuk:

Memperkuat sistem pengendalian internal LJK dalam mengelola risiko fraud.
Mencegah dan meminimalkan kerugian akibat fraud yang dapat menimpa LJK dan/atau masyarakat.
Meningkatkan integritas dan kepercayaan terhadap sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
Menyelaraskan regulasi dengan perkembangan terkini dan amanat UU P2SK.

Pokok-pokok Pengaturan Utama:
POJK ini memuat pengaturan komprehensif mengenai strategi anti fraud yang harus diterapkan oleh LJK, meliputi empat pilar utama:

Pilar I: Pencegahan (Prevention)
Budaya Anti Fraud: LJK wajib membangun budaya anti fraud yang kuat, dimulai dari komitmen pimpinan puncak, kode etik, dan whistleblowing system.
Proses Rekrutmen dan Peningkatan Kapasitas SDM: Penerapan standar yang ketat dalam proses rekrutmen, termasuk uji tuntas terhadap calon pegawai, serta program pelatihan dan kesadaran anti fraud yang berkelanjutan bagi seluruh pegawai.
Penguatan Pengendalian Internal: Mendesain dan mengimplementasikan sistem pengendalian internal yang efektif untuk mengurangi peluang terjadinya fraud, termasuk pemisahan fungsi, otorisasi transaksi, dan rekonsiliasi.
Teknologi Informasi: Pemanfaatan teknologi informasi untuk mencegah fraud, seperti sistem deteksi anomali, keamanan siber yang kuat, dan manajemen akses yang ketat.

Pilar II: Deteksi (Detection)
Mekanisme Pelaporan: LJK wajib menyediakan mekanisme pelaporan fraud yang mudah diakses dan aman, termasuk whistleblowing system yang melindungi pelapor.
Analisis Data dan Monitoring: Melakukan analisis data secara berkala untuk mengidentifikasi pola atau anomali yang mengindikasikan potensi fraud.
Audit Internal: Peran aktif unit audit internal dalam mengidentifikasi kelemahan pengendalian dan mendeteksi fraud.

Pilar III: Investigasi, Pelaporan, dan Sanksi (Investigation, Reporting, and Sanction)
Investigasi: LJK wajib memiliki prosedur investigasi yang jelas dan efektif untuk setiap indikasi fraud. Proses investigasi harus dilakukan secara profesional, independen, dan tepat waktu.
Pelaporan: LJK wajib melaporkan setiap kejadian fraud kepada OJK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. POJK ini mengatur format dan detail pelaporan fraud.
LJK wajib menyampaikan laporan fraud ke OJK melalui sistem pelaporan yang terintegrasi (misalnya, OJK-GRC/GovTech).
Laporan fraud harus berisi informasi detail mengenai kejadian, pelaku, modus, estimasi kerugian, serta status penanganan.
Pengenaan Sanksi: LJK wajib menerapkan sanksi yang tegas dan konsisten terhadap pelaku fraud, baik internal maupun eksternal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan internal LJK.
Pilar IV: Tindak Lanjut (Follow-up)

Perbaikan Sistem: Setelah terjadinya fraud, LJK wajib melakukan evaluasi menyeluruh dan perbaikan pada sistem pengendalian internal untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Pemulihan Kerugian: Melakukan upaya pemulihan kerugian yang timbul akibat fraud.
Pembelajaran: Mendokumentasikan dan menganalisis setiap kasus fraud sebagai pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.

Ruang Lingkup LJK:
POJK ini berlaku bagi seluruh LJK yang diawasi oleh OJK, termasuk namun tidak terbatas pada:
Bank Umum Konvensional dan Syariah
Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPR Syariah)
Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan Asuransi
Dana Pensiun
Perusahaan Sekuritas
Lembaga Keuangan Mikro, dan lainnya.

Dampak dan Implikasi:
Penerapan POJK ini diharapkan membawa dampak positif signifikan bagi sektor jasa keuangan, yaitu:
Peningkatan Keamanan dan Kepercayaan: Penguatan strategi anti fraud akan meningkatkan rasa aman bagi nasabah dan investor, serta memperkuat kepercayaan publik terhadap stabilitas sektor jasa keuangan.
Pengurangan Kerugian: Dengan sistem pencegahan dan deteksi yang lebih baik, potensi kerugian finansial akibat fraud dapat diminimalisasi.
Peningkatan Tata Kelola: LJK akan didorong untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang lebih baik dan efektif dalam mengelola risiko operasional.
Harmonisasi Regulasi: POJK ini menyelaraskan ketentuan anti fraud dengan standar internasional dan praktik terbaik, serta amanat UU P2SK.
Secara keseluruhan, POJK Nomor 12 Tahun 2024 merupakan langkah proaktif OJK dalam menciptakan lingkungan sektor jasa keuangan yang lebih bersih, transparan, dan terhindar dari praktik-praktik ilegal yang merugikan. Ini adalah instrumen krusial untuk menjaga integritas dan stabilitas sistem keuangan nasional